Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aswantri Bekti

Ketika Sampai di Simpang Jalan

Sastra | Tuesday, 11 Jan 2022, 08:58 WIB

Pagi itu di saat kami sedang jogging bersama keluarga, tiba-tiba di tengah perjalanan, di persimpangan jalan berliku, seorang ibu mencegat kami. Ternyata seorang pedagang makanan khas daerah kami.

Spontan kami berhenti dan memperhatikan perempuan tua itu. Mungkin usianya sebaya dengan mendiang ibuku. Pandangannya yang cukup tajam, menyiratkan sebertik tanda tanya.

Kupikir beliau mau menawarkan dagangannya, maka dengan sopan kami menolaknya. Ternyata, kami salah sangka. Beliau bukannya mau menawarkan dagangannya melainkan minta tolong untuk mengangkatkan barang dagangannya itu ke gendongannya, ditaruh di atas sebuah “tenggok” usang yang setia menemani dan menjadi saksi perjalanan beliau menjajakan kue tradisional dan mungkin juga gorengan hasil karya beliau semalaman. Agaknya, karena jalanan menukik tajam, barang dagangannya jatuh dari gendongan.

Kami tertegu,  luar biasa semangat ibu ini. Berjalan kaki menuruni jalan sepanjang bukit di Jalan Mangunan, menuju keramaian di seputaran kompleks Pajimatan, tempat orang melakukan jogging sembari menikmati berbagai kuliner. Beliau akan dengan sabar menawarkan dagangannya di antara para penikmat kuliner. Ya aku ingat, kami memang sering berpapasan dengan beliau yang dengan keringat mengucur di kening, beliau memandang calon "customer"nya dengan penuh harap agar dagangannya laku.

Mungkin beliau harus menempuh tidak kurang dari dua atau tiga kilometer, jarak yang menurut kami cukup jauh apalagi bagi seorang perempuan seusia beliau. Namun semangat berjuang beliau sungguh mengesankan. Bisa jadi, beliau mewakili sebuah fenomena gunung es. Para wanita yang masih harus mencari maisyah, membanting tulang pada saat seharusnya mereka menikmati masa tua. Bumi pasti menjadi saksi bagi langkah-langkah mulia itu.

Dan di atas semua itu, Gusti Alloh Yang Maha Penyayang tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan yang dilakukan setiap kawula, dan tentu atas karunia dan barakah –Nya, seorang ibu seperti itu mampu bertahan di geliat zaman yang semakin hedonis materialis. Ya sebuah zaman yang memerlukan bukan hanya solusi tetapi terlebih lagi terapi.

Di sela suara semilir angin pagi yang mulai menyapa dedaunan, suara seorang ustaz terdengar lagi memberikan tausiyah, mau’izhah hasanah di sebuah masjid tak jauh dari kompleks makam Raja-raja Mataram. Suaranya tak hanya menyeruak di telinga jamaah yang tentunya berjajar rapi duduk berdzikir di dalam masjid, melainkan suara itu pasti mampu menyelinap di keramaian pagi itu. Mudah-mudahan saja apa yang disampaikan mampu menjadi terapi. Karena bukankah seorang ustaz semestinya mampu berbicara “ bi lisaanin qaumin”, berbicara sesuai dengan dan menurut "bahasa lisan" kaumnya? Dan tugasnya adalah mengajak dan bukannya mengejek? Memberikan sebuah solusi dan bukannya menghakimi? Semoga!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image