Fast Fashion dan Ekosistem Terabaikan: Menelusuri Dampak Polusi Limbah di Ghana
Gaya Hidup | 2024-01-03 11:10:01Kita pasti sudah tidak asing dengan label pakaian seperti Zara, Shein, H&M, Uniqlo, dan lain-lain yang sering kita jumpai di mall-mall. Model dan trend fashion yang berganti dengan cepat membuat label-label tersebut juga meningkatkan produksi dalam jumlah yang banyak. Ini dapat disebut dengan fast fashion. Sederhananya, fast fashion adalah produksi barang tekstil dalam jumlah besar dengan kualitas dan bahan baku yang kurang bagus.
Karena mereka mengejar target jumlah produksi yang banyak, dan trend yang berganti dengan cepat membuat kualitas dari pakaian yang dihasilkan kurang bagus dan tidak bisa digunakan untuk waktu yang lama. Contohnya sebuah label mengeluarkan 35 model baju baru untuk edisi musim dingin, lalu nanti saat berganti musim mereka juga mengeluarkan model terbaru lagi. Dengan harga yang murah, fast fashion ini diminati banyak kalangan, terutama di pasar Asia seperti Indonesia.
Fast fashion menjadi salah satu penyumbang limbah tekstil terbesar di Afrika, terutama Ghana yang akan menjadi fokus pembahasan di artikel ini. Dalam laporan terbaru mengenai kesenjangan global dalam polusi air, merek-merek fast fashion di Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris disoroti sebagai penyebab utama dari polusi air di sungai-sungai di Afrika. Meskipun industri fast fashion ini menjadi sumber pendapatan dan penciptaan lapangan kerja bagi Afrika, para analis di Water Witness mengatakan bahwa lemahnya penegakan lingkungan terhadap industri tekstil telah menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk terhadap sumber daya alam yang penting.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak industri dan pabrik-pabrik pindah ke Afrika. Faktor kepindahannya beragam, seperti perjanjian perdagangan, insentif pajak yang murah , dan biaya tenaga kerja yang juga lebih murah di Afrika. Seiring dengan semakin banyaknya merek terkenal dan perusahaan fesyen yang mengalihkan produksinya ke negara-negara Afrika, pembuangan air limbah yang tidak diolah—dipicu oleh kurangnya perlindungan lingkungan dan penegakan peraturan—mendorong “polusi yang sangat buruk” di sungai-sungai di Lesotho dan Tanzania.
Mengutip dari The Guardian, Ghana mengimpor sekitar 15 juta potong pakaian bekas setiap minggunya, yang dikenal secara lokal sebagai obroni wawu atau “pakaian orang kulit putih mati”. Pada tahun 2021, Ghana mengimpor pakaian bekas senilai $214 juta (£171 juta), menjadikannya importir terbesar di dunia. Pakaian yang disumbangkan berasal dari negara-negara termasuk Inggris, AS, dan Tiongkok dan dijual kepada eksportir dan importir yang kemudian menjualnya ke vendor di tempat-tempat seperti Kantamanto di Accra, salah satu pasar pakaian bekas terbesar di dunia. Hampir setengah dari donasi pakaian tersebut sudah tidak layak pakai, bahkan ada yang terdapat noda darah. Pakaian-pakaian tidak layak pakai itu yang akhirnya menjadi sampah dan polusi di laut atau sungai, dan akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan.
Sementara di sisi lain, pakaian-pakaian yang seharusnya dibuang itu masih digunakan lagi oleh sekelompok orang. Kaos dipotong dan dijahit bersama dengan bahan lain untuk membuat rok, celana dalam, atasan, dan celana boxer. Pakaian hasil olahan tersebut akan kembali diekspor lagi ke negara-negara Afrika lainnya. Meskipun sudah dicoba untuk mengolah kembali, namun pakaian-pakaian bekas tidak layak pakai itu seolah tidak ada habisnya.
Selama beberapa tahun terakhir, pakaian yang tidak bisa digunakan semakin banyak, dan sampah yang ditimbulkan semakin parah. Menurut Or Foundation, sekitar 40% pakaian di Kantamanto dibuang sebagai sampah. Sebagian dikumpulkan oleh dinas pengelolaan sampah, sebagian dibakar di pinggir pasar, dan sebagian lagi dibuang ke tempat pembuangan sampah informal.
Limbah pakaian ini berdampak pada perekonomian lokal yang rusak seperti penangkapan ikan. Menurut laporan Bank of Ghana, sekitar 10% penduduk Ghana bergantung pada penangkapan ikan untuk mata pencaharian mereka dan rata-rata penduduk Ghana menerima 60% asupan protein mereka dari ikan. Selain mencemari sungai dan merusak jaring, besarnya tempat pembuangan sampah juga membuat nelayan sulit mencapai sumber air, sehingga berdampak buruk pada kemampuan masyarakat Ghana untuk bertahan hidup dan membuat masyarakat semakin terjerumus ke dalam kemiskinan. Bukan hanya kemampuan menangkap ikan saja yang terkena dampaknya, namun pasokan ikan yang dapat dimakan itu sendiri.
Salah satu kejadian yang menghebohkan akibat dari limbah tekstil ini terjadi di bulan April tahun 2021, yaitu adanya kematian ikan massal. Tanggapan pemerintah terhadap situasi ini bertentangan, ada yang berpendapat bahwa hal itu hanya kebetulan, namun juga memperingatkan masyarakat agar tidak mengkonsumsi ikan yang terkena dampak. Laboratorium Ekologi Universitas Ghana mengambil inisiatif untuk melakukan penelitian, yang mengungkapkan tingkat kobalt, tembaga, dan kadmium yang mengkhawatirkan pada ikan. Laporan OR Foundation mengenai masalah ini menunjukkan bahwa meskipun data tersebut tidak menunjukkan asal muasal kondisi yang mendasarinya, data tersebut menunjukkan adanya lingkungan perairan yang tidak bersahabat.
Perlu dicatat bahwa Perdagangan pakaian bekas adalah sebuah bisnis, bukan daur ulang, bukan pengelolaan limbah, dan bukan amal. Yang diperlukan dalam mengatasi masalah ini adalah adanya tanggung jawab produsen yang lebih besar. Pemerintah seharusnya membuat aturan pajak yang membebani produsen pakaian untuk membayar limbahnya sendiri, dan uang yang terkumpul dari pajak tersebut dikirim ke negara-negara importir untuk membantu pengelolaan limbah.
Hal ini sulit dilakukan, karena merek-merek pakaian tersebut tidak mau mengakui bahwa mereka memproduksi limbah. Dari fenomena ini dapat dikatakan bahwa negara-negara utara menggunakan negara-negara selatan sebagai layanan pengelolaan limbah. Solusi lainnya yang dapat dilakukan menerapkan jaminan bahwa pengadaan dan produksi barang di seluruh benua harus didasarkan pada penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, kondisi kerja yang layak dan kebutuhan dasar yang berprinsip pada keadilan sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.