Konsep Kekerasan Johan Galtung
Eduaksi | 2024-02-19 04:58:03Di dalam studi konflik tema kekerasan menjadi salah satu kajian harus dipelajari, meskipun kita mengetahui bahwa tidak semua konflik itu berujung pada aksi kekerasan, misalnya perbedaan (konflik) pemikiran diruang publik di dalam sistem demokrasi, merupakan suatu kelaziman, bahkan menjadi bagian dari praksis demokrasi itu sendiri yang bersifat deliberatif, memberikan ruang keragaman terjadinya dialektika gagasan mempengaruhi persepsi publik terkait isu diperbincangkan. Pertentangan pemikiran itu terkadang berakhir pada konsensus politik, mencari titik temu diantara ragam perbedaan pendapat.
Kekerasan sendiri menurut beberapa ilmuwan sosial seakan-akan menjadi hukum besi sejarah, yang kerap hadir mewarnai sisi gelap dari peradaban umat manusia, berbagai peristiwa perang melibatkan antar negara atau aksi genosida menimpa suatu bangsa, menjadi bukti empiris wajah dunia tidak selamanya menunjukan sisi ketenangan dan keharmonisan.
Seorang filsuf muslim Ibnu Khandun (1332-1406) mengambarkan perilaku manusia itu terkadang seperti binatang (animal power), menggunakan cara-cara binatang meraih tujuan hidup. Kemudian Thomas Hobbes (1588-1679), melahirkan tesis sebelum terbentuknya negara atau masyarakat alamiah, sesama manusia itu saling membunuh satu sama lain, memperebutkan sumber-sumber produksi dan kemakmuran, manusia serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Begitu juga pendapat Karl Marx (1818-1883), pemikir kiri yang menjelaskan sejarah umat manusia adalah sejarah pertentangan dan perjuangan kelas sosial, perubahan progresif harus ditempuh dengan revolusi, yaitu pemberontakan massa rakyat yang biasanya dihiasi letupan bedil, ledakan mesiu, dan tetesan darah.
Kekerasan Struktural, Langsung, dan Budaya.
Kekerasan sendiri dapat didefiniskan bentuk tindakan yang melukai, membunuh, merusak, dan menghancurkan lingkungan. Aksi kekerasan menyebabkan cedera, sakit, atau penderitaan kepada orang lain (kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, atau kekerasan dalam bentuk lainnya).
Sedangkan Johan Galtung (1930-2024) seorang sosiolog terkenal kontribusinya dalam pemikiran tentang studi perdamaian dan resolusi konflik. Menjelaskan kekerasan merupakan setiap kondisi fisik, emosional, verbal, institusional, struktural atau spiritual, juga perilaku, sikap, kebijakan atau kondisi yang melemahkan, mendominasi atau menghancurkan diri kita sendiri dan orang lain (Galtung, 2023).
Intinya bagi Johan Galtung kekerasan itu tidak hanya mengacu pada tindakan fisik yang langsung, tetapi juga mencakup aspek struktural dan budaya dari ketidaksetaraan dan penindasan, Johan Galtung menjelaskan tiga model kekerasan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, yaitu (1) kekerasan struktural, (2) kekerasan kultural, dan (3) kekerasan langsung.
Pertama, kekerasan struktural, kekerasan yang berasal dari seseorang atau kelompok sosial memiliki kekuasaan dan kewenangan, mereka ini membuat kebijakan dengan maksud menyingkirkan kelompok lain, agar tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Korban yang menjadi objek kekerasan struktural biasanya tidak memiliki keamanan dan hidupnya diliputi ketakutan, karena mendapatkan tekanan dari lembaga kekuasaan seperti pemerintah, milisi sipil, militer, preman, dan lain-lain (Susan, 2014).
Korban dari kekerasan struktural, selama dia hidup akan menemukan banyak kesulitan, disebabkan hadirnya berbagai aturan kebijakan yang merenggut ruang kebebasan dan kreatifitas, sehingga dampak paling fatal bila model kekerasan itu tidak dihentikan, bisa berujung pada kematian, karena si korban segala kebutuhan hidupnya tidak terjamin, serta tidak mampu untuk diakses secara normal (Susan, 2014).
Contoh kasus dari kekerasan struktural ini, terjadi masa Pemerintahan Orde Baru, ketika para pembuat kebijakan dengan sengaja membatasi semua akses anggota keluarga tapol 1960-an, mereka ini tidak mendapat akses seperti warga negara yang lain, tidak diperbolehkan menjadi birokrat atau tentara, sehingga ruang mereka untuk bekerja disektor formal mengalami pembatasan, otomatis kebutuhan ekonomi mereka akan terganggu.
Kedua, kekerasan langsung,kekerasan yang terlihat secara langsung menyebabkan adanya luka fisik, kekerasan jenis ini gampang kita kenali secara kasat mata, sebab antara pelaku dan korban terlibat interaksi antara subjek-tindakan-objek, menyebabkan orang atau kelompok tertentu mengalami luka-luka atau kematian (Susan, 2014). Contoh kasus bisa kita golongkan sebagai kekerasan langsung adalah kasus konflik melibatkan etnik di awal reformasi dibeberapa daerah di Indonesia, ditandai terbunuhnya banyak sekali manusia, dirusaknya harta benda, dan pengusiran etnis dari tempat tinggalnya.
Ketiga, kekerasan budaya, merupakan motor dari adanya kekerasan struktural dan kekerasan langsung. Karena sisi budaya itu sendiri yang bisa menjadi sumber munculnya kekerasan baik struktural atau langsung, dari adanya perbedaan etnis, agama, dan ideologi. Kekersan budaya menonjolkan aspek-aspek dari kebudayaan seperti ideologi, agama, bahasa, dan seni, yang digunakan untuk menjustifikasi aksi kekerasan (Susan, 2014).
Misalnya dari model kekerasan ini, kita berandai-andai terdapat sebuah pemerintahan yang dikuasai oleh etnis A di sebuah negara, melakukan aksi genosida terhadap etnis B, karena ditunduh tidak loyal pada pemerintah, atau dianggap sekutu dari kekuatan luar, akan mengambil alih kekuasaan etnis A, tuduhan itu sebenarnya palsu, hanya alat justifikasi untuk memulai konflik dan penghancuran kelompok berbeda. Terjadi dua praktek kekerasan dalam contoh itu kekerasan struktural (kebijakan politik) menuduh rival sebagai penghianat, berikutnya kekerasan langsung berupa aksi bentrok fisik dilapangan.
Setelah menjelaskan tiga model bentuk kekerasan dalam studinya, Johan Galtung (2023) menjelaskan tahapan kemunculan kekerasan. Pertama, diawali adanya frustasi seseorang atau kelompok sosial, sebab tujuan mereka merasa dihalangi, karena orang lain juga mengejar tujuan tidak kompatibel, hal ini bisa mematik munculnya konflik. Kedua, terjadi proses dehumanisasi, dari rasa frustasi itu berkembang menjadi sikap agresi dengan kebencian mulai tumbuh secara subur dalam batin dan sikap. Ketiga, polarisasi, adanya jarak sosial, misal secara horizontal, seperi negara-negara yang dipisahkan wilayah perbatasan, kemudian vertikal, seperti kelas sosial yang dipisahkan oleh kekuasaan tidak setara, terjadi dehumanisasi pada orang lain. Keempat, traumanisasi, korban dirugikan oleh tindak kekerasan, biasanya orang mengalami trauma memiliki kecenderungan melakukan aksi belas dendam.
Penutup
Mempelajari studi kekerasan memiliki beberapa manfaat yang penting, baik secara akademis maupun dalam konteks sosial, dengan memahami sifat kekerasan, kita dapat mengembangkan strategi pencegahan yang lebih efektif. Ini bisa meliputi pendekatan pendidikan, intervensi psikologis, kebijakan publik, dan program sosial yang dirancang untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam masyarakat.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Referensi Artikel.
1. Galtung, Johan dan Charles Webel. 2023. Handbook Studi Perdamaian dan Konflik. (Bandung, Penerbit Nusa Media).
2. Susan, Novri. 2014. Pengantar Sosiologi Konflik. (Jakarta, Prenadamedia Grups)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.