Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eraskha Paskhalia Christalent Diestoni

Darfur di Persimpangan Jalan: Antara Rekonsiliasi dan Kemandirian

Edukasi | 2024-01-09 18:43:34
Bentrok antara pasukan pemerintah dan masyarakat di Darfur, Sudan. Foto: The African Centre for the Constructive Resolution of Disputes (ACCORD)

Konflik Darfur di Sudan telah lama menjadi sorotan dunia karena dampak kemanusiaan yang serius. Tak hanya itu, sumber daya alam, terutama minyak, memainkan peran kunci dalam penentuan kepentingan nasional. Pemerintah Sudan sebagai entitas puncak memiliki kepentingan besar dalam mengendalikan dan memanfaatkan sumber daya ini untuk meningkatkan kekuatan dan kestabilan internal.

Namun, ketika sumber daya ini diakumulasikan oleh pemerintah pusat, terjadi ketidaksetaraan yang menciptakan konflik internal di Darfur. Kelompok etnis di wilayah tersebut merasa dianaktirikan dan dirugikan secara ekonomi. Keinginan untuk mempertahankan dan memperluas kendali atas sumber daya alam menjadi salah satu faktor kunci yang memicu ketegangan dan kekerasan.

Situasinya memburuk pada tanggal 26 Februari 2003, ketika kelompok yang baru terbentuk dan menamakan dirinya Darfur Liberation Front (DLF) – kemudian berganti nama menjadi Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) – secara publik mengklaim serangan terhadap Golo, kota utama di distrik Jebel Marra. Kelompok pemberontak ini dan Justice and Equality Movement (JEM) memulai pemberontakan untuk protes terhadap sikap pemerintah Sudan yang acuh tak acuh terhadap wilayah barat dan populasi non-Arab, serta untuk mencari pembagian kekuasaan di dalam negara Sudan yang dikuasai oleh etnis Arab. Sebagai respons, pemerintah pada saat itu di bawah kepemimpinan Presiden Omar al-Bashir melengkapi dan mendukung milisi Arab yang dikenal sebagai Janjaweed untuk melawan para pemberontak di Darfur.

Dalam bukunya yang berjudul The National Interest in International Relations, Burchill menyatakan bahwa kepentingan nasional muncul dari interaksi sosial antara keberadaan negara sebagai entitas politik dan dinamika dalam politik internasional. Kepentingan nasional tidak statis, melainkan berubah dan beradaptasi sejalan dengan perubahan dalam struktur politik internasional, yang dipengaruhi oleh aspek materiil dan konstruksi gagasan bersama. Menyelidiki krisis ini melalui lensa teori kepentingan nasional dalam ilmu hubungan internasional, upaya pemerintah Sudan untuk mempertahankan kedaulatannya atas Darfur dan mengejar kepentingan nasionalnya menyebabkan kesenjangan yang dalam antara pemerintah dan masyarakat lokal. Maka dari itu, terdapat pertanyaan kritis di tengah dinamika ini: apakah solusi terletak pada rekonsiliasi antar-pihak yang berseteru atau melalui penguatan kemandirian lokal?

Masyarakat Darfur dan pasukan pemerintah Sudan berada di satu tempat yang sama. Foto: Max Security

Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai pendekatan yang mencoba mengatasi ketidaksetaraan dan konflik melalui dialog dan penyelesaian damai. Dalam konteks Darfur, ini akan memerlukan komitmen pemerintah Sudan untuk membuka ruang bagi partisipasi politik dan ekonomi dari masyarakat Darfur. Upaya untuk mendukung keberagaman etnis dan membangun kepercayaan melalui inisiatif rekonsiliasi akan menjadi elemen kunci dari solusi ini. Namun, perlu diingat bahwa dalam kerangka teori kepentingan nasional, rekonsiliasi tidak selalu dianggap sebagai solusi yang optimal. Pemerintah Sudan mungkin bersikeras pada strategi yang menjaga kontrol pusat dan memprioritaskan kepentingan nasional yang mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan lokal di Darfur. Pihak-pihak yang memiliki kendali terhadap sumber daya alam mungkin enggan melepaskan kekuasaan mereka demi rekonsiliasi.

Di sisi lain, penguatan kemandirian lokal bisa menjadi pendekatan alternatif. Dalam perspektif teori kepentingan nasional, ini dapat diartikan sebagai upaya kelompok etnis Darfur untuk memperoleh kontrol lebih besar atas sumber daya dan kebijakan lokal mereka. Penguatan kemandirian ini dapat menciptakan keseimbangan kekuatan yang lebih adil antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal, meminimalkan ketidaksetaraan yang menjadi pemicu konflik. Patut menjadi sorotan juga tentang bagaimana membangun kemandirian tanpa memicu lebih banyak konflik dan tanpa mengancam stabilitas nasional. Pemerintah Sudan mungkin melihat penguatan kemandirian sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka dan menentang upaya-upaya semacam itu.

Masyarakat Darfur terpaksa pergi dari tempat tinggal mereka dan mencari perlindungan. Foto: UNAMID

Penting untuk diingat bahwa dinamika konflik Darfur sangat kompleks dan membutuhkan solusi yang berkelanjutan, sehingga kemungkinan harus melibatkan kombinasi strategi. Rekonsiliasi dan penguatan kemandirian bisa saling mendukung, dengan pemerintah Sudan dan masyarakat Darfur menemukan titik temu yang menghargai kepentingan nasional dan lokal. Dalam memandang masa depan Darfur, kebijaksanaan dan kolaborasi di antara pihak-pihak yang terlibat menjadi kunci. Solusi harus mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang kepentingan nasional dan lokal serta mengakui pentingnya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan komprehensif, Darfur dapat menemukan jalan keluar dari persimpangan jalan yang rumit ini dan menuju perdamaian yang berkelanjutan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image