Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image APRILA RAHAYU GANI

Menggakli dalam Diri: Realitas Kesehatan Mental Anak-Anak Kota Denpasar

Edukasi | 2024-01-30 14:55:52

Oleh: Anna Roihanati, Hayyu Mawardi, Laras Pertama, Puti Febrina Niko, M.Psi, Psikolog Psikologi Islam, Universitas Muhammadiyah Riau

Kesehatan mental adalah salah satu kajian ilmu kejiwaan yang sudah dikenal sejak abad-19, seperti di Jerman tahun 1875 M. Pada pertengahan abad ke-20 kajian mengenai kesehatan mental pesat berkembang dan maju dengan cepat sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi modern (Ramayulis 2002). Kesehatan mental merupakan suatu ilmu yang praktis dan banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari manusia, baik dalam bentuk bimbingan dan konseling yang dilaksanakan di semua aspek dalam kehidupan individu, misalnya dalam rumah tangga, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan dan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya klinik-klinik kejiwaan dan munculnya lembaga-lembaga pendidikan kesehatan mental. Semuanya ini dapat menjadi pertanda bagi perkembangan dan kemajuan ilmu kesehatan mental (Ramayulis 2002).

Dalam buku Mental Hygiene, Kesehatan mental berkaitan dengan beberapa hal yaitu: Pertama, bagaimana seseorang memikirkan, merasakan dan menjalani keseharian dalam kehidupan. Kedua, bagaimana seseorang memandang diri sendiri dan orang lain. Ketiga, bagaimana seseorang dapat mencakup berbagai alternatif solusi dan bagaimana cara seseorang dalam mengambil keputusan terhadap keadaan yang sedang dihadapi (Yusuf 2011). Kesehatan mental merujuk pada kesehatan seluruh aspek perkembangan seseorang, baik fisik maupun psikis. Kesehatan mental juga meliputi upaya-upaya dalam mengatasi stress, ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri, bagaimana berhubungan seseorang dengan orang lain, serta berkaitan dengan pengambilan keputusan.

Gangguan kesehatan mental yang sering terjadi :

1. Gangguan kecemasan, dikenali dengan perasaan takut, khawatir dan panik yang tidak terkontrol serta adanya gangguan perilaku terkait.

2. Depresi, dimana seseorang mengalami suasana hati yang tertekan (merasa sedih, mudah marah, kosong) maupun kehilangan kesenangan atau minat dalam aktivitas setidaknya selama dua minggu.

3. Gangguan bipolar

4. Gangguan pascatarauma (PTSD)

5. Skizofrenia

6. Gangguan makan

Berdasarkan kunjungan kerja (PPPA) di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, yaitu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menemui korban-korban yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri secara sengaja atau self harm. KemenPPPA turut prihatin melihat adanya fenomena self harm yang telah banyak terjadi di Indonesia, korban-korban yang banyak melakukan self harm pada umumnya yaitu anak remaja. "Kita sebagai orang tua, guru, Pemerintah, bahkan masyarakat tentunya sepakat, mereka adalah generasi penerus bangsa yang perlu kita jaga dan penuhi hak-hak dasarnya, terutama hak atas kelangsungan hidup dan hak atas perlindungan. KemenPPPA berkomitmen akan memantau kasus self harm ini dan akan terus melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Karangasem terkait upaya penanganan, perawatan, dan perlindungan korban,” ujar Menteri PPPA.

Menteri PPPA menerangkan, di salah satu sekolah, tercatat ada 49 korban self harm. "Pihak sekolah melakukan pemeriksaan mendadak pada Desember 2022 dan Februari 2023 terkait fenomena ini. Seluruh korban berjenis kelamin perempuan. 40 anak melakukan satu kali sayatan, sedangkan sembilan lainnya melakukannya secara berulang," tutur Menteri PPPA.

Melihat kasus ini, Menteri PPPA menekankan pentingnya pendampingan psikologi sesuai dengan kebutuhan korban. "40 anak yang melakukan satu kali sayatan telah ditangani dan dibimbing serta dilakukan konseling oleh pihak sekolah. Sementara, bagi korban yang melakukan pengulangan ditangani oleh UPTD PPA Kabupaten Karangasem," ujar Menteri PPPA.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri PPPA mengapresiasi komitmen Pemerintah Kabupaten Karangasem melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos PPPA-PPKB) bersama UPTD PPA dalam menangani korban yang melakukan self harm secara berulang.

Bentuk self harm yang mereka lakukan pun bermacam-macam yaitu seperti, cutting (menggores pergelangan tangan dengan pisau, cutter ataupun benda tajam lainnya), memukul-mukul kepalanya sendiri bahkan membentur-benturkannya ke tembok, bahkan ada yang sengaja menempelkan tangannya di knalpot panas sepeda motor. Oleh karena itu mari kita bersama-sama mencermati apa itu self harm? Mengapa bisa terjadi self harm? Bagaimana solusinya? Supaya kita bisa lebih memahami penderita dan mungkin diantara kita juga pernah atau sedang mengalaminya.

Self harm merupakan suatu tindakan atau dorongan untuk menyakiti atau melukai diri sendiri dengan berbagai cara untuk mengalihkan rasa sakit psikis ke rasa sakit fisik. Biasanya banyak terjadi pada usia remaja dan usia dewasa awal. Mereka cenderung menutupi perilakunya tersebut dan enggan terbuka atau bercerita kepada orang lain di sekitarnya, bahkan terhadap keluarga atau teman terdekatnya mengenai masalah yang sedang dihadapinya. Para ahli merumuskan definisi terkait self-harm sebagai non-suicidal self-injury yang ditandai dengan kecenderungan emosi yang tidak stabil, hubungan yang tidak bertahan lama dan adanya perasaan kosong atau sepi di dalam diri. ­Self-harm merupakan masalah kesehatan mental yang banyak muncul dan memerlukan penanganan yang baik (Edmondson, Brennan, & House, 2016). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Laye-Gindhu & Schornet-reichl (2015) bahwa self-harm adalah perilaku yang disengaja dan secara sukarela menyakiti diri sendiri namun tidak sampai membahayakan seperti halnya usaha bunuh diri.

Kasus self harm di Kabupaten Karangasem menyoroti dampak serius gangguan kesehatan mental pada anak-anak. Psikologi klinis memainkan peran penting dalam penanganan kasus-kasus ini dengan memberikan pendampingan dan konseling yang sesuai dengan kebutuhan individu.

Saran Pengembangan dan Peran Psikologi Klinis

1. Intervensi Psikologi Klinis

Peningkatan kemajuan peran psikologi klinis dalam memberikan konseling dan terapi kepada individu yang mengalami self harm. Dan berikalan pelatihan yang lebih banyak dan baik kepada tenaga kesehatan mental untuk dapat memberikan dukungan yang efektif.

2. Pendidikan dan Pemahaman Masyarakat

Melaksanakan program edukasi kesehatan mental di sekolah dan masyarakat umum untuk mengurangi prasangka negatif terkait dengan gangguan kesehatan mental.

3. Kolaborasi Antarinstansi

Melakukan kerja sama dengan pemerintah, lembaga kesehatan mental, dan lembaga pendidikan untuk menyusun program perlindungan dan penanganan kasus self harm

4. Pemantauan dan Evaluasi

Implementasikan sistem pemantauan rutin di institusi pendidikan untuk mendeteksi tanda-tanda awal gangguan kesehatan mental dan self harm.

5. Pendekatan Holistik

Mengembangkan pendekatan holistik yang melibatkan psikologi klinis, dukungan keluarga, dan intervensi masyarakat untuk menangani self harm.

Psikologi klinis menjadi kunci dalam memberikan bantuan dan dukungan kepada seseorang yang mengalami self harm. Kolaborasi antar lembaga dan pendekatan holistik akan membentuk fondasi yang kuat untuk penanganan efektif terhadap kasus-kasus gangguan kesehatan mental, termasuk self harm di masyarakat.

Daftar Pustaka

Fitri, A. (2023). Program Preventif Bunuh Diri Untuk Mengurangi Ide Dan Percobaan Bunuh Diri Pada Mahasiswa. IDEA: Jurnal Psikologi, 7(1), 12–22. https://doi.org/

Suhartini, S., Wahyuningsih, T., & Winarni, L. M. (2022). Pengaruh Edukasi Self-Management Terhadap Pengetahuan Self-Harm Dan Kecemasan Pada Remaja Di Sman 20 Kabupaten Tangerang. Nusantara Hasana Journal, 2(6), 70–75.

Tarigan, T., & Apsari, N. C. (2022). Perilaku Self-Harm Atau Melukai Diri Sendiri Yang Dilakukan Oleh Remaja (Self-Harm or Self-Injuring Behavior By Adolescents). Focus : Jurnal Pekerjaan Sosial, 4(2), 213. https://doi.org/10.24198/focus.v4i2.31405

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image