Melawan Stunting melalui Perencanaan Gizi yang Akurat
Kabar WHO | 2024-02-26 05:19:19Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat anak-anak kecil yang memiliki proporsi tubuh yang lebih pendek daripada anak-anak sebaya mereka. Orang tua dan lingkungan sekitar terkadang tidak peka terhadap fenomena ini, mungkin menganggap bahwa tinggi badan anak adalah faktor genetik yang tidak dapat diubah, dan mereka percaya bahwa anak mereka akan tumbuh seperti anak-anak normal lainnya seiring waktu. Namun, hal ini tidak boleh diabaikan karena sebenarnya anak-anak tersebut mengalami masalah serius yang disebut stunting. Stunting dan pendek memang terlihat serupa karena keduanya menghasilkan tubuh yang tidak terlalu tinggi, tetapi sebenarnya mereka adalah kondisi yang berbeda dan memerlukan penanganan yang berbeda pula. Singkatnya, stunting adalah ketika anak terlalu pendek untuk usianya, sedangkan pendek belum tentu mengalami stunting.
Stunting pada anak harus menjadi perhatian utama dan perlu diwaspadai karena kondisi ini bisa menandakan bahwa nutrisi anak tidak mencukupi. Jika tidak ditangani dengan baik, stunting dapat memiliki dampak jangka panjang yang serius pada anak, seperti hambatan pertumbuhan fisik, gangguan pada kekuatan daya tahan tubuh, dan bahkan perkembangan otak. Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, yang menyebabkan anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Meskipun kekurangan gizi ini mungkin sudah terjadi sejak bayi dalam kandungan, stunting biasanya baru terlihat setelah anak berusia dua tahun.
Stunting adalah salah satu masalah gizi utama pada balita di Indonesia yang masih belum teratasi. Menciptakan kondisi gizi yang baik dan sehat pada masa balita sangatlah penting karena itu merupakan fondasi untuk kesehatan di masa depan. Secara global, pada tahun 2020, sekitar 22,0% balita mengalami stunting, sedangkan di Indonesia, prevalensinya mencapai 21,6% menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2023. Menurut WHO, prevalensi stunting di atas 20% merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Menteri Kesehatan RI, Dr. Nila Farid Moeloek menekankan bahwa efek dari stunting dapat menghambat perkembangan kognitif, prestasi sekolah, dan keberhasilan pendidikan anak, serta menurunkan produktivitas di usia dewasa. Pencegahan stunting dapat dilakukan dengan memperbaiki asupan gizi sejak remaja putri, wanita usia subur, ibu hamil, dan balita. Artinya, sebelum hamil, calon ibu harus memastikan kondisinya siap secara gizi, berat badan yang memadai, dan tidak menderita anemia. Selama kehamilan, ibu harus mengonsumsi tablet zat besi minimal sebanyak 90 tablet untuk mencegah anemia, serta memperhatikan asupan makanan yang cukup dan seimbang.
Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang cukup jumlah dan kualitasnya setelah usia 6 bulan merupakan langkah penting dalam pencegahan stunting. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu juga sangat penting untuk mendeteksi dini adanya gangguan pertumbuhan. Perbaikan stunting pada anak sebaiknya dilakukan paling lambat hingga usia 2 tahun, karena di atas usia tersebut, sangat sulit untuk mengubah kondisi tersebut menjadi normal.
Kebersihan diri dan lingkungan juga memengaruhi kesehatan ibu hamil dan pertumbuhan anak, karena anak-anak di bawah dua tahun rentan terhadap infeksi dan penyakit. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, setelah buang air besar, dan sebelum bermain merupakan salah satu cara efektif untuk mencegah stunting. Orang tua perlu kreatif dalam memberikan makanan bergizi kepada anak-anak mereka, dengan memperhatikan penampilan dan variasi makanan untuk meningkatkan nafsu makan anak. Kebiasaan makan teratur juga penting, dengan menyediakan tiga kali makan utama dan dua kali makanan cemilan sehat. Anak-anak merupakan aset masa depan, oleh karena itu, kita harus bersama-sama berusaha untuk mencegah stunting dengan memberikan perhatian khusus pada asupan gizi anak-anak kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.