Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image kastrat bemfkhua

Serakahmu, Celakaku: Realitas Pahit Perburuan Satwa Liar Dilindungi

Edukasi | Friday, 01 Mar 2024, 19:36 WIB
Ilustrasi Pemburu Liar (Sumber: https://pixabay.com/id/photos/memburu-senapan-senjata-shooting-3781222/)

Belakangan ini banyak kasus tentang maraknya perburuan liar di Indonesia, arti dari perburuan liar adalah kegiatan menangkap atau membunuh hewan liar secara ilegal, biasanya dilakukan untuk tujuan komersial atau rekreasi. Aktivitas ini seringkali dilakukan di luar kendali hukum atau peraturan yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hewan serta habitatnya. Perburuan liar dapat menyebabkan penurunan populasi hewan liar, kerusakan ekosistem, dan mengganggu keseimbangan alam. Kegiatan ini seringkali dianggap ilegal dan tidak etis, serta dapat menyebabkan dampak negatif yang serius terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Ada beberapa alasan yang sering kali menjadi pendorong bagi praktik perburuan liar, meskipun banyak dari alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan secara etis atau secara hukum. Beberapa alasan yang sering diutarakan termasuk:

1. Perburuan untuk Keuntungan Finansial: Beberapa individu atau kelompok melakukan perburuan liar untuk mendapatkan keuntungan finansial dari penjualan hasil tangkapan, seperti bulu, kulit, gading, atau daging hewan langka.

2. Rekreasi atau Hiburan: Beberapa orang melihat perburuan liar sebagai bentuk rekreasi atau hiburan, di mana mereka mengejar adrenalin dari mengejar dan menembak hewan-hewan liar.

3. Tradisi Budaya atau Ritual: Beberapa komunitas menjalankan perburuan liar sebagai bagian dari tradisi budaya atau ritual yang telah ada dalam masyarakat mereka selama bertahun-tahun.

4. Kontrol Populasi: Di beberapa kasus, perburuan liar dapat dianggap sebagai metode untuk mengendalikan populasi hewan yang dianggap mengganggu atau merugikan manusia atau ekosistem lokal.

5. Tuntutan Pangan: Di beberapa daerah, orang-orang mungkin terlibat dalam perburuan liar untuk memperoleh makanan, terutama di tempat-tempat di mana akses terhadap sumber pangan alternatif terbatas.

Meskipun beberapa alasan tersebut mungkin berdasarkan kebutuhan nyata atau tradisi tertentu, praktik perburuan liar sering kali memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan dan kesejahteraan hewan serta dapat mengancam keberlanjutan populasi hewan yang terlibat.

Berikut ialah contoh kasus pada hewan-hewan yang terlibat:

Gajah

Perburuan Liar Terus Terjadi, Gajah Sumatra Terancam Punah di Riau

Populasi gajah Sumatera di provinsi riau semakin terancam punah. Ancaman kepunahan semakin besar akibat kematian gajah karena perburuan liar terus terjadi setiap tahun. Di tahun 2023 ini saja sudah dua gajah sumatra yang ditemukan tewas di Provinsi Riau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan jumlah gajah sumatra di habitat aslinya Provinsi Riau tersisa hanya 200 hingga 300 ekor. Selama delapan tahun terakhir, ditemukan 28 kasus kematian hewan dilindungi ini atau kematian gajah sebanyak 2 hingga 3 ekor pertahun.

Sebagian besar gajah sumatra mati karena dibunuh dengan cara diracun. Oknum warga memburu satwa endemik ini untuk diambil gadingnya. Gajah liar juga dibunuh karena dianggap hama bagi sebagian petani kelapa sawit

kasus kematian Rahman, gajah sumatera binaan Balai Tama Nasional; Tesso Nilo (TNTNT) di Provinsi Riau pada Rabu (10/1/2024).

Gajah itu di duga sempat diracun hingga dipotong gadingnya.

Mirisnya, tidak hanya Rahman. Seekor anak gajah liar di Riau juga mati terlilit tali nilon pada November lalu. Hal ini menunjukkan kasus perburuan gajah di Indonesia marak terjadi.

Pada 2020 anggota forum konservasi gajah Indonesia, Donny Gunaryadi mengungkapkan, sekitar 7000 gajah mati diburu selama 10 tahun terakhir. Tak hanya itu, Donny juga menuturkan sejumlah penyebab lain gajah mati. Yakni konflik antara manusia dan gajah, ancaman jerat listrik dan racun. “Sepuluh tahun terakhir, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena di buru,” kata Donny

Cendrawasih

PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BURUNG CENDERAWASIH DI PAPUA

Tanah Papua bukan hanya memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Provinsi di ujung timur Indonesia itu juga punya fauna yang beragam, terlebih untuk jenis burung. Sebut saja burung kasuari, kakak tua, hingga cenderawasih.

Cenderawasih bukan sekadar burung dari Papua. Namanya tersohor sebagai salah satu burung terindah di dunia. Tubuh dan bulunya berwarna-warni, dengan ekor tumbuh memanjang dari sayap. Karena keindahannya inilah, orang-orang barat menjuluki cenderawasih sebagai bird of paradise atau burung surga.

Namun kini, keberadaan si burung surga makin sulit ditemui di habitatnya sendiri. Sekadar melihatnya sekilas di alam liar Papua menjadi pemandangan langka. penyebab utamanya adalah perburuan dan pembalakan hutan yang merajalela. Saat ini banyak hutan di Papua yang dialihfungsikan menjadi lahan industri.

Begitu juga dengan perburuan. Meski burung cenderawasih sudah masuk kategori langka dan dilindungi, mereka tetap jadi buruan utama untuk kemudian dijual kembali sebagai peliharaan atau hiasan. Masalah ini terus terjadi walaupun sudah ada larangan yang jelas, lantaran peminat burung surga ini tinggi.

Harimau

Nasib Harimau Sumatera Masih Berkutat Konflik dan Perburuan

Konflik manusia dengan harimau sumatera di Provinsi Aceh masih terjadi, menyebabkan satwa dilindungi ini terluka bahkan mati.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Gunawan Alza, mengatakan interaksi antara manusia dengan harimau masih berlangsung. Beberapa kejadiannya seperti harimau melintasi kebun masyarakat, maupun ternak yang dimangsa. Ini membutuhkan perhatian semua pihak, tidak hanya BKSDA.

“Data BKSDA Aceh menunjukkan, periode 2017 hingga 2021, konflik manusia dengan harimau terjadi 76 kali. Untuk 2022, jumlahnya mencapai 40 kasus. Sementara, dari 2020 hingga Maret 2023 telah ditemukan 10 individu harimau sumatera mati terbunuh. Rinciannya, tahun 2020 [1 individu], 2021 [3 individu], 2022 [4 individu], dan Maret 2023 [2 individu],” jelasnya, Senin [24/7/2023]

Pada 16 Juni 2023, diungkap kasus matinya seekor harimau di Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Kasus terungkap berdasarkan tertangkapnya pelaku penjual kulit dan tulang harimau oleh penegak hukum.

Wakapolres Gayo Lues, Kompol Edi Yaksa didampingi Kasat Reskrim Polres Gayo Lues, Iptu Muhammad Abidinsyah mengatakan, penangkapan pelaku dilakukan oleh personil Satreskrim Polres Gayo Lues bersama tim SPTN BBTNGL Wilayah III Gayo Lues.

“Beberapa hari sebelum ditangkap, harimau tersebut ditemukan mati tersengat arus listrik yang dipasang pelaku di kebunnya. Motif dilakukan, karena pelaku kesal ternaknya dimangsa harimau. Namun dalam perkembangannya, bersama seorang temannya, pelaku menguliti harimau itu dan berusaha menjualnya,” ungkap Edi.

Badak

Belasan Badak Jawa di Ujung Kulon Hilang dari Pantauan

lembaga nonprofit Auriga Nusantara melakukan investigasi terkait populasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Berdasarkan investigasi tersebut, dalam dua tahun terakhir kamera pemantau tidak berhasil menangkap keberadaan setidaknya 18 badak di lokasi taman nasional itu.

Video dari kamera tersembunyi yang menunjukkan aktivitas badak di taman nasional yang diunggah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seringkali langsung mendapat perhatian ramai dari publik. Namun, kini kekhawatiran muncul tentang nasib sejumlah badak di Taman Nasional Ujung Kulon yang hilang dan berpotensi menjadi korban perburuan liar.

Dalam sejumlah foto yang ditayangkan Auriga Nusantara, terlibat bagaimana jerat Badak terpasang di kawasan TNUK. Selain itu, di tengkorak kepala badak yang belum lama mati ditemukan lubang bekas peluru. Sebuah kamera pemantau juga memperlihatkan seekor badak yang masih hidup, memiliki lubang di punggungnya.

Semua bukti tersebut menunjukkan adanya upaya perburuan liar terhadap badak di TNUK. Dalam penjelasan kepada media, pada Selasa (11/4), peneliti Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto menyebut, sekurangnya ada 18 badak yang hilang dari pantauan.

“Hilangnya 18 badak yang tidak terekam di tahun 2019 dan ternyata tiga ditemukan mati di tahun 2020 dan 2021. Dan dari 18 itu, 15 diantaranya masih belum terekam sampai setidaknya di 2021, ada juga informasi yang kita dapatkan, sampai Agustus 2022,” ujar Riszki.

Dia merinci, dari 18 badak yang hilang dari pantauan, tiga dinyatakan mati sehingga tersisa 15 yang dinyatakan hilang. Dari jumlah tersebut, tujuh ekor di antaranya adalah badak betina. Padahal, rasio jenis kelamin yang wajar antara badak jawa jantan dan betina adalah satu banding satu.

“Kehilangan tujuh individu betina ini tentunya akan menjadi kehilangan yang sangat besar untuk untuk kestabilan populasi yang ada di Ujung Kulon,” tegas Riskzi

pasal yang menjerat kasus perburuan satwa liar :

Di dalam perundang-undangan, kegiatan perburuan merupakan salah satu bentuk yang secara hukum diakui oleh negara. Pengaturannya terdapat di dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Adapun Larangan lainnya dan kewajiban yang harus diikuti oleh pemburu yang melakukan kegiatan berburu diatur dalam pasal 17 jo. Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.

Ketentuan mengenai adanya tindak pidana perburuan liar terdapat sanksi pidana dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Di dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku yang sengaja melakukan pelanggaran perburuan liar yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran perburuan liar dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Perburuan liar tidak hanya mengancam kelangsungan hidup spesies-spesies tertentu, tetapi juga merusak keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Dalam ekosistem yang sehat, setiap spesies memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan populasi dan mempertahankan rantai makanan. Selain itu, perburuan liar juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Banyak masyarakat melakukan perburuan liar ini hanya untuk kepentingan sosial ekonomi pribadi tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan upaya dari berbagai pihak termasuk mahasiswa. Kontribusi mahasiswa dalam pencegahan perburuan liar dapat dilakukan dengan cara:

Tidak membeli hewan yang diperdagangkan secara ilegal. Hal ini dikarenakan, dengan membeli hewan yang diperdagangkan secara ilegal dapat menyumbang pada penangkapan liar dan perdagangan ilegal hewan liar. Praktik ini merugikan populasi hewan liar dan dapat mengancam keberlangsungan spesies tertentu. selain itu, Hewan yang diperdagangkan secara ilegal seringkali mengalami perlakuan yang tidak manusiawi selama penangkapan, transportasi, dan perdagangan. Dukungan terhadap perdagangan ilegal hanya akan memperburuk penderitaan hewan-hewan tersebut.

Mahasiswa berperan sebagai agent of change di masyarakat. Mahasiswa memilii peran penting dalam mempromosikan kesadaran tentang perlindungan hewan dan lingkungan serta mendorong tindakan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Dengan cara melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi hewan liar atau satwa yang dilindungi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image