Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Amilatul Fauziyah, S.Pd

Ketika Gen Z Jadi Guru, Tantangan dan Peluang

Guru Menulis | Saturday, 17 Feb 2024, 12:09 WIB
Ilustrasi gen Z mengajar

Guru yang romantis

Ada hal yang menarik tentang gen Z, yaitu romantis. Guru-guru muda gen Z adalah bagian dari generasi Z. Cita-citanya mulia. Mereka tumbuh di tengah eksistensi teknologi dan peradaban moral yang rusak. Gen Z lebih dekat dengan masalah mental health, sehingga mereka disebut sebagai generasi yang paling mengerti perasaan orang lain. Mereka merasakan kisah hidup seorang anak dalam keluarga, hanyut dalam cerita yang hampir sama dengan miliknya.

Memang tak semua gen Z menyukai profesi guru, tetapi gen Z akan menjadi guru yang ekspresif dan mudah mengungkapkan perasaan. Mereka akan menjadi guru yang asik diajak ngobrol dan curhat oleh muridnya. Mereka menelan kekecewaan masa lalu dan melihat harapan masa depan dalam diri murid-muridnya. Berharap hidupnya menjadi kehidupan yang berguna dengan mendidik dan menyayangi anak-anak. Menjadi bapak/ibu guru yang mencurahkan perhatian dan memenuhi kebutuhan anak didiknya di sekolah.

Kuat dan Rapuh dalam Waktu yang Sama

Guru muda gen Z tak perlu dipertanyakan lagi semangatnya. Meski banyak hal yang belum dikuasai, namun semangat mereka nomor satu. Sebagaimana muridnya, mereka juga senantiasa belajar agar mampu mempersembahkan yang terbaik untuk pendidikan. Sayangnya, guru-guru dari gen Z ini seringkali terjebak oleh perasaan insecure, anxiety, dan overthinking. Mereka tak cukup percaya diri dengan kemampuannya sebagai sosok yang berwibawa dan terhormat, gelisah dengan masa depannya sendiri, dan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Akibatnya, semangat yang bergelora mudah saja dikalahkan oleh perasaan tersebut. Gen Z memiliki filosofi yang lemah. Itulah mengapa semangatnya seketika naik dan seketika hilang. Mereka butuh bimbingan untuk menemukan alasan yang kuat dan filosofis, misalnya alasan mengapa kita memilih jadi guru. Tentu jawabannya bukan hanya sekadar “karena”, tetapi jawaban yang menjadi akar atau dasar kita bertumbuh dan berproses selama menyandang status guru. Adakah visualisasi tujuan yang kita ingin capai, atau tidak adakah tujuan lain selain tujuan tersebut. Mana saja jalan yang harus ditempuh dan tidak boleh dipilih karena hanya akan menyia-nyiakan waktu.

Di satu sisi gen Z itu kuat ketika punya cita-cita yang mulia, tetapi rapuh karena perasaan yang lebih dominan mengalahkan semangat. Oleh karena itu, para guru gen Z harus mengenali pemicu munculnya sikap insecure, anxiety dan overthinking.

Kurikulum Merdeka

Tak dipungkiri, kurikulum pendidikan yang sedang diterapkan mempengaruhi kinerja guru. Kurikulum merdeka terlihat berhasil dan sukses. Apalagi setelah menyimak webinar hasil PISA 2024 pada bulan Januari lalu bersama Andreas Schleicher, Direktur Direktorat Pendidikan dan Keterampilan OECD (Organisasi bidang Ekonomi), dan Mas Menteri Nadiem Makarim. Dalam forum webinar tersebut, disebutkan terhitung selama pandemi hingga kini, para guru telah memberikan dukungan terbaik terhadap murid.

Dukungan terbaik itu relatif. Kita tak bisa menyingkirkan fakta bahwa guru pun memiliki masalah. Dan masalah ini bukan sekadar masalah yang menyertai kondisi normal suatu peradaban. Peradaban kapitalis yang ada di balik masalah moral generasi dan kesejahteraan guru tak mampu dihadapi oleh kurikulum semata. Sebab, kurikulum hanya produk dari suatu ideologi yang membangun pendidikan. Maka pembangunan kualitas manusia melalui pendidikan harus berangkat dari ideologi yang unggul, bukan ideologi kapitalisme yang hina. Pendidikan bukan untuk ekonomi sebagaimana konsep kapitalis.

Moral Guru Makin Merosot

Tak hanya murid, bahkan guru yang mendidik mereka di sekolah pun harus turut bertanggung jawab. Semangat bercita-cita mestinya ditempatkan pada nomor sekian. Nomor satunya adalah keyakinan hidup yang dihayati secara sadar, untuk kemudian tampak pada kepribadian: mindset dan perbuatan. Hal seperti ini bukan tugas individu seorang guru, tetapi seluruh guru dan para pendidik, orang tua, masyarakat, dan negara sebagai support system. Fakta guru-guru muda yang berpacaran sudah tak bisa disebut sebagai kasus. Ini telah berubah menjadi budaya.

Memang gen Z itu romantis, dan ada sisinya yang rapuh, tapi pacaran tidak akan pernah menjadi tuntunan. Saatnya kita sebagai pendidik tak hanya melihat prestasi anak-anak kita dari ranking PISA, yang bobotnya adalah kemampuan literasi dan numerasi. Sebagai guru, mestinya kita tak hanya mengandalkan kepintaran dari hasil ujian guru. Selama demikian, pendidikan yang ada hanya mencetak uang, itu pun tak sebanding dengan penderitaan hidup akibat gagalnya penjaminan hidup sistem kapitalisme.

Sudah Saatnya Berubah

Sudah saatnya pendidikan itu benar-benar difungsikan untuk membangun sumber daya manusia. Dan pasti dampaknya akan nampak kepada moralitas manusianya. Sudah saatnya seorang guru, seluruhnya, memiliki cita-cita yang mulia untuk generasi dengan menjadikan dirinya juga sebagai insan yang taat pada Tuhan. Setiap pihak yang ikut andil dalam perkembangan generasi juga saling menguatkan keyakinannya bahwa tak ada panduan aturan yang lebih baik selain panduan dari Tuhan. Ideologi kapitalisme yang sangat melekat dalam pelaksanaan pendidikan di negeri ini sama sekali tak layak untuk membangun manusia.

Karena produk kurikulum maupun asas kebebasan liberalisme-nya menghalangi ketaatan manusia pada Tuhannya. Itu masuk akal ketika banyak sekali manusia yang kehilangan rasa malu, rasa kasihan, demi sesuatu yang tak mampu ia pertanggungjawabkan. Kita tak ingin generasi ini dibesarkan oleh suasana yang liberal, tak filosofis hanya berbekal semangat yang entah akan membawa ia ke mana. Bagaimana mereka dibesarkan dan didewasakan itu penting. Maka, dalam hal ini Islam telah mengatur manusia bagaimana cara agar manusia mampu mewujudkan peradaban diliputi oleh moralitas terbaik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image