Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Al-Quran sebagai Framework dalam Membangun Peradaban

Agama | 2024-02-18 22:41:04
Sumber: pemikiran penulis

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

Pekerjaan rumah terbesar kita hari ini adalah memperpendek gap antara idealita Islam dengan realitas umat Islam. Namun, sayangnya kita lebih banyak melihat faktor eksternal ketimbang faktor internal. Akibatnya, kita lebih sering menyalahkan situasi daripada menginstrospeksi kekurangan diri. Lebih naif lagi kita marah-marah dan menghujat oranglain atas ketertinggalan umat Islam hari ini.

Hari ini umat Islam masih terjebak menjadikan Al-Qur’an sebagai jargon yang sering diteriakkan, namun tergagap untuk menjawab berbagai persoalan kontemporer dengan mengesktraksi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sistem dan skema dalam kehidupan. Sebagai contoh, jika kita mau mengkaji seputar leadership and management di korporasi, lalu searching digoogle, berapa banyak sarjana muslim yang menuliskannya? Kita kesulitan menemukan referensinya. Kita akan familiar menemukan nama-nama seperti John C. Maxwell, Jack Welch, dan Stephen Covey.

Pun demikian dalam bidang keilmuan dan aspek kehidupan lainnya. Silakan Anda searching teori dan konsep seputar ekonomi pembangunan, kemandirian pangan, kelautan, kedokteran, tata kota, tata negara, dan lainnya. Naifnya kita seringkali menghujat teori dan konsep karya para ilmuwan Barat sebagai teori dan konsep sekuler, namun kita tidak melahirkan teori dan konsep keilmuan Islam sebagai komparasinya.

Umat Islam tidak akan pernah maju jika terus memelihara sikap naifnya. Umat Islam akan terus menjadi objek dan tidak pernah beralih menjadi subjek. Apatah lagi mempengaruhi dan menggeser dominasi ilmuwan Barat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal, seharusnya umat Islam leading dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki konstruksi sendiri dalam mengembangkannya yang berbeda dengan ilmuwan Barat.

Oleh karena itu, secara jujur umat Islam harus membenahi diri. Tradisi keilmuan dalam sejarah peradaban Islam harus dihidupkan kembali. Dari sini ilmu pengetahuan akan berkembang dan melahirkan teori dan konsep baru yang mampu menjawab berbagai persoalan kehidupan. Teori dan konsep yang diekstraksi dan dikonseptualisasi dari nilai-nilai Al-Qur’an.

Para sarjana muslim harus menjadi garda terdepan dalam upaya membangkitkan kembali tradisi keilmuan Islam. Sibukkanlah diri Anda dalam dunia ilmu. Hidupkan komunitas-komunitas ilmiah. Kajilah secara mendalam Al-Qur’an, hadis, dan khazanah keilmuan Islam untuk mengonstruksi teori dan konsep Islami yang bisa diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Seharusnya para sarjana muslim tidak tergoda membuka bisnis travel umrah dan akhirnya terjebak dalam kesibukan mengurusi travel. Untuk apa belajar sampai ke Timur Tengah sekian tahun kalau kemudian hanya mengurusi bisnis travel umrah. Bukan berarti tidak baik. Hanya tidak tepat. Biarkan urusan bisnis travel umrah diurusi oleh orang yang kuliahnya bisnis. Para sarjana muslim yang kuliahnya mengkaji dirasat Islamiyah seharusnya fokus mengembangkan ilmu pengetahuan Islam.

Problem lain yang ditemukan di lapangan adalah sebagian sarjana muslim tidak menguasai tools berpikir analisis, sintesis, sistematis, dan konseptual. Mereka fasih menerangkan Islam berdasarkan referensi keislaman, namun tidak mampu mengekstraksi dan mengonstruksinya menjadi teori dan konsep baru untuk menjawab berbagai persoalan umat dan kehidupan.

Mungkin karena sebagian kampus Islam alergi terhadap filsafat. Filsafat dianggap mata kuliah haram untuk diajarkan kepada mahasiswa. Akibatnya, lulusannya tidak memiliki kemampuan berpikir mendalam khas filsafat. Menurut saya, kita perlu proporsional dalam memandang filsafat. Mengharamkan filsafat untuk dipelajari adalah sikap yang tidak tepat.

Kita harus membedakan filsafat sebagai metodologi berpikir mendalam dengan filsafat sebagai produk berpikir. Sekularisme, kapitalisme, pluralisme, humanisme, dan feminisme adalah contoh produk berpikir filsafat. Dalam konteks ini kita mengkritisi dan menolaknya. Namun, bukan berarti kita mengharamkan filsafatnya. Karena, kita bisa meminjam metodologi berpikir filsafat untuk mengekstraksi dan mengonstruksi sebuah teori dan konsep keilmuan.

Problem kedua adalah kurangnya tradisi penelitian dan menulis ilmiah di kalangan sarjana muslim. Cek saja berapa banyak sarjana muslim yang produktif menulis? Lebih parah lagi, sudahlah tidak produktif menulis, sebagian dari mereka numpang nama dalam sebuah paper jurnal untuk mengejar angka kredit dosen. Ini merupakan pelacuran intelektual.

Marilah kita bersikap jujur melakukan introspeksi diri untuk melahirkan perbaikan diri. Kita hidupkan dan bangkitkan tradisi keilmuan Islam, sebagaimana dulu pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia. Kita kaji dan telaah secara mendalam nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum Al-Qur’an. Kemudian, kita ekstraksi dan konstruksi menjadi teori dan konsep yang sistematis dan aplikatif untuk menjawab persoalan umat dan kehidupan.

Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi “bunyi” dalam kehidupan. Al-Qur’an tidak lagi menjadi jargon, melainkan menjadi framework dalam membangun peradaban. Dari kajian Al-Qur’an, lahir sekian banyak teori dan konsep keilmuan yang sistematis dan aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga, kehidupan umat Islam menjadi terwarnai oleh nilai-nilai Al-Qur’an. Pada akhirnya, peradaban yang dibangun umat Islam adalah peradaban yang diterangi cahaya wahyu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image