Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. H. Dana, M.E.

Agar Muamalah Bernilai Ibadah

Agama | Wednesday, 06 Mar 2024, 20:54 WIB

Oleh: Dr. H. Dana, M.E

Ketika seorang Muslim terlibat berbagai muamalah seperti menjadi karyawan perusahaan, pegawai negeri atau pebisnis, ketika ditanya tujuan dari aktivitas tersebut, mayoritas dari mereka akan menjawab bahwa niat mereka adalah untuk beribadah kepada Allah. Ini menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya niat beribadah dalam setiap aktivitas yang dilakukannya. Namun sayangnya niat yang baik untuk beribadah kepada Allah dalam prakteknya terkadang menjadi rusak tanpa disadari, sehingga muamalah yang dilkukan kehilangan nilai ibadah.

Menurut para ulama, ada dua syarat agar ibadah dapat diterima oleh Allah SWT, yaitu; pertama, niat ikhlas hanya untuk mengharap ridha Allah. Yang kedua, kaifiyatnya atau caranya harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW, ketentuan ini didasarkan pada firman Allah;

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا ١١٠

Artinya: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (Q.S. Al-Kahf: 110).

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa suatu amal akan diterima oleh Allah apabila amal tersebut dikerjakan hanya semata-mata ikhlas karena Allah, dan sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Informasi terkait dua ketentuan tersebut, tentu bisa kita bawa pada berbagai kegiatan lainnya, karena seorang Muslim harus yakin bahwa semua ajaran yang ada dalam Al-Qur’an merupakan petunjuk.

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah: 2)

Terkait niat ikhlas karena Allah, ketika diterapkan dalam praktek bisnis atau muamalah lainnya, konsep tersebut relatif mudah dipahami. Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana praktek muamalah tersebut harus sesuai dengan contoh yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, ini bisa ditafsirkan secara luas. Yang harus diikuti tentu bukan pada jenis pekerjaan atau jenis bisnisnya, atau kaifiyat bisnisnya, tetapi lebih kepada nilai-nilai yang diajarkannya, seperti larangan riba, berbuat dzalim, khianat, curang, berbisnis barang yang diharamkan dan sebagainya.

Bisnis yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti melibatkan riba, perjudian, prostitusi, atau penjualan minuman keras, tidak akan pernah dapat bernilai ibadah. Selain itu tidak mungkin bisnis bernilai ibadah ketika dilakukan dengan cara-cara yang batil, seperti menipu, berbuat tidak adil, curang pada pembeli, khianat pada rekan bisnis, dengki pada pesaing bisnis dan tega ingin menghancurkannya. Begitupun tidak akan bernilai ibadah, orang-orang yang bekerja di perkantoran, ketika dalam bekerjanya melakukan korupsi, sikut kiri-sikut kanan karena jabatan, atasan khianat dan dzalim pada bawahan, karir bawahan sengaja dihambat dan sebagainya.

Muamalah yang dilakukan dengan cara-cara seperti itu, justeru ditakutkan masuk pada apa yang di firmankan-nya,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Artnya; “Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Q.S. Al-Kahf: 103-104).

Oleh karena itu, seorang Muslim perlu lebih berhati-hati baik dalam niat maupun praktiknya, sehingga setiap muamalah yang dilakukan dapat dianggap sebagai ibadah. Hal ini karena setiap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, yang telah diajarkan Rasulullah SAW, baik dalam bisnis maupun dunia kerja, tidak akan pernah diterima sebagai bentuk ibadah di hadapan Allah SWT.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image