Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Naufal Al R

Media Sosial: Mengatasi Bias Informasi dan Polarisasi Politik

Teknologi | Monday, 29 Jan 2024, 08:41 WIB

Media sosial sebagai media populer yang digemari oleh anak muda menyimpan sisi lain yang penting untuk diperhatikan. Sisi lain yang dimaksud berkenaan dengan adanya bias informasi dan polarisasi.

Melek digital dengan parameter pengguna internet yang semakin meningkat hingga mencapai lebih dari 202 juta pengguna pada tahun 2021 menurut data Statista, tidak serta merta diiringi dengan pemahaman yang baik mengenai literasi digital.

Ilustrasi by Merakist via Unsplash

Hal itu yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu tumbuh suburnya penyebaran konten disinformasi, penghinaan, hingga pencemaran nama baik di media sosial.

Kekhawatiran akan bias informasi menjadi masalah yang mendesak. Algoritma yang menggerakkan pengiriman konten di pelbagai platform media sosial yang dirancang untuk memenuhi preferensi pengguna, seringkali menjadi titik permulaan terciptanya ruang informasi yang memperkuat keyakinan.

Nahasnya tidak semua keyakinan itu didasarkan pada data dan fakta, melainkan lebih banyak berlandaskan pada selera.

Fenomena ini tidak tanpa konsekuensi, terutama dalam konteks politik, hal ini dapat berkontribusi pada polarisasi yang meningkat dan loyalitas berlebihan atau yang akrab disebut sebagai fanatisme terhadap kubu-kubu tertentu.

Maka tak jarang setiap menjelang tahun-tahun politik, perbincangan mengenai jagoan A, B, dan C akan semakin nyaring di media sosial. Apalagi jika ternyata jumlah pemilih muda merupakan jumlah pemilih mayoritas, tentunya media sosial sebagai “medianya anak muda” akan menjadi target yang menjanjikan.

Mekanisme Algoritma Media Sosial

Algoritma media sosial secara sederhana akan cenderung menampilkan konten yang disesuaikan dengan selera masing-masing pengguna baik secara sadar ataupun tidak sadar.

Sebagai contoh, ketika anda senang melihat konten makanan dan masak di Instagram, maka melalui algoritma, akun media sosial kalian akan dipenuhi dengan dengan konten seputar makanan dan masakan.

Masih terdengar positif bukan?

Tapi jika hal ini berkaitan dengan peristiwa politik seperti halnya waktu menjelang Pemilu yang dimana mulai banyak bertebaran propaganda politik, maka secara tidak sengaja media sosial akan berkontribusi pada polarisasi pendapat politik.

Jika anda cenderung terhadap sosok A, maka sudah dapat dipastikan isi media sosial anda akan dipenuhi mengenai kesan positif sosok A. Sementara itu, konten-konten mengenai sosok B, dan C akan lebih sedikit ditampilkan.

Hal itu yang disebut sebagai “terkungkung dalam gelembung informasi” karena pengguna hanya melihat informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sebelumnya, menciptakan lingkungan di mana pandangan yang berbeda diabaikan.

Jadi buat anda yang masih suka berdebat politik di media sosial, hingga bahkan saling melempar komentar beratus-ratus kali, ketahuilah bahwa itu hanya akan membuang waktu.

Sebab, bisa jadi anda dan lawan debat anda di media sosial tidak secara absolut berbeda pandangan, melainkan masing-masing anda tidak menemukan keseimbangan informasi dari sumber-sumber yang anda dapatkan.

Dampak Bias Informasi

Lantas apa sih dampaknya? Dampaknya adalah bias informasi dapat memperkuat polarisasi dan fanatisme. Paparan terus-menerus pada konten yang mengonfirmasi keyakinan seseorang dapat menguatkan sikap dan keyakinan. Membuat individu yang kurang toleran terhadap pandangan yang berbeda menjadi bising di media sosial.

Hal ini, pada gilirannya berkontribusi pada lanskap politik yang lebih terbelah dan terpolarisasi.

Upaya Menghadapi Bias Informasi

Mengurangi dampak informasi bias di media sosial memerlukan pendekatan yang beragam. Pertama dan terutama, diperlukan literasi media dan digital yang perlu ditingkatkan, serta keterampilan berpikir kritis di kalangan pengguna. Memberdayakan individu untuk membedakan dan menilai informasi pada saat menjelajahi konten media sosial dengan lebih efektif.

Mendorong diversifikasi sumber berita/informasi adalah sebuah langkah yang tidak kalah penting. Setiap pengguna perlu dan harus didorong untuk mengikuti berbagai sumber, termasuk yang menyajikan pandangan yang berbeda.

Dengan begitu, pengguna dapat dengan mudah lepas dari jeratan gelembung informasi dan menghadirkan spektrum perspektif yang lebih luas lagi.

Media Independen, sudah punahkah mereka?

Sedikit intermeso, bahwa di Indonesia, anda dapat dengan mudah melihat kecenderungan keberpihakan suatu media karena para bos media juga beberapa diantaranya terjun ke dunia politik dan bahkan mendirikan sebuah partai.

Sebuah ironi yang mau tidak mau harus diterima sebagai sebuah kenyataan.

Lagi-lagi Kolaborasi

Pada akhirnya memang untuk keluar dari permasalahan mengenai bias informasi, penyebaran disinformasi, ataupun pengguna yang terkungkung dalam gelembung informasi memerlukan sebuah upaya kolektif untuk menghasilkan hasil yang lebih maksimal.

Perlu adanya kolaborasi antara para pemangku kepentingan, pengguna media sosial, dan pemerintah melalui lembaga pembuat kebijakan. Kolaborasi ini dibentuk dengan tujuan untuk dapat mengidentifikasi dan mengatasi konsekuensi negatif dari algoritma dan desain platform yang menghasilkan bias informasi, disinformasi dan berdampak pada polarisasi.

Seperti yang kita tahu bahwa sebetulnya peranan Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki andil yang besar dalam hal ini. Hanya saja peranan dan kesadaran pengguna juga penting untuk memastikan pengalaman online yang lebih beragam dan seimbang sehingga menciptakan lingkungan media sosial yang lebih sehat.

Sebagai kesimpulan, perjalanan dalam mengarungi informasi di media sosial memerlukan kesadaran, pemikiran kritis, dan upaya kolektif. Dengan memeluk pendidikan, transparansi, dan pemberdayaan pengguna, kita dapat menjelajahi ruang virtual ini dengan ketangguhan, meminimalkan pengaruh bias, dan berkontribusi pada masyarakat digital yang lebih terinformasi dan bersatu dalam keberagaman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image