Mahasiswa kepada Rohingya, "Agent of Change" atau "Agent of Hatred"?
Politik | 2024-01-07 14:09:46Agen Pengubah bukanlah Agen Kebencian. Mereka adalah para pemuda Mahasiswa, intelektual yang nalar kritisnya untuk membela para tertindas. Selayaknya memang mereka pula menjadi kaum yang literat, memiliki kecukupan dalam literasi saat mereka berselancar di dunia maya. Literasi digital telah sangat mengkhawatirkan jika diabaikan, disinformasi menimbulkan daya destruktif yang luar biasa bahkan mengubah saudara menjadi musuh.
---------------
Oleh: Cut Putri Cory (Aktivis, Penulis, Alumni Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Ar-Raniry Aceh, Mahasiswi Program Magister Pendidikan Agama Islam IAI-N Laa Roiba Bogor)
Segerombolan pemuda dengan almamaternya berteriak keras memgerumuni para pengungsi Rohingya yang di antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka mendekat dan beberapa terlihat menendang barang yang berada di dekat pengungsi. Meski ada pihak yang mencoba melerai kemarahannya, namun para pemuda ini tetap bergeming dan suara gemuruh terus memperkuat kegetiran.
Para pengungsi terlihat memohon, mereka menangis dan berteriak. Anak-anaknya ketakutan, para Ibu memeluknya namun tak cukup berhasil untuk meredakan ketakutan. Mereka mengangkat tangannya, berharap perlindungan dan agar gerombolan pemuda beralmamater itu menghentikan aksinya.
Situasinya sangat mencekam, sampai para ibu yang ketakutan itu menceritakan sambil menetes air matanya kepada media BBC. Alhasil muncul pertanyaan dalam benak, kok tega ya sama anak-anak dan perempuan? Bukankah Mahasiswa dikenal dengan julukan peran kuat yang melekat padanya yaitu "Agent of Change"? Slogan yang menjadi akar bagi segala ketidaknyamanan dan ketidakadilan untuk diubah ke arah yang lebih revolusioner. Sehingga mereka disebut agen peradaban untuk mengawal keadilan dan kesejahteraan agar kembali kepada pemilik kaum marginal.
Memang, fakta penolakan atas Muslim Rohingya bukan terjadi begitu saja. Sudah begitu banyak para pakar yang berbicara di media mengungkapkan bagaimana informasi liar yang beredar di media sosial membentuk persepsi yang salah dalam benak publik. Disinformasi yang menyemesta tak tertolak dan tak terkontrol itu kemudian menyapu masyarakat, sehingga gelombang penolakan pun muncul.
Rangkaian informasi salah bahkan fitnah yang dipropagandakan akun-akun pendengki dan penebar kebencian itu mengarus dan ditelan mentah-mentah, di antara yang paling konyol adalah yang menyamakan Rohingya dengan Zionis. Ini kezaliman informasi. Ini ketidakadilan yang nyata untuk Muslim Rohingya, sehingga fakta penolakannya merupakan bukti nyata bahaya disinformasi khususnya pada Gen Z.
Agen Pengubah bukanlah Agen Kebencian. Mereka adalah para pemuda Mahasiswa, intelektual yang nalar kritisnya untuk membela para tertindas. Selayaknya memang mereka pula menjadi kaum yang literat, memiliki kecukupan dalam literasi saat mereka berselancar di dunia maya. Literasi digital telah sangat mengkhawatirkan jika diabaikan, disinformasi menimbulkan daya destruktif yang luar biasa bahkan mengubah saudara menjadi musuh.
Rohingya adalah umat Islam, yang tertindas. Tirani Myanmar melakukan genosida terhadap Muslimin Rohingya dan mengusir sisanya, Rohingya pun lari ke wilayah Cox's Bazar, Bangladesh. Di sana mereka menjadi muara dari kezaliman, penindasan, dan kepedihan yang parah. Mereka adalah bagian dari tubuh umat Islam dunia yang hari ini terpecah belah dan tak memiliki kekuatan politik yang menaunginya. Sehingga pembelaan itu tak nampak, yang menonjol justru ketidakberdayaan Muslimin dunia untuk mewujudnyatakan ukhuwah yang merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ukhuwah adalah syariat. Jangan menilai-nilai saudaramu berdasarkan situasimu. Allah tetapkan setiap yang bersyahadat adalah bersaudara, jika tak mampu menolong, janganlah bertajam lisan kepadanya, apalagi sampai menebar ketakutan selayaknya orang-orang yang mereka lari darinya. Ya Allah, sungguh fakta perpecahan dan ketiadaan persatuan umat Islam merupakan bukti kelemahan yang parah melanda umat ini.
Hal itu diperparah dengan ketidakpedulian penguasa di negeri-negeri Muslim. Mereka menjadikan penderitaan saudaranya lebih berat karena abainya mereka dari ukhuwah, sampai ketidakmampuannya untuk menegakkan kebenaran di tengah tsunami hoax yang membenam rasionalitas.
Memang, kapitalisme sekuler yang menjadi raja saat ini menjadikan seolah ukhuwah tak mampu kita jangkau. Sehingga umat ini seolah menjadi kepingan demi kepingan puzzle yang tak kuasa untuk bersatu. Sangat sulit untuk membayangkan situasi orang lain, karena kita sendiri sudah dalam tekanan penerapan sistem kapitalisme, dihujam dari segala sisi. Inilah musibah besar umat Islam dunia, saat dia kehilangan kekuatan terbesarnya untuk merealisasikan ukhuwahnya.
Terakhir, sebagai intelektual Muslim, Mahasiswa tak boleh sekadar pandai beretorika. Dia harus berdiri di atas bumi Allah sebagai orang yang enggan diam atas kezaliman dan ketidakadilan. Dialah yang menjadi tameng umat ini atas segala keburukan yang menimpanya. Menjadi pembela atas hak-hak manusia, untuk hidup tanpa jajahan dan berkewarganegaraan. Termasuk lebih dulu melakukan riset dengan perspektif saudara, dengan nalar ukhuwahnya, terhadap situasi Rohingya. Agar tak terjerembab dia ke dalam duga dan prasangka, agar literat dan tepat dalam bersikap.[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.