Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fira Admojo

Sisi Gelap Media Sosial

Pendidikan dan Literasi | 2024-01-09 14:44:37

Media sosial pada satu sisi bisa dimanfaatkan secara positif, namun di sisi lain, pengguna lebih banyak yang terjebak pada pemanfaatan yang negatif dan berpotensi mengalami risiko dibaliknya. Salah satunya adalah dampak-dampak psikologis hingga potensi kejahatan yang bisa menyasar siapa saja akibat penggunaan yang tidak bijak. Misalnya sekitar 20 persen remaja di Eropa yang sering melihat foto telanjang banyak yang akhirnya terjerumus menjadi pedofilia. Atau banyak yang akhirnya dilaporkan mengalami problem mental. Studi tentang penggunaan sosial media dan hubungannya dengan mental health problem sudah banyak dilakukan. Terdapat 78,000 hasil pencarian kata kunci “social media” dan “mental health” dalam situs Google Schoolar. Berdasarkan systematic review yang dilakukan oleh Karim et al. (2020) disimpulkan bahwa penggunaan sosial media dapat mempengaruhi kesehatan mental berupa tingkat kecemasan dan depresi pada individu.

Banyak dari mereka mudah berbagi dan mencari informasi atau konten yang tidak perlu tanpa memikirkan akibatnya di masa depan. Ditambah dengan dukungan chatbots berbasis Artificial Intelligence (AI) dan social bots yang dapat menirukan perilaku dan percakapan manusia, platform media sosial seringkali dengan sembunyi-sembunyi menggunakan bot tersebut untuk mencemari jagad perbincangan online dengan membanjiri spam dan iklan-iklan yang berlebihan. Sebuah survei terhadap 10,000 usia anak-anak di Eropa tahun 2016 melaporkan bahwa 40 persen anak-anak mengalami keterkejutan dan muak ketika melihat konten kekerasan dan konten pornografi yang banyak bertebaran secara online.

Sebuah investigasi oleh media menyatakan bahwa lebih dari 100 website memposting fake news tentang pemilihan umum presiden AS di tahun 2016 lalu dengan pemanfaatan chatbots berbasis AI. Umumnya saat ini upaya propaganda Pemilu di berbagai negara banyak dilakukan melalui media sosial. Media sosial mendukung persebaran propaganda dengan lebih efektif karena sifatnya yang terotomatisasi, mampu menjangkau skala yang lebih luas dan lebih cepat serta dapat digunakan secara anonim (tanpa identitas). Isu disinformasi pengungsi Rohingya misalnya, diketahui awalnya disebarkan melalui TikTok dengan sifat skalabilitasnya yang mudah meluas hingga mudah viral.

Selanjutnya begitu mudah disinformasi tersebut disebarkan oleh akin lain hingga fanbase di 'X' (sebelumnya twitter) yang memungkinkan di share oleh akun-akun tanpa identitas lalu menjadi trending. Bisa ditebak, propaganda tersebut mudah dimanfaatkan untuk menyulut emosi publik, mengalihkan perhatian publik hingga dapat berakibat pada konflik horisontal layaknya polarisasi isu Pilpres.

Sisi gelap media sosial (sumber gambar: Baccarella dkk, 2018)

Kebanyakan individu menurut survei, walaupun mengetahui ada kemanfaatan dari penggunaan media sosial, banyak yang kemudian terjebak pada sisi gelapnya. Melakukan selfie berlebihan, berbagi informasi pribadi termasuk upload gambar dan video anak-anak dan keluarga, menyerang pribadi lain atau merekam dan menyebarkan video orang lain tanpa ijin. Kita sibuk dengan gawai bahkan saat berkumpul dan makan bersama keluarga di satu meja, melewatkan momen kebersamaan dan berbagi cerita bersama. Menghabiskan waktu untuk scrolling dan melihat informasi yang tidak perlu. Banyak yang akhirnya kehilangan rasa empati, lebih senang merekam dan menshare dibanding menolong ketika melihat sesuatu peristiwa. Melakukan hal unfaedah bahkan berbahaya demi mengejar konten. Saling mengomentari pilihan hidup orang lain yang sebenarnya normal-normal saja, bahkan menghujatnya di kolom komentar.

Beberapa potensi sisi gelap media sosial bisa disimak pada gambar diatas. Potensi sisi gelap tersebut diantaranya 1) sharing: berbagi konten yang tidak perlu, 2) presence: berkaitan keberadaan data lokasi yang bisa termonitor, 3) relationship: berkaitan dengan memanfaatkan hubungan jejaring atau pertemanan untuk hal negatif seperti ancaman, kekerasan, penyalahgunaan dan intimidasi, 4) identity: berkaitan dengan eksploitasi diri seperti upload foto/video selfie berlebihan maupun flexing, 5) conversations: berkaitan dengan terlibat pembicaraan yang termasuk hoaks, misinformasi, disinformasi, 6) groups: maraknya jejaring kelompok yang menyimpang seperti LGBT, pedofil, 7) reputation: serangan opini yang menjatuhkan individu seperti fitnah dan mempermalukan seseorang. Sering digunakan sebagai strategi untuk menjatuhkan lawan politik atau bahkan untuk menaikkan perbincangan demi mendapatkan perhatian publik.

Snapchat misalnya, adalah platform pertama yang memperkenalkan konten terbatas waktu (limited-time content), yaitu ‘Stories,’ dimana pengguna berbagi foto atau video yang selanjutnya akan hilang setelah 24 jam diunggah. Selanjutnya Facebook dan Instagram melakukan hal yang sama. Konten berbatas waktu tersebut memacu pola pada pengguna untuk memiliki rasa kepentingan terhadap suatu peristiwa (sense of urgency) dan takut kehilangan momen tertentu (fear of missing out atau FOMO), mendorong seseorang bersegera melihat konten sebelum hilang. Selanjutnya pola penyajian feed tak terbatas (bottomless feeds) tanpa penghentian otomatis menyebabkan pengguna terus bertahan untuk tetap scrolling mencari informasi karena didorong rasa penasaran dari informasi yang tak terbatas di feed, menyebabkan terus tenggelam untuk berselancar di media sosial.

Referensi:

(1) Talat Zubair and Amana R. Islamic Perspective on Social Media Technology, Addiction, and Human Values. Journal of Islamic Thought and Civilization Vol. 10 Issue 2, Fall 2020

(2) Fazida K., Oyewande A. A., Abdalla L. F., Ehsanullah R. C., and Khan S. 2020. Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review. CUREUS 2020.

(3) Christian V. Baccarella, Timm F. Wagner, Jan H. Kietzmann, Ian P. McCarthy. 2018. Understanding the dark side of social media. European Management Journal 36: 431-438

(4) Nurul Aulia Rahmawati dan Fristian Hadinata. COMPUTATIONAL PROPAGANDA ON TikTok AS THE 21st CENTURY PROPAGANDA MODEL. International Review of Humanities Studies, Vol. 7, No. 1 [2022], Art. 21

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image