Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Deforestasi Undang Bencana, Alam dan Rakyat Makin Sengsara

Politik | Friday, 26 Jan 2024, 22:08 WIB

Berdasarkan laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI), Indonesia menduduki tingkat ke-2 deforestasi terparah pada periode 2002-2022 setelah Brazil, yakni 10,2 hektare. Angka kehilangan hutan yang dicatat WRI ini melingkupi area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi serta degradasi (databoks.katadata.co.id, 19-01-2024).

Salah satu wilayah di Indonesia yang banyak mengalami deforestasi adalah Riau. Catatan Akhir Tahun dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang tahun 2023.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy, Jerry Even Sembiring menyebut angka deforestasi itu lebih luas dari rata-rata per tahun dalam jangka lima tahun terakhir. Pada Tahun 2023, hutan alam di Riau hanya menyisakan 1.377.884 ha. Lebih lanjut ia menyebut bahwa 57% daratan Riau telah dikuasai investasi (cnnindonesia.com, 12-01-2024).

Dari total tersebut, pemerintah telah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Walhi juga mencatat luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada kawasan hutan 1,8 juta hektar.

Walhi juga menilai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja turut memfasilitasi keberadaan perusahaan kebun sawit di dalam kawasan hutan. Mengacu pada UU Ciptaker ini, pemerintah justru akan memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Hal ini menandakan bahwa negara telah membenarkan deforestasi.

Deforestasi sendiri adalah perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen, seperti menjadi perkebunan atau permukiman. Sementara, degradasi adalah penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan, baik yang disebabkan aktivitas manusia atau peristiwa alam.

Undang Bencana, Alam dan Rakyat Makin Sengsara

Hutan yang memiliki fungsi penting diantaranya menjaga keseimbangan lingkungan juga tempat tinggal beberapa flora dan fauna menjadi terganggu, hal ini karena hutan telah habis terbakar atau beralih fungsinya menjadi pemukiman, adanya aktivitas tambang, pengeboran, perkebunan dan sebagainya, yang sifatnya permanen.

Sungguh ironis, pemerintah yang seyogyanya memberikan perhatian lebih agar hutan bisa terjaga dan lestari sebagaimana mestinya justru mementingkan para investor, demi keuntungan semata. Lagi-lagi kesejahteraan rakyat dan makhluk hidup yang ada di alam menjadi terganggu.

Deforestasi dapat membuat berkurangnya flora dan fauna, karena tempat hidup mereka berkurang atau bahkan menjadi hilang. Bahkan, untuk flora dan fauna tertentu bisa mengalami kepunahan, karena tidak bisa ditemui lagi di habitat asalnya.

Selain itu, dengan adanya deforestasi siklus air akan terganggu, sebab hutan yang menjadi stabilisator daerah tertentu, fungsi resapan air akan hilang, penguapan air tanah oleh pepohonan menjadi berkurang.

Dampak yang lain adalah mengundang bencana yang akan merugikan manusia, seperti banjir dan tanah longsor. Kerugian ini dapat dirasakan rakyat secara langsung, bahkan bisa jadi memiliki dampak yang paling besar, seperti merusak rumah, menimbulkan korban jiwa, terganggunya aktivitas ekonomi, dan sebagainya.

Ketika lingkungan semakin rusak akibat ulah manusia-manusia yang serakah, bencana datang, alam dan rakyat pun jadi korban. Kebijakan yang lemah dan berpihak kepada kepentingan korporasi membuat rakyat menjadi susah. Penguasa lemah dalam menegakan hukum terkait pembangunan. Peraturan di bidang kehutanan juga tidak menerapkan sanksi hukum terhadap aksi kriminal di bidang kehutanan. Sudah barang tentu rakyat lah yang makin sengsara karena menanggung resiko kerusakan alam akibat deforestasi.

Buah Kapitalisme

Penguasa dalam naungan sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini jelas terbukti hanya sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Sebab dengan asas sekularisme, yakni pemisahan antara agama dengan kehidupan telah menjadikan sistem ini memisahkan aspek pembangunan dengan apa yang diperintahkan oleh agama terkait pelestarian alam. Kemajuan pembangunan yang ada dianggap hanya bisa terjadi dengan mengorbankan lingkungan. Keuntungan ekonomi dinomorsatukan, meski harus merusak hutan.

Penguasa lebih berpihak pada kepentingan yang bernilai materi daripada kemaslahatan rakyat. Segala cara dilakukan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, tak peduli halal dan haram. Tak heran, jika perizinan masih dengan mudah diberikan oleh penguasa kepada pengusaha pertambangan dan perkebunan kelapa sawit untuk mengalihfungsikan hutan. Konsensi juga diizinkan untuk "memanen" (tebang habis) semua kayu terlepas dari spesies, ukuran pohon dari area yang ditentukan. Padahal, keuntungan yang pemerintah peroleh tidak sebanding dengan dahsyatnya kerusakan yang ditimbulkan akibat deforestasi ini.

Negara dalam sistem ini tak lagi memainkan perannya sebagai pelayan umat. Maka, tidak heran jika kebijakan yang ditelurkan justru lebih memihak kepada kepentingan korporasi daripada kepentingan rakyat.

Pandangan Islam

Hal ini tentu jauh berbeda dengan Islam. Jika sistem kapitalisme telah gagal melestarikan hutan, sistem Islam justru sangat menjaga kelestariannya. Bahkan, Islam melarang manusia untuk melakukan kerusakan di muka bumi. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al A'raf ayat 56, yang artinya:

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan".

Pembangunan dalam sistem Islam akan mengikuti kemaslahatan umat, bukan demi kepentingan segelintir orang. Pembangunan dilakukan dengan cara-cara yang bertanggung-jawab dan dibenarkan oleh syarak. Pembangunan ini akan membawa keberkahan dan kebaikan bagi manusia, hewan juga alam.

Syariat telah menetapkan hutan sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai atau diprivatisasi oleh segelintir orang. Negara wajib mengelola hutan agar tetap lestari dan bisa membawa maslahat untuk umat. Negara mengelola hutan secara mandiri dan bertanggung jawab, yang hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh memberikan wewenang kepada swasta/asing untuk menguasai atau mengelolanya. Hal ini juga termasuk terkait tambang, laut, pariwisata, perkebunan, dan sebagainya, yang termasuk kepemilikan umum dan negara.

Negara yang menerapkan Islam kafah dalam naungan Khilafah juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat agar turut andil dalam penjagaan hutan. Selain itu, bagi individu atau perusahaan yang melanggar aturan terkait kelestarian hutan akan diberi sanksi yang tegas berupa takzir yang akan menimbulkan efek jera dan mewujudkan keamanan hutan. Sanksi ini dapat berupa hukuman kurungan, denda, pengasingan dan sebagainya.

Komitmen pelestarian hutan yang kuat ini hanya dapat terwujud oleh negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, yang dipimpin oleh orang-orang yang bertakwa dan menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak.

Wallahu a'lam bisshowab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image