Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Surya

Pesanggrahan, Mencari Arti dari Sebuah Nama Tempat

Sejarah | 2024-01-23 14:06:28
Kantor Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. (Dokumentasi Pribadi)

Nama sebuah tempat bagi kehidupan manusia barangkali menjadi hal biasa saja. Banyak dari kita rasanya tak acuh terhadap bagaimana cerita atau sejarah penamaan tempat yang sekarang kita tinggali atau sekaligus tempat kita lahir dan akan mati. Padahal perlu dicermati bahwa sebuah nama tempat memiliki asal-usul penamaannya atau toponimi sehingga menjadi kekhasan bahkan identitas wilayah tersebut termasuk dalam pembahasan ini wilayah Pesanggrahan.

Uka Tjandrasasmita dalam bukunya berjudul Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa toponimi sangat perlu diperhatikan dalam penggalian sebuah sejarah.

Satu di antara sekian tulisan yang telah menggambarkan asal-usul nama Pesanggrahan di wilayah Jakarta Selatan ialah karya Zaenuddin HM dalam 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe yang mengatakan bahwa nama Pesanggrahan berasal dari nama sungai.

Jelas memang kalau dilihat Sungai atau Kali (penyebutan orang Betawi) Pesanggrahan juga melintasi daerah Ciputat. Oleh karenanya ada Jl. Pesanggrahan di samping sampai ke belakang Gedung Kampus UIN Syarif Hidyatullah Jakarta. Secara bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keenam, kata Pesanggrahan diartikan peristirahatan.

Dalam peta-peta kolonial hingga tahun 1911 yang diterbitkan oleh Universiteit Leiden dalam websitenya, nama Pesanggrahan belum juga muncul sebagai nama sebuah daerah. Meski demikian, nama Pesanggrahan disinyalir telah dikenal jauh sebelum masa kolonial sebagai nama sungai yang melewati District Kebajoran (masa kolonial),kini Kebayoran.

Babeh Idin atau nama aslinya Chaeruddin, penggiat budaya dan aktivis lingkungan Sangga Buana Kali Pesanggrahan yang ditemui beberapa waktu lalu menyatakan kalau nama Pesanggrahan diartikan sebagai tempat kumpul.

"Kali dan pantai jaman dulu adalah sumber kehidupan manusia, peradaban manusia. Pesanggrahan dan Ciliwung adalah satu peradaban," kata Babe Idin di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Sumber tulisan lain yang juga sedikit mengulas tentang Pesanggrahan adalah karya syahrilachmad.blogspot.com dalam judul Toponim di Daerah Aliran Sungai: Pangkalan dan Eretan. Informasi dalam tulisan itu mengungkap bahwa terdapat pangkalan-pangkalan dalam budaya ekosistem sungai pada masyarakat Betawi masa lalu.

Pangkalan yang ada di Kali Pesanggrahan antara lain Pangkalan Kebo, Pangkalan Teriti, dan Pangkalan Gedong. Selain itu, pangkalan berkaitan dengan eretan. Eretan adalah sarana penyebrangan orang yang ada di sungai, sejenis perahu sederhana. Orang yang mengelola Eretan disebut Tukang Eretan. Tukang eretan ini oleh penggunanya biasanya diberikan bayaran seikhlasnya.

Menurut Abdul Aziz, penggiat budaya dan masyarakat asli kawasan Pesanggrahan mengatakan pengalamannya bahwa yang disebut pangkalan pada zaman dahulu adalah tempat orang menggarap lahan, menanam apa saja yang bermanfaat di pinggiran kali dengan luas.

"Dulu kan di Betawi kebanyakan sawah, jadi berbagai macam tanaman ditanem di sepanjang kali. Kali juga sekaligus sebagai irigasinya atau disebut juga uangan. Dulu di sini (Pesanggrahan) ada pangkalan Ki Bokim," Kata Aziz, warga Kelurahan Ulujami yang dilintasi Kali Pesanggrahan.

Ia juga menambahkan kalau pangkalan itu bisa diartikan sebagai halte atau tempat menunggu dan rehat sebentar untuk meneruskan perjalanan.

Senada dengan itu dalam Buku Landhuis di Jabodetabek karya Reyhan Biadillah tahun 2023 menyebutkan bahwa di sekitar Kali Pesanggrahan terdapat dua bangunan Landhuis atau rumah peristirahatan para orang kaya, pejabat, atau pemilik tanah partikelir pada pertengahan abad 19.

Keberadaan Landhuis itu antara lain di Ulujami (Oeloedjami) dan Bintaro Pondok Betung. Memori kolektif masyarakat setempat menyebut Landhuis sebagai Gedong ijo, maka tak heran ada nama Pangkalan Gedong yang disebutkan sebelumnya di Ulujami, Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Pesanggrahan.

Secara geografis kawasan Pesanggrahan yang ada di Jakarta Selatan ini berbatasan dengan kawasan Pondok Betung, Tangerang Selatan. Pada masa kolonial, kedua kawasan ini masuk dalam kawasan Zuider Kwartier Batavia atau Zona Selatan yang saat itu masuk dalam Karesidenan Batavia.

Kawasan Pesanggrahan dalam pembahasan ini sekarang menjadi nama Kelurahan sekaligus nama Kecamatan yang merupakan bagian wilayah administratif Jakarta Selatan. Baba Dasik Arifin, sesepuh masyarakat Kampung Sawah, Pesanggrahan mengatakan kalau Pesanggrahan menjadi administratif kelurahan baru pada tahun 1974. Selanjutnya menjadi administratif kecamatan setelah pemekaran dari Kecamatan Kebayoran tahun 1990-an.

"Makanya di sini ada beberapa makam kumpi (moyang), yang dimuliakan, dituakan dulu. Nah kumpi-kumpi itu banyak mengembara, dan barangkali sampailah di kawasan ini dia singgah, dan wafat," kata Baba Dasik yang berusia 75 tahun.

Jika demikian, pernyataan-pernyataan itu dapat disimpulkan sementara bahwa Pesanggrahan adalah tempat pertemuan, tempat persinggahan yang menunjukan pada makna peristirahatan. Kalau dilihat secara jarak, daerah Pesanggrahan cukup dekat dengan Pasar Kebayoran, di mana pada masa lalu Pasar Kebayoran menjadi tujuan utama orang-orang kampung untuk menjual hasil panennya dan mencari barang-barang kebutuhan lainnya dengan lengkap, termasuk orang-orang dari kampung Betawi yang ada di Ciputat, Pamulang, dan Serpong.

Mereka ada yang berjalan kaki dengan membawa pikulan atau naik sepeda dengan keronjo untuk membawa barang dagangan. Ada juga yang menggunakan jalur Kali Pesanggrahan dengan menggunakan eretan yang dijelaskan di atas. Pada umumnya manusia, ketika memutuskan untuk beristirahat, biasanya mereka mencari daerah-daerah yang sudah cukup dekat atau paling tidak sudah setengah perjalanan dengan tujuan untuk berhenti sebentar baik karena lelah, menunggu sesuatu ataupun sekedar untuk menikmati perjalanan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image