Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Buruh Migran dan Persoalan Imperialisme-Neokolonialisme

Politik | Tuesday, 06 Feb 2024, 10:03 WIB

Buruh migran seringkali terkait dengan persoalan imperialisme dan neokolonialisme. Negara-negara maju cenderung memanfaatkan tenaga kerja dari negara-negara berkembang dengan cara yang eksploitatif, menciptakan dinamika neokolonialisme. Kondisi ini dapat terwujud melalui perjanjian ekonomi yang tidak seimbang dan praktik eksploitasi terhadap buruh migran.
Imperialisme ekonomi dan politik dapat memperkuat ketidaksetaraan dalam hubungan internasional, menciptakan ketidakadilan dalam pembagian kekayaan dan sumber daya. Buruh migran seringkali menjadi korban dalam sistem ini, menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi dan hak-hak yang terbatas.
Sebagai bagian dari perjuangan melawan imperialisme dan neokolonialisme, advokasi hak buruh migran dan peningkatan perlindungan internasional bagi mereka menjadi penting. Hal ini melibatkan kerja sama antarnegara dan upaya bersama untuk menciptakan lingkungan yang adil dan bermartabat bagi semua pekerja, tanpa memandang asal negara.

Dalam pandangan sebagian orang, terutama di kalangan pengambil kebijakan ekonomi dan politik, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dianggap sesuatu yang wajar. Apalagi, dalam benak mereka, dunia ini sudah semakin global dan mobilitas manusia lintas negara pun sudah sangat mudah.
Mereka yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar mungkin juga adalah mereka yang menganggap wajar adanya ketidak-setaraan ekonomi dan sosial secara global; menganggap eksploitasi oleh negara maju terhadap negara miskin atau bekas jajahan sebagai sesuatu yang wajar.

V.I Lenin, pemikir dan sekaligus tokoh revolusi Rusia yang terkenal itu, menganggap menaiknya pengiriman buruh migran dari negara-negara terbelakang ke negeri-negeri imperialis sebagai salah satu ciri dari imperialisme. Di Inggris, salah satu negeri yang diteliti oleh Lenin dalam karyanya “Imperialisme Tahap Tertinggi Kapitalisme”, telah mempekerjakan buruh-buruh migran dengan upah rendah, sedangkan buruh-buruhnya sendiri dipekerjakan sebagai pengawas atau tetap sebagai buruh tetapi dengan upah yang sangat tinggi. Lenin melihat bahwa Inggris bisa memainkan peranan itu karena beberapa hal:

1) penghisapan atas seluruh dunia oleh negeri ini;

2) kedudukannya yang bersifat monopoli dalam pasar dunia;

3) monopoli kolonialnya.

Uraian Lenin sangat jelas: pengiriman buruh migran tidak lepas dari ekses imperialisme-Neokolonialisme, yaitu perampokan dan pengeringan sumber daya dan kekayaan alam negara-negara terbelakang, sekaligus sebuah modus baru untuk melayani kepentingan klas kapitalis di eropa sendiri dalam hubungannya dengan pelemahan serikat buruh di sana.

Indonesia, salah satu negara pengirim buruh migran terbesar di dunia, adalah merupakan contoh konkret dari korban imperialisme. Bukan hanya sumber daya dan kekayaan alamnya yang sudah diangkut ke negeri-negeri imperialis sejak beratus-ratus tahun, tetapi segala potensi kemajuannya pun sudah dihancurkan melalui kebijakan deregulasi ekonomi dan privatisasi milik publik.

Jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Mestinya bisa menjadi potensi sumber daya dan sekaligus pasar yang besar. Tetapi karena Indonesia dijajah imperialisme-neokolonalisme, maka Indonesia gagal mengolah sumber daya alamnya, tidak bisa menjalankan industrialisasi secara terencana, dan gagal mengembangkan sektor pertaniannya menjadi modern.

Inilah yang menyebabkan tenaga kerja yang besar itu tidak tertampung. Sebagian berjuang sendiri di jalur ekonomi informal, sedangkan sebagian lagi harus rela menjadi buruh migran di negara-negara lain.

Negara-negara imperialis pun mengambil keuntungan dari pengiriman tenaga kerja murah dari negeri-negeri terbelakang itu. James Petras, seorang intelektual kiri terkemuka di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kebijakan buruh migran memang dirancang untuk melayani kelas kapitalis, yakni melalui penciptaan “laskar cadangan tenaga kerja berupah murah”.

Kelas kapitalis di negeri-negeri maju bisa memperkerjakan buruh migran dengan upah rendah, dengan demikian, menggantikan tenaga kerja terampil dan semi-terampil di negerinya yang berupah tinggi. Situasi ini juga dipergunakan oleh kelas kapitalis di negeri imperialis untuk melemahkan atau menjinakkan serikat buruh atau gerakan buruh di negerinya. Misalnya, hampir 20 tahun yang lalu, pekerja AS yang tergabung dalam serikat buruh di rumah potong dan pengepakan daging menerima kurang lebih $ 20 per jam dalam kondisi kerja yang relatif baik. Hari ini “se-ombyok-an” pekerja Mexico yang tidak tergabung dalam serikat buruh menerima sekitar $6 – $20 per jam dengan resiko kecelakaan kerja yang tertinggi diantara buruh pabrik.

Sekarang ini negeri-negeri imperialis juga mulai menerima pengiriman tenaga kerja terampil. Mereka umumnya dipekerjakan di bidang pekerjaan yang lebih baik dan dengan upah yang sedikit baik. Akan tetapi, dalam banyak kasus, mereka tetap diharapkan tidak bergabung dengan serikat buruh dan tidak melakukan perlawanan terhadap majikan.
Dengan kata lain, sebagaimana juga diakui James Petras, kebijakan imigrasi terbuka akan mengurangi biaya pemerintah atau menghemat anggaran pemerintahan di negeri-negeri imperialis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image