Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Optimasi Literasi Menulis Siswa

Eduaksi | Friday, 02 Feb 2024, 06:27 WIB

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Penulis, Praktisi, dan Konsultan Pendidikan)

Dibandingkan aspek membaca, berhitung, dan berbicara, literasi menulis menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan kita. Untuk membuktikannya sederhana, mintalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk menulis satu halaman saja dalam waktu dua jam pelajaran, boleh puisi, resensi, esai, atau opini.

Hanya sedikit siswa yang mampu menyelesaikannya. Jika dinaikan levelnya dengan menilai kualitas tulisannya, lebih sedikit lagi siswa yang mampu menulis dengan baik. Bahkan, bisa jadi mahasiswa pun masih banyak yang kesulitan untuk menulis esai atau opini. Lebih menyedihkan lagi masih banyak sarjana yang juga tak bisa menulis dengan baik.

Fakta di atas penulis dapati sejak masih menjadi guru pada 2010, dan bertahun-tahun mengisi training menulis diberbagai sekolah dan kampus. Tentu saja fakta ini sangat memprihatinkan. Dari menulis, kita bisa menilai daya nalar dan sistematika berpikir seseorang. Karena, menulis yang baik pasti membutuhkan daya nalar dan sistematika berpikir yang runtut. Dari menulis, kita juga bisa menilai seberapa banyak buku yang dibaca dan dipahami. Karena, menulis yang baik pasti membutuhkan kekayaan bacaan literatur.

Budaya masyarakat kita masih didominasi budaya bertutur ketimbang menulis. Inilah yang menyebabkan literasi menulis masih sulit dikembangkan di sekolah-sekolah kita. Membangun tradisi menulis masih menjadi tantangan besar. Padahal, tradisi menulis merupakan ciri masyarakat literat dan syarat kebangkitan peradaban. Oleh karena itu, perlu strategi tepat agar tradisi menulis bisa dibangun di sekolah-sekolah kita.

Pertama, revitalisasi pembelajaran Bahasa Indonesia. Kompetensi keilmuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Semestinya pembelajaran Bahasa Indonesia difokuskan untuk menstimulasi siswa agar mencapai kompetensi keilmuan tersebut.

Pembelajaran Bahasa Indonesia harus mampu memberikan ruang dan stimulasi bagi siswa untuk berlatih menulis. Jangan berputar-putar pada aspek tata bahasa. Aspek tata bahasa semestinya sudah selesai di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara, pada jenjang SMA difokuskan pada membangun kompetensi membaca, menyimak, berbicara, dan terutama menulis.

Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan stimulasi siswa untuk berlatih menulis. Setiap pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa diminta membaca sebuah buku, lalu menuliskan resensinya. Selain itu, siswa juga bisa diminta melakukan observasi mengamati peristiwa tertentu, lalu berikan tugas untuk menulis reportasenya. Demikian seterusnya. Guru mesti mengembangkan model-model pembelajaran yang melatih literasi menulis siswa.

Kedua, aktifkan unit kegiatan siswa berbasis literasi. Misalnya, semasa penulis belajar pada jenjang Madrasah Aliyah (setingkat SMA), penulis aktif di unit kegiatan literasi siswa. Unit kegiatan ini setiap bulan menerbitkan majalah dinding sekolah. Selain itu, aktif membuat kegiatan-kegiatan seputar literasi di sekolah, seperti lomba menulis puisi, resensi buku, dan esai.

Unit kegiatan literasi siswa berfungsi menjadi wadah bagi siswa untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan kemampuan literasi menulis. Secara berkala juga bisa mengundang para penulis untuk berbagi seputar dunia kepenulisan kepada siswa. Hal ini akan menguatkan aspek why bagi siswa untuk berlatih menulis.

Ketiga, berikan reward bagi siswa yang mampu mempublikasikan tulisannya di media masa, baik eletronik terlebih cetak. Di era informasi sekarang ini, saluran bagi siswa untuk mempublikasikan tulisannya diberbagai media masa terbuka lebar. Dalam hal ini, guru Bahasa Indonesia diharapkan bisa memberikan informasi seputar how to mempublikasikan tulisan di media masa, baik elektronik maupun cetak.

Ketika ada tulisan siswa yang terbit di media masa, maka sekolah mesti memberikan reward atau apreasiasi. Hal ini agar menjadi pemantik bagi para siswa lainnya untuk berlatih menulis dan mengirimkannya ke media masa. Selain itu, publikasi tulisan siswa di media masa juga bisa menjadi sarana meningkatkan branding sekolah.

Keempat, memasukkan mata pelajaran menulis sebagai muatan lokal dalam kurikulum. Artinya, ada mata pelajaran menulis secara khusus. Bisa jadi revitalisasi pembelajaran Bahasa Indonesia perlu diperkuat lagi dengan memasukan mata pelajaran menulis dalam struktur kurikulum sekolah. Dengan demikian, siswa akan belajar dan berlatih secara utuh bagaimana menulis yang baik dan benar.

Adanya mata pelajaran menulis memungkinkan disusun silabus mata pelajaran menulis yang komprehensif, sehingga siswa betul-betul dilatih menulis secara optimal dan profesional. Untuk keperluan ini, tentu saja diperlukan guru yang qualified. Guru yang sudah terbiasa menulis dan tulisannya sudah banyak terbit menjadi buku, esai, atau opini di media masa.

Implementasi strategi di atas, perlu dukungan dan komitmen dari kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan di sekolah. Dukungan tersebut juga terkait keberpihakan dalam penyusunan Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Unit kegiatan siswa berbasis literasi misalnya, perlu didukung secara anggaran agar mampu mengaktivasi berbagai kegiatan literasi menulis siswa.

Kombinasi dukungan kebijakan sekolah, kemauan guru dan siswa untuk berlatih meningkatkan kemampuan literasi menulis, akan menumbuhkan ekosistem literasi menulis yang baik. Dengan demikian, semoga kemampuan literasi menulis siswa akan semakin berkembang dan berkualitas. Pada akhirnya, melahirkan budaya literat yang menjadi modal penting dalam membangun peradaban bangsa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image