Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Metaverse dan Disrupsi Pendidikan

Eduaksi | 2022-01-12 12:53:01


Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)

Perkembangan metaverse pada 2022 mulai ramai diperbincangkan. Teknologi metaverse, yang merupakan pemutakhiran teknologi digital, diprediksi akan berkembang pesat seiring teknologi internet generasi kelima atau 5G mulai beroperasi. Teknologi metaverse diprediksi akan semakin men-disrupsi lanskap kehidupan. Bukan hanya dunia ekonomi dan industri, namun bisa juga dunia pendidikan.

Model bisnis pendidikan yang masih mengandalkan megahnya infrastruktur sebagai nilai jual bisa jadi akan dipaksa menggali kuburannya sendiri. Pasalnya di metaverse setiap lembaga pendidikan bisa membangun kampus atau sekolah sangat megah sekalipun dalam dunia virtual dengan dukungan teknologi virtual and augmented reality.

Layaknya sekolah dan kampus dalam dunia nyata, setiap murid dan mahasiswa bisa mendaftar di sekolah dan kampus virtual tersebut. Melakukan pembayaran uang sekolah dan kampus. Kemudian, belajar dan mengajar bersama guru dan dosen dalam dunia virtual metaverse dengan diwakili avatar masing-masing.

Dengan demikian, setiap lembaga pendidikan bisa membuka sekolah dan kampusnya diberbagai kota, bahkan lintas negara. Sebuah brand sekolah atau kampus bisa dengan mudah membuka cabangnya di seluruh negara di dunia dalam bentuk kampus virtual.

Kuncinya adalah pada penjagaan kualitas pendidikan. Sehingga, pada akhir periode pendidikan, siswa dan mahasiswa sekolah dan kampus virtual ini juga mendapatkan kelulusan akademis secara legal formal sebagaimana sekolah dan kampus dalam dunia nyata.

Perkembangan teknologi metaverse bisa jadi akan benar-benar men-disrupsi dunia pendidikan. Sehingga, diskusinya bukan lagi model sekolah dan kampus seperti apa yang mampu bertahan pada masa depan, namun masih punya masa depankah sekolah dan kampus, seperti disinggung oleh Neil Postman dalam buku The End of Education.

Esensi Pendidikan

Perkembangan teknologi metaverse semestinya membuat para pengelola pendidikan berpikir menukik ke dalam, bukan memusatkan perhatian pada hal-hal artificial demi mengejar citra dan branding. Hal-hal artificial dan pencitraan pasti akan rontok ditelan teknologi.

Lantas, apa yang akan tetap bertahan dalam dunia pendidikan? Esensi pendidikan. Karena, secanggih apapun teknologi tetap tidak akan bisa menggantikan hal esensi dalam pendidikan. Mutiara akan tetap bernilai dan berharga meski tahun dan musim silih berganti. Apa itu? Transfer kualitas ruhani guru kepada murid.

Dalam perspektif pendidikan Islam, proses belajar mengajar bukan hanya proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan yang paling penting justru transfer kualitas ruhani. Setiap pertambahan ilmu pengetahuan murid, semestinya dibarengi juga dengan peningkatan kualitas ruhaninya. Sehingga, akal manusia (pintar) tidak menjadi liar, melainkan tetap tunduk dalam kendali kalbu (iman dan adab).

Proses transfer ruhani guru kepada murid tidak mungkin digantikan oleh teknologi. Ada proses pertautan dan pengikatan kalbu guru dengan murid secara ruhani. Untuk kemudian sang guru mentransfer kualitas ruhaninya dalam bentuk ijazah batin. Jika untuk ilmu, ada ijazah sanad keilmuan secara teks. Maka, untuk transfer kualitas ruhani, ada ijazah batin melalui talqin zikir dan doa.

Oleh karena itu, pilihan terbaik lembaga pendidikan adalah menyambut teknologi metaverse dengan menguatkan esensi pendidikan. Kemudian, merancang pengembangan pendidikan dengan memanfaatkan teknologi metaverse. Dalam konteks inilah, mimpi besar Ekselensia Tahfizh School mereplikasi di 100 kota di 50 negara di 5 benua yang dicanangkan saat awal kelahirannya pada 16 Juli 2018 seperti menemukan aktualisasinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image