Tantangan Stunting di Jawa Timur: Pola Asuh dan Akses Kesehatan yang Menjadi Hambatan Utama
Info Sehat | 2024-12-26 12:35:30Stunting atau kekerdilan pada anak merupakan masalah serius yang hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi kesehatan masyarakat di Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, prevalensi stunting di provinsi ini masih cukup tinggi, dengan sekitar 30% balita mengalami kondisi tersebut. Meskipun telah ada berbagai program pemerintah untuk menanggulangi masalah ini, stunting tetap menjadi isu kesehatan yang belum sepenuhnya teratasi, dan dampaknya bersifat jangka panjang terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Penyebab utama dari tingginya angka stunting di Jawa Timur bukan hanya terkait dengan faktor gizi, tetapi juga dipengaruhi oleh pola asuh, akses terhadap layanan kesehatan yang terbatas, dan kondisi sosial-ekonomi yang kurang mendukung.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi angka stunting adalah pola asuh yang kurang optimal, terutama pada masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) anak, yang mencakup periode sejak kehamilan hingga usia dua tahun. Pola asuh yang kurang baik dapat menyebabkan kekurangan gizi pada ibu hamil dan anak, yang kemudian berkontribusi pada pertumbuhan anak yang terhambat. Banyak ibu di daerah pedesaan di Jawa Timur yang belum mendapatkan informasi yang memadai mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif, makanan pendamping ASI yang bergizi, serta pentingnya pemeriksaan rutin selama kehamilan. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet, pemberian ASI eksklusif pada bayi selama enam bulan pertama kehidupan dapat mengurangi risiko stunting hingga 30%, namun di banyak daerah, kebiasaan menyusui yang tidak optimal menyebabkan angka stunting terus meningkat.
Selain itu, kesadaran tentang pentingnya perawatan kesehatan antenatal dan postnatal juga masih rendah di beberapa daerah. Banyak ibu hamil yang tidak rutin memeriksakan kandungannya atau terlambat datang ke puskesmas untuk mendapatkan layanan medis. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh faktor jarak, biaya, dan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan selama kehamilan. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa ibu yang menjalani pemeriksaan antenatal secara teratur memiliki risiko lebih rendah untuk melahirkan anak dengan masalah gizi, termasuk stunting. Namun, di banyak daerah terpencil di Jawa Timur, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai masih terbatas, menyebabkan ibu hamil dan anak-anak mereka tidak mendapatkan perawatan yang optimal.
Akses terhadap makanan bergizi juga menjadi tantangan besar dalam penanggulangan stunting di Jawa Timur. Meskipun sektor pertanian di provinsi ini cukup maju, distribusi pangan yang tidak merata, terutama di daerah pedesaan, menghambat banyak keluarga untuk mengonsumsi makanan bergizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal anak. Makanan bergizi seperti sayuran, ikan, dan sumber protein lainnya masih sulit dijangkau oleh keluarga dengan pendapatan rendah, yang sebagian besar mengandalkan konsumsi nasi dan mie instan sebagai makanan utama. Hal ini diperburuk oleh kebiasaan makan yang kurang bergizi dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pola makan yang sehat. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Food Security menyebutkan bahwa masalah ekonomi dan ketidaktahuan tentang gizi seimbang menyebabkan banyak anak tidak mendapatkan asupan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan mereka.
Stunting juga berkaitan erat dengan faktor sosial-ekonomi. Keluarga dengan pendapatan rendah sering kali kesulitan untuk membeli makanan bergizi dan memenuhi kebutuhan kesehatan anak-anak mereka. Faktor ini semakin memperburuk kondisi, karena anak-anak dari keluarga miskin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang lebih mampu secara ekonomi. Selain itu, keterbatasan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak juga turut memperburuk masalah gizi dan kesehatan pada anak-anak. Data dari UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari 20% rumah tangga di Jawa Timur masih mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih, yang berkontribusi pada peningkatan kasus diare dan infeksi lainnya, yang pada gilirannya dapat memengaruhi status gizi anak.
Dampak stunting terhadap masa depan anak sangat besar. Anak yang mengalami stunting tidak hanya terhambat dalam hal pertumbuhan fisik, tetapi juga dalam perkembangan kognitif dan kemampuan belajar. Hal ini akan memengaruhi kualitas SDM di masa depan, yang pada gilirannya berpotensi memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, penanggulangan stunting memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, melibatkan semua sektor, mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, hingga kebijakan publik.
Solusi untuk mengatasi stunting di Jawa Timur harus dimulai dengan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan gizi dan kesehatan. Pemerintah perlu mengintensifkan penyuluhan mengenai pentingnya ASI eksklusif, pola makan yang bergizi, serta pentingnya pemeriksaan antenatal dan postnatal. Selain itu, perlu adanya perbaikan distribusi pangan di daerah-daerah terpencil dan peningkatan akses terhadap makanan sehat dengan harga yang lebih terjangkau. Program-program penguatan ketahanan pangan keluarga juga dapat membantu mengurangi prevalensi stunting di daerah-daerah rawan. Kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan perubahan yang signifikan dalam penanggulangan stunting.
Secara keseluruhan, masalah stunting di Jawa Timur bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial-ekonomi yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Melalui intervensi yang tepat, peningkatan kesadaran, dan pemerataan akses terhadap layanan kesehatan dan pangan bergizi, diharapkan prevalensi stunting dapat ditekan secara signifikan, sehingga kualitas hidup anak-anak dan generasi mendatang dapat meningkat.
Andini Wahyu Ariyanti, Mahasiswa prodi Kimia 2024, Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.