Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aulia Linta

Penggunaan Metode Positive Reinforcement dalam Membantu Pembelajaran

Eduaksi | Tuesday, 02 Jan 2024, 22:38 WIB

Positive reinforcement atau penguatan positif adalah memberikan konsekuensi yang menyenangkan saat suatu perilaku yang diharapkan muncul dengan tujuan agar perilaku tersebut dilakukan kembali. Teknik ini adalah teknik yang bisa dijadikan sebagai pengajaran yang efektif karena siswa akan tertarik untuk melakukan perubahan perilaku dengan perasaan yang menyenangkan.

Pendidik saat ini harus memilih antara pendekatan pengajaran yang sudah tua atau pendekatan yang lebih modern untuk diterapkan di kelas. Walaupun pilihan yang tersedia bagi generasi muda tampak mudah, namun implementasinya terbukti sulit. Baik pendidik lama maupun baru menghadapi tantangan saat menerapkan metode pengajaran modern seperti penguatan positif dalam diri mereka di ruang kelas. Meskipun memerlukan waktu untuk menjadi mahir dalam strategi pengajaran apapun, pendidik harus dilatih secara efektif untuk menggunakannya, dan karyawan mereka harus mampu mengatasi kecemasan mereka. Hal itu penting bagi pendidik untuk memulai dengan membangun hubungan positif antara siswa mereka dan mereka juga mengajar teman-teman mereka. Siswa hanya dapat memanfaatkan penguatan positif di kelas mereka jika mereka percaya pada pemimpin mereka.

Pendidik tidak hanya bertindak sebagai pemimpin kelas tetapi juga sebagai manajer kelas yang mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan. Faktor pendidik dan metode mereka mengajar adalah salah satu komponen yang menentukan keberhasilan belajar siswa di sekolah. Pendidik sangat bertanggung jawab atas perkembangan siswa. Sebagai pendidik, mereka harus memahami siswanya dalam proses belajar mengajar agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik.

Positive reinforcement mempunyai beberapa pengaruh yang berupa sikap positif terhadap pembelajaran siswa, diantaranya sebagai berikut:

a. Meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran.

b. Meningkatkan motivasi belajar siswa.

c. Meningkatkan kegiatan belajar dan membina tingkah laku siswa yang produktif dan aktif.

Saat pendidik bisa menggunakan pada positive reinforcement yang bisa difavoritkan oleh pendidik dan mengulangnya untuk beberapa kali, hasilnya mungkin tidak akan efektif. Misal, pendidik sering menggunakan kata “bagus” atau “cakep” setiap kali siswa memberikan tanggapan. Hal ini tidak bisa dikatakan penggunaan positive reinforcement dengan komentar saja. Ini akan mudah kehilangan kekuatannya pada sebagai penguatan. Penguatan yang sesungguhnya bisa mengurangi tujuan kasus pendidikan dan belajar siswa. Penguatan yang diberikan sangat cepat dan sering mungkin akan mengganggu atau menghalangi perkembangan gagasan dan interaksi siswa. Selama kegiatan pemecahan masalah, pengayaan yang berkelanjutan dapat mengganggu proses berpikir siswa. Penguatan juga dapat mengganggu interaksi siswa-siswa. Pendidik yang menanggapi setiap komentar siswa kemudian memfokuskan perhatian siswa pada diskusi mereka sendiri, menunjukkan bahwa siswa ingin berinteraksi satu sama lain.

Dasar pemberian penguatan adalah pola sebagian-sebagian dan pola berkesinambungan. Penguatan yang sepenuhnya diperlukan untuk tindakan tertentu disebut penguatan berkesinambungan. Penguatan ini akan tepat saat memulai pelajaran baru, tetapi biasanya jarang diberikan. Penguatan yang sebagian-sebagian adalah penguatan yang diberikan terhadap suatu respon, tetapi tidak keseluruhan, adalah pemberian penguatan setelah sejumlah respon atau setelah waktu tertentu. Dalam konteks ini, Suwarna dkk mengemukakan tentang prinsip-prinsip penggunaan keterampilan didalam pemberian penguatan, yaitu:

a. Kehangatan dan antusias.

b. Kebermaknaan.

c. Menghindari respon negatif.

d. Penguatan pada perseorangan.

e. Penguatan pada kelompok peserta didik.

f. Penguatan yang dilakukan segera.

g. Penguatan yang dilakukan secara variatif.

Reaksi positif terhadap perilaku positif mengurangi interaksi negatif dan menyebabkan peningkatan interaksi positif. Pujian sangat penting untuk perilaku siswa. Pujian harus diberikan dengan cepat, sering, antusias, deskriptif, dan bervariasi. Pendidik harus menjelaskan dengan jelas perilaku positif siswa dan bagaimana hal itu berdampak pada prestasi akademik dan sosial mereka.

Pendidik sering mengabaikan perilaku positif dan mengarahkan perhatian mereka pada perilaku negatif. Pendidik harus mengingatkan diri mereka sendiri bahwa perilaku seperti itu tidak menghasilkan hasil yang bermanfaat bagi kelas mereka. Pengaruh yang kuat terhadap perilaku kelas yang sesuai ditunjukkan oleh penguatan positif bagi siswa. Sekali lagi, guru harus mengingat bahwa perilaku mereka berdampak pada pembelajaran siswa. Kennedy menggambarkan konsep “Matching Law” sebagai keyakinan bahwa siswa akan sesuai dengan perilaku gurunya.

Karena “Matching Law” guru harus membuka sarana komunikasi antara siswa dan diri mereka sendiri. Sebagai orang dewasa dalam situasi tersebut, merupakan tanggung jawab guru untuk memulai jalur komunikasi verbal. Apabila siswa mempunyai interaksi yang positif dengan guru maka siswa cenderung ingin memperlakukan gurunya dengan tindakan timbal balik yang positif. Ketika komunikasi antara guru dan siswa meningkat, kehadiran siswa meningkat dibandingkan sebelum hubungan bersifat verbal.

Siswa yang mendapatkan pengakuan atas upaya mereka akan lebih siap untuk melakukan tugas-tugas di masa depan. Siswa dapat menggunakan forum diskusi untuk memuji satu sama lain, yang pada akhirnya memungkinkan siswa untuk saling menguatkan secara positif. Siswa menggunakan kesempatan untuk berkomunikasi satu sama lain sebagai platform untuk mendorong, mendukung, dan menghargai upaya satu sama lain di depan umum. Siswa memuji satu sama lain dalam kelas jaringan sosial Winter dan “Matching Law” Kennedy. Siswa yang memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka di kelas dapat merasa lebih aman dan lebih bersedia untuk tetap hadir di kelas.

Siswa yang tidak memiliki konsep diri yang positif lebih cenderung memberikan penguatan negatif pada dirinya sendiri, menyuarakan kritik kasar tentang dirinya sendiri, dan lebih cenderung tidak percaya pada kritik yang positif. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hukuman fisik memiliki hasil yang hampir identik: siswa menjadi kurang percaya diri dan cinta diri. Ketika mereka diberi "nilai buruk" dan diminta untuk mengurutkan pernyataan yang ingin mereka terima, siswa menunjukkan dengan jelas apa yang diprediksi. Siswa akan menunjukkan gejala depresi dan ketidakberdayaan ketika mereka dibiarkan sendiri dan tidak memiliki hubungan positif dengan orang dewasa.

Guru diminta untuk membiarkan hubungan yang tulus dengan siswanya untuk mengurangi isolasi siswa. Siswa yang sering mendapat hukuman, memiliki harga diri rendah, atau bingung dengan suatu mata pelajaran lebih cenderung bertingkah laku di kelas untuk mendapatkan perhatian. Siswa memahami bahwa jika mereka bertindak cukup, guru akan mengantar mereka keluar kelas, dan oleh karena itu hukuman menjadi hadiah. Penghargaan positif untuk perilaku positif mengalihkan fokus siswa ke aktivitas lain. Lingkungan belajar yang nyaman harus mendorong pembelajaran dan menginspirasi ikatan sosial. Guru didorong untuk memberikan koneksi yang bermakna sebagai penghargaan bagi siswa. Kuantitas interaksi kurang penting dibandingkan kualitas interaksi.

Guru bukan hanya pengajar materi; mereka juga bertanggung jawab atas lingkungan belajar siswa mereka. Tujuan setiap guru adalah memastikan bahwa siswanya belajar di lingkungan yang aman dan nyaman. Siswa berada dalam kondisi yang merugikan secara sosial dan akademis ketika guru harus mengambil waktu dari praktiknya untuk disiplin. Jika hukuman tidak digunakan, penguatan positif dapat menggantikan hukuman untuk menumbuhkan sifat akademik dan sosial yang diinginkan di antara siswa di kelas.

Buatan = Aulia Linta Fiardin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image