Harassment di Dunia Pekerjaan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Bisnis | 2024-12-26 12:19:48Lingkungan apa yang diharapkan individu ketika bekerja? Tentu keamanan merupakan aspek yang sangat penting di kehidupan pekerjaan. Sayangnya, muncul berbagai isu yang mengkhawatirkan. Penelitian dari Perempuan Mahardhika di KBN Cakung pada tahun 2017, jumlah buruh perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual sebesar 56,5%. Sebuah survei diselenggarakan oleh International Labour Association (2022) menunjukan bahwa 70,93% pernah mengalami semacam bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Dari persentase tersebut, 77,40% mengalami pelecehan psikologis, 50,48% mengalami pelecehan seksual, 18,63% mengalami kekerasan fisik, dan 48,56% mengalami pelecehan secara daring. Pada survei yang sama, ditemukan bahwa 72,89% responden pernah menyaksikan perilaku tersebut.
Berbagai data tersebut menunjukan bahwa kekerasan serta pelecehan tidak jarang terjadi terjadi, akan tetapi, korban memiliki kecenderungan untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Kembali ke penelitian dari Perempuan Mahardhika di KBN Cakung (2017), diperlihatkan bahwa dari korban tersebut, 93,6% tidak dilaporkan. Ini dikarenakan kurangnya mekanisme pelaporan kekerasan di tempat kerja tersebut. Studi Equal Employment Opportunity Commission (2016) juga menunjukan bahwa 75% individu dengan pengalaman kekerasan atau pelecehan tidak melaporkan kejadian tersebut. Oleh karena itu, butuh upaya yang lebih dari pihak perusahaan untuk mencegah harassment di dunia pekerjaan.
Jenis Jenis Harassment
Williams (2001) menjelaskan pelecehan di tempat kerja sebagai penghinaan atau kekerasan, perilaku yang tidak pantas, penyerangan fisik yang ditujukan terhadap seorang karyawan atau sekelompok karyawan (Abumere, 2021). Terdapat beberapa jenis harassment dari berbagai perspektif.
Secara legal, harassment di aspek pekerjaan meliputi dua jenis, yaitu quid pro quo dan hostile environment (Aamodt, 2016)
Dengan quid pro quo, aktivitas seksual terkait dengan keputusan ketenagakerjaan seperti promosi dan kenaikan gaji. Contoh kasus pelecehan quid pro quo adalah seorang supervisor yang memberi tahu sekretarisnya bahwa dia harus tidur dengannya untuk mempertahankan pekerjaannya. Dalam kasus quid pro quo, satu insiden saja sudah cukup untuk dianggap sebagai pelecehan seksual dan mengakibatkan organisasi bertanggung jawab atas kerugian hukum.
2. Hostile Environment
Pada kasus hostile environment, pelecehan seksual terjadi bila ada perilaku berulang tidak diinginkan yang berkaitan dengan gender dan mengganggu kinerja pekerjaan seseorang. Walau perilaku yang termasuk kriteria pelecehan subjektif, pengadilan memutuskan bahwa tindakan tersebut bisa seperti komentar atau rayuan seksual/romantis yang tidak diinginkan, atau menunjukan media poster, simbol, yang merendahkan. Perilaku akan dianggap sebagai pelecehan yang didasarkan pada jenis ini, adalah ketika perilaku telah membentuk suatu pola. Selain itu, pelecehan harus berkaitan dengan gender karyawan.
Terdapat juga beberapa jenis lain dari harassment yang seringkali terjadi di dunia pekerjaan (Samodra, 2024).
Harassment Verbal. Pelecehan verbal mencakup ucapan secara lisan yang merendahkan, menyinggungkan, serta komentar yang menyakitkan.
Harassment Psikologis. Pelecehan ini melibatkan kegiatan yang secara psikologis menyakiti individu. Bisa mencakup tuntutan berlebihan, deadline yang tidak realistis dan memicu stres, juga menuntut karyawan untuk melakukan pekerjaan yang merendahkan atau memalukan.
Harassment Fisik. Segala perilaku ancaman atau serangan fisik termasuk dari kekerasan jenis tersebut. Seperti menyerang karyawan lain dengan memukul, nonjok, dan sebagainya. Merusak properti individu juga termasuk contoh dari kekerasan ini.
Harassment Seksual. Kegiatan seksual yang tidak diinginkan serta memicu perasaan merendahkan. Komentar seksual juga termasuk dalam jenis ini.
Dampak Harassment
Lengnic-Hall (Willness et al, 2007) menjelaskan bahwa kekerasan bisa berdampak pada perusahaannya sendiri. Dampak mencakup potensi biaya yang cukup tinggi, termasuk biaya hukum. Selain itu, ada kemungkinan publisitas di media yang negatif dan tidak diinginkan. Ini bisa berujung ke perekrutan karyawan yang kurang optimal. Abumere (2021) menjelaskan bahwa trauma yang dialami berkat kekerasan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang. Akibatnya, kepuasan dan komitmen karyawan menjadi rendah, yang akhirnya merugikan organisasi. Selain itu, Legnick-Hall menjelaskan bahwa kekerasan di dunia pekerjaan berdampak pada produktivitas yang rendah, meningkatkan absen/ketidakhadiran, serta peningkatan cuti.Upaya Pencegahan Harassment di Dunia Kerja
Upaya Pencegahan Harassment di Dunia Kerja
Disaat kasus yang secara legal termasuk harassment, organisasi akan bertanggung jawab. Ketika pengadilan menentukan tanggung jawab organisasi atas kasus-kasus ini, ada beberapa hal yang dipertimbangkan (Aamodt, 2016). Yang pertama adalah upaya organisasi untuk menghentikan perilaku tersebut, apa yang telah dilakukan oleh organisasi. Organisasi diharuskan untuk memiliki kebijakan yang terstruktur mengenai pelecehan, serta perlu dikomunikasikan kepada karyawannya. Kebijakan tersebut harus dianggap serius, menjelaskan jenis-jenis pelecehan, serta mencantumkan daftar nama pejabat yang bisa menjadi sarana pelaporan pelecehan. Ketika ada laporan atau keluhan akan harassment dari karyawan, perusahaan harus menyelidiki komentar tersebut segera. Perusahaan juga harus bertindak secepatnya untuk mengidentifikasi situasi dan menghukum pelaku. Untuk mengurangi serta mencegah pelecehan di dunia pekerjaan, Jacobs & Kearns memberikan beberapa upaya yang bisa dilakukan (Aamodt, 2016)
- Seluruh keluhan, walau terlihat kecil atau remeh, perlu di investigasikan.
- Kebijakan perusahaan harus mendorong korban pelecehan untuk maju dan melaporkan kejadian tersebut. Serta menyediakan media dimana karyawan bisa memberikan keluhan mereka.
- Segala keluhan yang diterima oleh karyawan perlu dirahasiakan untuk melindungi korban serta yang dituduh. Saat melakukan investigasi, informasi yang didapat juga harus dirahasiakan dan disimpan dalam file terpisah.
- Baik yang dituduh atau penuduh, harus diberikan proses yang sesuai dan semestinya, perlu berhati-hati untuk menghindari asumsi yang salah.
- Hasil dari investigasi harus dikomunikasikan kepada kedua pihak secara tertulis.
- Jika terdapat hukuman untuk pelaku, hukuman tersebut harus sesuai dengan beratnya pelanggaran hukum tersebut.
Daftar Pustaka
Aamodt, M. G. (2016). Industrial/Organizational Psychology : An Applied Approach (8th Edition).
Abumere, F. I. (2021). Understanding Workplace Harassment -Its Varying Types and Consequences. International Journal of Research and Innovation in Social Science, 05(09). https://doi.org/10.47772/ijriss.2021.5950
International Labour Association. (2022). Semua bisa kena! Laporan Hasil Survei Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja Indonesia.
Karina. (n.d.). Statistik dan Fakta Tentang Kekerasan di Tempat Kerja.
Pratiwi, M. I. (2017). Penelitian Kekerasan Berbasis Gender pada Buruh Garmen Perempuan. Perempuan Mahardhika.
Raver, J. L., & Nishii, L. H. (2010). Once, Twice, or Three Times as Harmful? Ethnic Harassment, Gender Harassment, and Generalized Workplace Harassment. Journal of Applied Psychology, 95(2). https://doi.org/10.1037/a0018377
Samodra, F. P. (2024). Mengenal 5 Bentuk Kekerasan di Tempat Kerja, Begini Cara Mengatasinya. Liputan6.Com.
Willness, C. R., Steel, P., & Lee, K. (2007). A meta-analysis of the antecedents and consequences of workplace sexual harassment. Personnel Psychology, 60(1).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.