Haruskah Mengqadha Puasa Ramadhan yang Ditinggalkan Karena Sakit yang Diduga Tidak Akan Sembuh?
Agama | 2024-02-23 15:46:40Tidak banyak orang yang menyadari bahwa terkadang diagnosis seorang dokter bisa saja meleset. Seseorang yang divonis tidak akan sembuh dari suatu penyakit, pada akhirnya justru sembuh secara ajaib setelah melewati masa-masa kritis. Lantas, jika hal tersebut terjadi saat bulan Ramadhan, apakah orang yang sembuh tersebut wajib mengqadha puasa Ramadhan yang ditinggalkannya karena sakit yang diduga tidak akan sembuh itu?
Dalam kasus seperti ini, kewajiban untuk mengqadha puasa Ramadhan sebenarnya bergantung pada apakah orang tersebut sudah mengganti puasanya dengan memberi makan orang miskin atau belum. Jika dia belum memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan, maka setelah sembuh dia wajib untuk mengqadha puasa tersebut.
Tetapi, jika dia sudah memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari setiap hari puasa Ramadhan yang terlewat, maka dia tidak wajib untuk mengqadhanya lagi meskipun kemudian dia sembuh. Mengapa demikian? Karena kewajiban puasanya sudah gugur setelah diganti dengan memberi makan orang miskin.
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam masalah ini adalah hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan, maka (dialah yang lebih berhak untuk menentukan apakah akan) berpuasa atau berbuka. Dan wajib baginya (mengganti) pada hari-hari lain." (HR. Bukhari no. 1797 dan Muslim no. 2909)
Berdasarkan hadis ini, orang yang sakit dan tidak mampu berpuasa boleh tidak berpuasa Ramadhan dengan syarat wajib menggantinya di hari lain setelah sembuh. Namun jika penyakitnya parah yang diduga tidak akan sembuh sampai meninggal, dia dibolehkan untuk memberi makan seorang miskin sebagai pengganti setiap harinya, sehingga tidak ada qadha baginya.
Logikanya, jika seseorang sudah melakukan kewajiban pengganti dengan memberi makan orang miskin karena diduga tidak akan sembuh, lalu ternyata dia sembuh setelah Ramadhan berlalu, maka kewajibannya telah gugur dan tidak perlu diganti lagi dengan puasa qadha.
Contoh lain yang senada adalah kasus orang yang berhalangan haji lalu menggantikannya dengan orang lain, kemudian setelah itu dia mampu untuk berhaji. Menurut mayoritas ulama, orang tersebut tidak wajib haji lagi karena kewajibannya telah gugur setelah diganti oleh orang lain.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang sembuh dari penyakit yang diduga tidak akan sembuh setelah melewatkan puasa Ramadhan, hukumnya tidak wajib mengqadha puasa tersebut jika dia sudah menggantinya dengan memberi makan orang miskin. Namun jika dia belum memberi makan orang miskin sebagai pengganti, maka setelah sembuh dia wajib mengqadha puasa Ramadhan yang terlewat tersebut.
Walaupun begitu, ada baiknya bagi orang yang sudah mengganti puasanya dengan bersedekah tetap melaksanakan ibadah puasa qadha sebagai amal sunnah jika mampu. Karena puasa sunnah pun tetap mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apalagi jika niatnya adalah sebagai rasa syukur kepada Allah karena telah sembuh dari penyakit yang diduga sebelumnya tidak mungkin untuk sembuh.
Dari sisi medis, kasus seseorang yang akhirnya sembuh dari penyakit yang diduga tidak mungkin disembuhkan sebelumnya bukanlah hal yang mustahil. Kadang memang diagnosis dokter bisa meleset, atau kondisi pasien ternyata membaik di luar dugaan.
Banyak faktor yang bisa mempengaruhi, seperti daya tahan tubuh pasien, nutrisi yang dikonsumsi, pola hidup yang dijalani, faktor psikologis dan keyakinan pasien, serta campur tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Menyembuhkan. Kadang mukjizat penyembuhan bisa saja terjadi di luar nalar manusia.
Oleh karena itu, meskipun diagnosis dokter buruk, pasien dan keluarganya hendaknya tetap menjaga optimisme dan terus berupaya untuk mengobati penyakitnya. Selama hayat masih dikandung badan, harapan untuk sembuh itu selalu ada, apalagi jika disertai dengan doa, usaha, dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dalam kaitannya dengan ibadah puasa Ramadhan, hendaknya umat Islam yang sedang sakit parah tetap berkonsultasi dengan dokter terpercaya mengenai apakah kondisinya memungkinkan untuk berpuasa atau tidak. Jika ada anjuran medis untuk tidak berpuasa, maka saran dokter tersebut dapat diikuti dengan tetap menunaikan pengganti berupa memberi makan orang miskin.
Dengan demikian, meskipun diagnosis dokter tidak selalu tepat, kita tetap berusaha menjalankan ibadah sebaik mungkin dengan bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika kemudian terjadi mukjizat kesembuhan di luar dugaan, kita tetap istiqomah dalam mensyukuri nikmat Allah dengan melakukan ibadah sunnah sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada-Nya.
Demikian penjelasan panjang lebar mengenai kasus hukum mengqadha puasa Ramadhan bagi orang yang sembuh dari penyakit parah yang diduga sebelumnya tidak mungkin untuk sembuh. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bahwa kuasa Allah itu di luar batas nalar manusia. Kita harus tetap optimis dan berusaha semaksimal mungkin sambil terus bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.