Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jonathan Jordan

Kematian Alexei Navalny dan Dampaknya bagi Perpolitikan Rusia dan Dunia

Politik | Monday, 19 Feb 2024, 13:28 WIB
Ilustrasi Alexei Navalny di penjara. (Sumber: Pixabay)

Pada hari Jumat, 16 Februari 2024, otoritas kepenjaraan Rusia mengumumkan kematian politisi oposisi Rusia, Alexei Navalny di Penjara IK-3, Kharp, Wilayah Yamalo-Nenets di utara Rusia. Menurut keterangan resmi, Navalny meninggal setelah pingsan ketika sedang berjalan di sekitar wilayah penjara. Kematian Navalny menimbulkan respons duka cita dari pendukungnya yang melancarkan aksi tabur bunga dan protes di monumen korban represi era Soviet di puluhan kota di Rusia maupun di luar negeri. Sementara itu, hampir semua negara Barat mengucapkan belasungkawa atas kematian Navalny dan menyalahkan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagai biang kerok kematian Navalny setelah beberapa percobaan pembunuhan yang gagal dan pemenjaraan dalam kondisi tidak layak. Lantas, siapa Navalny sebenarnya? Mengapa kehadirannya menjadi ancaman bagi Putin? Dan bagaimana dampak kematian Navalny bagi perpolitikan di Rusia dan dunia secara umum?

Alexei Anatolievich Navalny lahir pada tahun 1976 di Butyn, wilayah Moskow, Rusia. Ia mempunyai latar belakang pendidikan hukum dan pernah mengikuti program pendidikan non-gelar di Rusia dan Amerika Serikat. Keaktifan Navalny di dunia politik muncul pada tahun 2000-an, asat ia bergabung dengan partai demokrasi liberal Yabloko (harfiah ‘apel’). Pada awalnya, Navalny membawa ide nasionalis yang terkesan rasis, seperti melalui video anti-imigran yang beredar pada tahun 2007 dan keikutsertaannya di acara nasionalis ekstrem kanan di Rusia pada periode yang sama. Namun, setelah pemilu legislatif 2011 yang dianggap curang oleh kelompok demokrasi liberal di Rusia, Navalny mengalihkan pergerakannya ke arah demokrasi liberal dan mengkritik rezim Putin karena dianggap otoriter dan melanggengkan korupsi. Ia tak segan-segan menyebut Partai Rusia Bersatu pimpinan Putin sebagai ‘partai maling’.

Navalny menyebarkan pesan-pesannya melalui media sosial, terutama kanal YouTube Navalny Live yang memiliki jumlah penonton yang besar. Navalny sering merilis video yang mengekspos korupsi di pemerintahan Rusia, seperti menuduh PM Rusia, Dmitry Medvedev, atas korupsi lewat video He Is Not Dimon To You pada 2017 maupun video Putin’s Palace yang mengklaim bahwa Putin memiliki istana mewah yang dibangun dengan uang korupsi. Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Navalny menentang invasi tersebut dan menyebut Rusia harus dikalahkan di Ukraina agar Putin bisa digoyahkan. Navalny berusaha menggaet suara kaum muda di Rusia untuk melawan Putin. Di sisi lain, pemerintah Putin menganggap Navalny sebagai agen Barat untuk melemahkan Putin dan Rusia, dengan merujuk pada dukungan lembaga-lembaga pro-demokrasi di Barat untuk Navalny. Navalny pernah menjadi korban penyerangan fisik seperti serangan zat kimia hijau pada 2017 dan diracun saat terbang di pesawat tahun 2020 - yang dianggap pendukungnya sebagai ulah rezim Putin. Setelah menjalani pengobatan di Jerman pasca diracun, Navalny kembali ke Rusia pada awal 2021 dan langsung ditangkap. Navalny diadili karena tuduhan ekstremisme, provokasi dan suap yang dianggapnya termotivasi politik. Ia dipenjara di penjara khusus dan beberapa kali berpindah penjara hingga meninggal dunia pada Februari 2024.

Kematian Navalny terjadi saat Vladimir Putin sedang berusaha memenangkan periode kelimanya sebagai presiden pada pemilu yang akan dilaksanakan pada Maret 2024. Sebelum kematiannya, Navalny sendiri juga dilarang mengikuti pilpres karena vonis hukumnya. Setelah kematian Navalny, ancaman bagi rezim Putin akan tampak jika pendukung Navalny turun ke jalan dalam jumlah besar dan memprotes Putin dan kroninya atas kematian Navalny. Aksi sporadis dan tabur bunga untuk Navalny memang sudah dilaksanakan di berbagai kota di Rusia (yang berujung penangkapan) namun melihat situasi politik di Rusia saat ini, kecil kemungkinan aksi demonstrasi ini akan berkembang menjadi ‘revolusi’ menentang Putin seperti yang pernah terjadi beberapa kali dalam sejarah Rusia. Hal ini mengingat meskipun Navalny memiliki pengaruh kuat di media sosial, namin popularitas Putin tetap tinggi di tengah kestabilan ekonomi Rusia meskipun dihantam sanksi internasional imbas perang di Ukraina. Bagi sebagian besar masyarakat Rusia, kestabilan yang dibawa Putin lebih penting dibanding demokrasi liberal. Pengalaman sejarah Rusia yang sering disetir oleh figur strongman membuat masyarakat Rusia lebih memilih Putin yang otoriter ketimbang pemimpin yang demokratis tetapi kacau seperti Boris Yeltsin, saat kriminalitas dan penyakit sosial merajalela. Putin kemungkinan besar akan menang pada pemilu bulan Maret nanti. Namun, jika suatu hari kondisi ekonomi dan isolasi internasional Rusia memburuk, bukan tidak mungkin kelompok pro-Navalny akan berusaha bangkit dengan narasi Navalny sebagai martir untuk demokrasi Rusia dan menghadirkan ancaman yang lebih serius pada rezim Putin.

Secara internasional, kematian Navalny akan semakin memperkecil peluang rekonsiliasi antara Rusia dan negara-negara Barat. Sejak perang di Ukraina, ada konsensus di Amerika Serikat dan Uni Eropa bahwa Rusia dibawah Putin tidak layak diperlakukan sebagai mitra dan harus dilawan sebagai ancaman keamanan utama karena sifatnya yang otoriter dan ekspansionis. Kematian Navalny semakin memperkuat sentimen ini, sebagaimana terlihat pada kecaman Barat pada Putin dan aksi pro-Navalny di banyak kota di Amerika dan Eropa, yang juga dimotori oleh eksil Rusia di negara-negara tersebut. Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinan akan ada perubahan pada tren konfrontasi antara Rusia dan Barat selama Putin masih berkuasa. Sebaliknya, negara-negara Barat akan tetap mendukung gerakan pro-demokrasi liberal di Rusia, yang dianggap sebagai ‘prasyarat’ pemulihan hubungan dengan Rusia. Sementara, secara global, kematian Navalny dapat dilihat sebagai cerminan bahwa ‘dunia demokrasi liberal’ yang diharapkan akan terjadi pasca Perang Dingin masih jauh dari kenyataan. Rezim otoriter, seperti Putin di Rusia, ternyata memiliki ketahanan yang kuat seperti rezim otoriter lainnya yang menghadapi tantangan pro-demokrasi liberal, seperti Belarus, Iran, Suriah dan Tiongkok. Bagaimana sepak terjang oposisi Rusia sepeninggal Navalny masih menjadi pertanyaan, namun satu hal yang pasti, kecil kemungkinan akan terjadi perubahan sistemik di Rusia selama ‘kestabilan Putin’ masih terjaga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image