Stunting, Di Antara Realita dan Janji Kampanye
Politik | 2024-01-12 18:04:09Stunting menjadi isu yang diangkat oleh ketiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden pada kontestasi Pemilu 2024. Ketiganya memasukan penuntasan stunting dan masalah gizi sebagai salah satu program kerja jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Bagaimana para paslon memandang masalah ini dan sudah tepatkah solusi yag ditawarkan?
Pasangan calon Anies-Muhaimin, tidak secara spesifik mengangkat isu stunting dalam misinya yang diberi nama ‘8 jalan Perubahan’. Namun capres nomor urut 1 ini menyebutkan komitmennya ketika ditanya dalam program Desak Anies di Banjarmasin. Anies menyampaikan penanganan stunting sebaiknya dilakukan sebelum masa kehamilan, tidak pada usia sekolah (metrotvnews.com).
Paslon Prabowo-Gibran mengusung program pemberian makan siang gratis dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Program tersebut adalah salah satu program yang diberi nama ‘8 Program Hasil Terbaik Cepat’ ditujukan untuk menangani stunting. (prabowogibran2.id). Cawapres dari paslon nomor urut 2 juga kerap terliput media membagi-bagikan susu UHT dalam beberapa kali kesempatan.
Paslon Ganjar-Mahfud memberi gambaran lebih detail dalam Buku Penjelasan Visi dan Misi mereka yang dapat diunduh di laman visimisiganjarmahfud.id. Isu stunting masuk dalam target permasalahan yang akan diselesaikan hingga 2029, bahkan paslon ini cukup ambisius dengan manargetkan prevalensi stunting di bawah 9%. Penjaminan kecukupan gizi anak pada 1.000 hari pertama kehidupan, dan bagi ibu hamil dan menyusui, hingga edukasi calon pengantin dan remaja perempuan, secara lengkap termuat dalam penjelasannya.
Stunting sebuah realita
Stunting (tengkes) didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana tinggi anak lebih rendah dari rata-rata untuk usianya. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu cukup lama. Selain stunting manifestasi lainnya dari kurang gizi adalah wasting (kurus), underweight dan defisiensi mikronutrien. Stunting tidak hanya menghambat pertumbuhan fisik dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, tetapi juga mengancam perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa dewasanya.
Survei Status Gizi Indonesia (SGGI) mencatat hingga akhir 2022, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6%. Nilai tersebut masih belum memenuhi standar yag ditetapkan WHO yaitu kurang dari 20%, dan masih cukup jauh dari target pemerintah yaitu 14% di tahun 2024.
Beragam cara telah diupayakan dalam menanganan stunting di level daerah hingga nasional, bahkan program percepatan penurunan stunting masuk sebagai prioritas nasional sejak 2018. Penurunan prevalensi yang telah berhasil dicapai sejak itu cukup signifikan dari 30,8% (2018) menjadi 21,6% (2022). Namun hanya tersisa waktu kurang dari 1 tahun untuk menurunkan lagi hingga 14% persen pada tahun 2024.
Terlepas dari capaian tersebut, UNICEF dalam Laporan Tahunan Indonesia 2022 mengutip angka kurang gizi pada anak di Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu 1 dari 10 balita mengalami wasting dan 3 dari 10 anak mengalami stunting.
Tak Sekedar Intervensi Gizi
Stunting biasanya berhubungan dengan kemiskinan, kesehatan dan gizi ibu yang buruk. Kondisi demikian juga erat kaitannya dengan kualitas air dan fasilitas sanitasi yang tidak layak, sehingga rentan terserang penyakit.
Dampak stunting tak hanya berhenti pada tinggi badan anak yang di bawah standar, namun juga dapat berpengaruh terhadap capaian pendidikan anak, hingga penurunan produktivitas saat mereka dewasa. Stunting bersifat irreversible atau tidak dapat dipulihkan ke kondisi sebelumnya dengan jenis pengobatan apapun. Malnutrisi yang dialami anak sejak dalam kandungan hingga berusia 2 tahun, menyebabkan terganggunya pembentukkan sel saraf pada otak bayi. Padahal pada kurun waktu tersebut pembentukan otak anak sudah mencapai 80% ukuran otak dewasa. Proses tersebut tidak bisa diperbaiki dengan intervensi gizi atau obat-obatan pada tahun-tahun pertumbuhan berikutnya.
Tak dipungkiri tingginya prevalensi stunting merupakan efek dari sulitnya ekonomi. Dihadapkan dengan upah yang rendah dan kenaikan harga kebutuhan pokok, banyak rumah tangga rentan dan terpaksa menanggung beban finansial yang berat. Padahal untuk mencukupi gizi harian yang seimbang dan kehidupan yang layak, seorang ayah perlu memiliki penghasilan yang cukup. Kebutuhan gizi adalah kebutuhan harian, perlu dukungan penghasilan yang stabil. Pemberian bantuan langsung tunai maupun bahan makanan pokok yang hanya diberikan sewaktu-waktu tak akan cukup menjamin kebutuhan gizi seterusnya.
Oleh karenanya permasalahan stunting bukan sekedar masalah kesehatan saja. Stunting harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari kondisi ekonomi, lingkungan, hingga sosial politik. Penyelesaiannya pun tak cukup dengan pembagian susu UHT dan makan siang gratis kepada anak sekolah, tablet tambah darah untuk remaja putri, makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita, serta BLT kepada keluarga miskin.
Sayangnya fokus tersebut belum terlihat dalam program yang ditawarkan ketiga paslon. Paslon 1,2 dan 3 masih membatasi stunting pada permasalahan gizi anak dan ibu hamil. Solusi yang ditawarkan pun tak jauh dari aspek tersebut, yaitu intervensi gizi. Keterkaitan antar program penurunan stunting dan target menggenjot pertumbuhan ekonomi belum dapat terbaca. Padahal justru disitulah letak masalahnya; Kemiskinan.
Kemiskinan sebagai akar permasalahan stunting perlu didudukan dengan benar. Selama ini tingkat kemiskinan hanya mengukur kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Khusus untuk gizi, komponen makanan diukur dari konsumsi energi, protein, lemak, dan karbohidrat, dengan anggapan jika konsumsi terhadap keempat hal tersebut cukup maka otomatis kondisinya sehat dan tidak malnutrisi. Sementara angka stunting berbicara lain.
Alhasil alih-alih memperkuat penanganan stunting dengan komprehensif, pemahaman tentang stunting pun tak menyetuh akar permasalahan sebenarnya. Sayangnya penyederhanaan masalah adalah bentuk ketidakpahaman. Sehingga wajar jika muncul keraguan akan keseriusan para paslon, solusi yang ditawarkan bukan tidak mungkin sebatas janji kampanye semata.
Pangan merupakan hal mendasar dalam kehidupan, bahkan WHO mengakuinya sebagai salah satu hak asasi manusia. Negara berkewajiban memenuhi dan menjamin pemenuhannya untuk seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan kebutuhan rentang usianya, melalui ketersediaan, harga yang murah dan terjangkau, serta berkualitas dan aman. Semua itu jelas melibatkan lintas sektoral. Jika akses terhadap pangan terhambat atau bahkan tidak dapat dipenuhi, dapat membahayakan dan mengancam masyarakat, salah satunya stunting.
Allah swt juga berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]: 9).
Jutaan anak balita yang terindikasi stunting saat ini, kelak mereka akan menjadi generasi penerus bangsa juga. Akhirnya semua kembali kepada komitmen dan kesungguhan pemerintah dalam menuntaskan stunting. Jika tidak segera diatasi dengan komprehensif, tentu akan berdampak pada kemajuan bangsa kita di masa mendatang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.