Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edu Sufistik

Membangun Peradaban Madani

Agama | 2024-01-26 23:09:22

Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Founder Edu Sufistik)

"Kita perlu melangit untuk kemudian turun lagi ke bumi. Membawa spirit langit untuk menata bumi. Memancarkan cahaya langit untuk menerangi bumi." (Muhammad Syafi’ie el-Bantanie)

Seharusnya agenda besar umat Islam adalah membangun peradaban, bukan mengekor peradaban. Karena, umat Islam adalah khairu ummah yang dilahirkan untuk memimpin umat manusia (QS. 3: 110). Kalua hari ini ada gap yang menganga lebar antara idealita Islam dengan realita umat Islam, inilah pekerjaan besar kita untuk memperpendek gap tersebut.

Islam adalah dien yang telah sempurna (QS. Al-Maidah: 3). Dien memiliki akar kata yang sama dengan maddana (tempat diterapkannya dien), sehingga melahirkan tamaddun (sifat peradaban berdasarkan dien). Karena itulah, diperlukan pemikir dan konseptor peradaban (QS. At-Taubah: 122). Mereka yang mampu memahami dan menerjemahkan prinsip umum dan konsep dasar dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis menjadi sistem, mekanisme, dan operasionalisasinya dalam berbagai sektor kehidupan.

Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal Umar bin Abdul Aziz yang dijuluki The Philosopher King. Karena, bukan hanya seorang raja, namun Umar bin Abdul Aziz juga seorang mujadid (pembaharu). Keberadaan pembaharu adalah syarat bangkitnya kembali peradaban ketika mengarah kepada kemunduran, sehingga siklusnya naik kembali (QS. Hud: 117). Itulah peran yang diambil oleh Umar bin Abdul Aziz ketika Daulah Umayah berada dalam stagnasi dan bergerak menuju kemunduran.

Umat Islam harus mampu melahirkan generasi elit. Peran kelompok elit sangat krusial dalam kebangkitan dan kehancuran sebuah peradaban. Ketika kelompok elitnya rusak, maka itulah salah satu tanda keruntuhan peradaban (QS. Al-Isra: 16).

Generasi elit tidak akan lahir tanpa dididik dan ditempa oleh para guru yang memiliki kualifikasi sang arsitek peradaban. Guru yang mampu membangun mindset murid-muridnya dan menginspirasi mereka untuk melambungkan cita-cita dan impiannya. Salah satu tugas para rasul adalah mendidik generasi (QS. Al-Jumu’ah: 2). Maka, para guru sejatinya melanjutkan misi kenabian sebagai pendidik generasi terbaik (khairu ummah).

Kemudian, perlu disadari kebangkitan peradaban mensyaratkan kebangkitan kolektif, tidak bisa parsial. Keberadaan masyarakat literat dan cinta ilmu menjadi salah satu kunci bangkitnya peradaban. Setiap peradaban mesti tegak dengan tradisi ilmu yang kuat (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

Karena itulah, kita perlu melahirkan masyarakat literat, pada ranah pendidikan informal (rumah), pendidikan formal (sekolah), dan pendidikan non formal (masyarakat). Hasilnya masyarakat yang cinta dan haus ilmu. Jika sudah demikian, maka ilmu pengetahuan akan berkembang sebagai tools membangun peradaban.

Selanjutnya, peradaban yang mulai tumbuh itu perlu diisi oleh para ahli dan profesional diberbagai bidang. Para profesional yang memberikan kontribusi sesuai bidang keahliannya; pertanian, ekonomi, kedokteran, kelautan, industri, teknologi, dan seterusnya. Mereka bukan hanya para profesional yang ahli pada bidang keilmuannya, namun juga membawa spirit membangun Islamic civilization.

Karena itu, kerja-kerja umat Islam diberbagai aspek harus dipandang dalam kerangka membangun peradaban agar kita bisa memahami sisi idealismenya dan tidak terjebak pada sisi pragmatismenya. Framework itulah yang mendasari kita untuk mewujudkan Indonesia berdaya.

Indonesia berdaya merupakan terjemahan dari baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (QS. Saba: 15). Sebuah negara yang mandiri, beradab, dan berdaulat di bidang politik dan ekonomi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia serta mempengaruhi percaturan politik internasional menuju tatanan dunia yang berkeadaban.

Definisi Indonesia berdaya di atas terinspirasi dari surat Al-Quraisy. Jika surat Al-Quraisy ditafsirkan secara geo politik, maka Indonesia harus membangun kekuatan pada aspek politik-militer (wa amanahum min khauf) dan aspek ekonomi (ath’amahum min ju’). Kedua aspek tersebut dibangun berlandaskan pengabdian kepada Allah (falya’budu rabba hadzal bait).

Akhirnya, jika meminjam teori siklus peradabannya Ibnu Khaldun, yang menjelaskan prinsip umum peradaban dalam surat Ali ‘Imran ayat 137 – 140, mari kita merenung kira-kira ada pada siklus ke berapa Indonesia? Semoga bukan pada siklus keempat (stagnan) menuju kelima (menua), terlebih keenam (kehancuran).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image