Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image tubagus farhan maulana

Tolak Ukur Kesepadanan dalam Perkawinan Menurut Islam dan Hukum Positif

Eduaksi | 2024-01-05 17:01:16

Belakangan ini banyak terdapat kasus rumah tangga yang umurnya hanya seumur jagung. Problematika yang hadir di tengah-tengah hubungan rumah tangga tersebut termasuk variatif. Lambat laun beberapa penyebab permasalahan tersebut melebar secara kompleks dari segi agama, ekonomi, sosial, dan budaya. Perbedaan pandangan terhadap faktor diatas merupakan alasan-alasan mengapa sering terjadi hubungan rumah tangga tidak bertahan lama.

Dalam membangun ikatan rumah tangga terdapat dinamika abstrak yang tidak bisa diukur dalam implementasiannya. Prosesi kohesi antar subjek pernikahan merupakan urgensi fundamental dalam mewujudkan keluarga yang mitsaqan ghalidza. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya problematika-problematika yang muncul mengakibatkan beberapa akibat hukum diantaranya perceraian. Untuk menanggulangi hal tersebut calon suami maupun calon istri harus adaanya kafaah (kesetaraan) dan kesamaan visi dan misi. Memiliki kesetaraan dalam hal agama, keyakinan, status sosial, dan lainnya merupakan hal yang fundamental untuk memitigasi hal-hal yang implikasinya memunculkan keretakan rumah tangga. Adapun kesepadanan antara suami dan istri dalam pernikahan disebut juga kafaah.

Sumber: Pexels.com

Kafaah berasal dari dari bahasa Arab dari kata كفى, berarti sama atau setara. Dalam istilah fikih, kafaah disebut dengan sejodoh, artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi . Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, Kafaah atau kufu, menurut bahasa artinya sepadan, seimbang, atau keserasian, serupa, atau sebanding. Menurut istilah hukum Islam yang dimaksud dengan kafaah atau kufu dalam perkawinan ialah “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin menikah untuk memilih jodoh yang baik dan benar sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3:

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oranorang yang mukmin”

Agama islam memandang sebuah ikatan perkawinan sebagai suatu harapan ideal yang dalam membangun hubungannya diperlukan kesamaan secara visi, misi, ataupun derajat. Kontrak sosial antar kedua pasangan harus terjadi dengan baik di awal keinginan untuk membagun rumah tangga, karena jika hal ini tidak diperhatikan akan menimbulkan konflik sosial yang tidak bisa terbendung. Islam sendiri menganjurkan konsep kafaah bukan semata-mata membedakan derajat secara kelas sosial mutlak, akan tetapi lebih kepada hal yang bersifat maslahat untuk keharmonisan rumah tangganya.

Para fuqaha tidak berbeda pendapat secara signifikan terkait konsep kafaah, Imam Hanafi, Syafii, dan juga Hambali sepakat bahwa kesepadanan itu meliputi: islam, merdeka, keahlian, dan nasab. Tetapi terdapat perbedaan di antara mereka dalam hal harta dan kelapangan hidup. Imam Hambali dan Hanafi berpendapat sebagai syarat, tetapi Imam Syafii tidak. Sedangkan Imam Malik tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam hal agama.

Masalah kafaah dalam hukum positif Indonesia tidak dibahas secara eksplisit. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyinggung masalah kafaah ini, sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebut kafaah hanya dalam masalah agama saja. Sebagaimana pasal 61 KHI: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.”

Meskipun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak membahas masalah kafaah secara tegas, namun secara umum ada dua hal yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu perbedaan agama dan usia pernikahan. Pun dalam pasal 15 ayat 1 KHI tidak dijelaskan secara komprehensif, akan tetapi di dalam pasal tersebut terkandung nilai kafaah yakni kematangan usia. Jadi, kematangan usia tidak menjadi syarat sah perkawinan melainkan hanya sebagai syarat kelaziman guna mencapai rumah tangga yang harmonis.

Oleh karena itu, kafaah merupakan suatu konsep yang fundamental untuk memitigasi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu kafaah merupakan pondasi dan penunjang utama tercapainya tujuan pernikahan yaitu terbangunnya keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Kafaah bukanlah merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan, namun kafaah memiliki peran penting terbentuknya keluarga harmonis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image