Mengingat Kembali Tujuan Organisasi Masyarakat Sipil di Tengah Pusaran Politik Pilpres 2024
Politik | 2024-01-25 08:31:51Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024, selain disuguhi berbagai manuver-manuver dari para elit politik, godaan politik juga mulai menjamah berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS). Godaan tersebut tak lain berbentuk ajakan dari berbagai kelompok politik kepada OMS untuk terlibat dalam kegiatan dukung-mendukung pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang akan berkompetisi pada Pilpres esok. Adapun bentuk dukungan tersebut dapat berbentuk dukungan formal kelembagaan maupun dukungan informal yang bersifat terselubung. Melalui tulisan singkat ini, penulis bermaksud untuk mengingatkan kembali hakikat tujuan OMS yang seringkali hilang dari kamus perjuangan OMS di Indonesia terlebih mendekati tahun-tahun politik.
Hakikat Tujuan Organisasi Masyarakat Sipil
Apabila merujuk pada tujuan dasar dibentuknya OMS, dibentuknya OMS sesungguhnya bertujuan untuk mendesak kekuasaan atau negara agar turut menegakkan hak-hak sipil (civil rights) warga negaranya (Usman, 2002). Hak-hak sipil sendiri merupakan suatu kebebasan fundamental yang diperoleh setiap individu warga negara sebagai hakikat dari eksistensinya sebagai manusia. Beberapa bentuk dari hak-hak sipil tersebut diantaranya adalah hak kesetaraan di mata hukum, hak kebebasan berekonomi, hak kebebasan menyampaikan pendapat, hak kebebasan berkumpul dan berserikat serta hak kebebasan berkeyakinan dan beragama (Icjr.or.id, 2012).
Berdasarkan tujuan OMS di atas, maka perlu dipahami bahwa setiap organisasi kemasyarakatan (Ormas) tidaklah secara otomatis dapat disebut sebagai OMS. Ormas yang tidak sejalan dengan tujuan-tujuan mendasar OMS di atas sulit untuk dikatakan sebagai organisasi masyarakat sipil sebagaimana banyak kita jumpai di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Adanya penegakan hak-hak sipil warga negara di atas akan berkontribusi terhadap menguatnya demokrasi di suatu negara. Sebaliknya, melemahnya hak-hak sipil warga negara akan berkontribusi pada lemahnya demokrasi di suatu negara. Di level yang paling ekstrem, melemahnya hak-hak sipil warga negara akan berdampak pada terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia baik dilakukan oleh negara maupun aktor di luar negara.
Menjaga Jarak dengan Kekuasaan (Negara)
Menimbang tujuan OMS di atas, maka menjadi hal yang lumrah apabila OMS seringkali menjaga jarak dengan kekuasaan atau negara. Menjaga jarak dari kekuasaan atau negara tidaklah sama diartikan dengan anti terhadap negara dan berbagai agenda pembangunannya. Menjaga jarak dari negara didasari pada pertimbangan bahwa negara berpotensi bertindak sebagai aktor untuk dirinya sendiri (state of its own) (Rauf, 1991). Ketika negara bertindak sebagai aktor untuk dirinya sendiri ia berpotensi bertindak sewenang-wenang dengan mengabaikan kepentingan fundamental masyarakat yaitu jaminan atas tegaknya hak-hak sipil warga negara. Oleh karena itu, menjaga independensi OMS atas intervensi kekuasaan atau negara menjadi setting posisi terbaik dari OMS.
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya OMS tetap menganggap negara sebagai hal yang penting keberadaannya (Usman, 2002). Sejauh negara dan agenda pembangunannya sejalan dengan penguatan hak-hak sipil warga negara, maka OMS akan turut berpartisipasi secara kritis dalam agenda-agenda pembangunan. Sebaliknya, apabila negara dan sederet agenda pembangunannya justru melemahkan hak-hak sipil warga negara, maka OMS akan bergerak mendesakkan perubahan agar hak-hak sipil warga negara kembali berdiri tegak. Agar terus mampu menjaga independensi dari kekuasaan atau negara, OMS dituntut untuk mampu mandiri secara kelembagaan, dengan kata lain mampu berdiri di atas kaki sendiri. OMS yang terlalu berpangku tangan terhadap uluran ‘tangan negara’ atau sumber daya negara (state resources) hampir selalu sulit untuk lepas dari kooptasi kepentingan kelompok berkuasa atau negara. Akibatnya, seringkali tujuan mulia OMS menjadi kabur.
Organisasi Masyarakat Sipil di Tengah Kemunduran Demokrasi
Menjelang pelaksanaan Pilpres pada Februari 2024, godaan-godaan kelompok politik tertentu yang sebagian teridentifikasi mewakili kekuasaan bermunculan, godaan-godaan tersebut dapat berupa janji-janji politik seperti jabatan politik strategis, bantuan keuangan dan non-keuangan, serta konsensi proyek-proyek negara. Merespon berbagai godaan di atas, beberapa OMS terlihat tetap konsisten berada di jalurnya sebagai penyeimbang kekuatan negara, beberapa yang lain mulai hanyut dalam bujuk rayu dengan mendukung kelompok-kelompok politik tertentu baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Di tengah kondisi kemunduran demokrasi dalam satu dekade terakhir yang dibahasakan oleh para ahli dengan berbagai istilah seperti the authoritarian turn and democratic decline (Aspinall et al., 2020; Mietzner, 2021; T. P. Power, 2018), the illiberal turn (Aspinall & Mietzner, 2019; Diprose et al., 2019; Mietzner, 2020), the democratic stagnation and democratic regression (Nuraini Siregar et al., 2022; T. Power & Warburton, 2020) diikuti dengan fenomena semakin menyempitnya ruang kebebasan sipil (shrinking space of civil society) (Robet et al., 2023), Indonesia membutuhkan OMS yang mampu berdiri tegak menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan atau negara.
Apabila ditelaah secara lebih jeli, sederet problematika di atas sesungguhnya merupakan bukti bahwa negara melalui kelompok-kelompok politik yang berkuasa seringkali bertindak atas kepentingannya sendiri. Keterlibatan OMS secara politik melalui kegiatan dukung-mendukung sekali lagi berpotensi memperburuk kondisi demokratisasi di Indonesia ke depan. Ancaman terhadap demokrasi secara otomatis menjadi ancaman atas penegakan hak-hak sipil warga negara ke depan. Sebagai bagian dari gerakan sipil demokratik, OMS dengan berbagai coraknya termasuk organisasi sosial keagamaan harus kembali kepada tujuan dasarnya yaitu sebagai garda depan penjaga tegaknya hak-hak sipil warga negara dan demokrasi.
M. Hasan Syamsudin, Dosen Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus
Referensi:
Aspinall, E., Fossati, D., Muhtadi, B., & Warburton, E. (2020). Elites, masses, and democratic decline in Indonesia. Democratization, 27(4), 505–526. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1680971
Aspinall, E., & Mietzner, M. (2019). Indonesia’s Democratic Paradox: Competitive Elections amidst Rising Illiberalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 55(3), 295–317. https://doi.org/10.1080/00074918.2019.1690412
Diprose, R., McRae, D., & Hadiz, V. R. (2019). Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 1–22. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1637922
Icjr.or.id. (2012). Mengenal Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Icjr.or.Id. https://icjr.or.id/mengenal-kovenan-internasional-hak-sipil-dan-politik/
Mietzner, M. (2020). Authoritarian innovations in Indonesia: electoral narrowing, identity politics and executive illiberalism. Democratization, 27(6), 1021–1036. https://doi.org/10.1080/13510347.2019.1704266
Mietzner, M. (2021). Sources of resistance to democratic decline: Indonesian civil society and its trials. Democratization, 28(1), 161–178. https://doi.org/10.1080/13510347.2020.1796649
Nuraini Siregar, S., Raffiudin, R., & Noor, F. (2022). Democratic regression in Indonesia: Police and low-capacity democracy in Jokowi’s administration (2014–2020). Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(2), 197. https://doi.org/10.22146/jsp.72129
Power, T. P. (2018). Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918
Power, T., & Warburton, E. (2020). The Decline of Indonesian Democracy. In T. Power & E. Warburton (Eds.), Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (pp. 1–20). ISEAS-Yusof Ishak Institute. https://doi.org/10.1355/9789814881524-015
Rauf, M. (1991). Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik. Jurnal Ilmu Dan Budaya, XIII(7), 19–23.
Robet, R., Fauzi, I. A., & Darningtyas, R. (2023). NGOs say civic space shrinking fast in Indonesia. Indonesia at Melbourne. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/ngos-say-civic-space-shrinking-fast-in-indonesia/
Usman, S. (2002). Civil Society di Indonesia: Suatu Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 5(3), 379–391.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.