Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image

Diplomasi Panda Ala Cina, Apakah Masih Relevan?

Info Terkini | 2023-12-31 22:15:24

JAKARTA -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian adalah salah satu diplomat yang paling bersemangat. Dia melontarkan beberapa pernyataan tajam yang menyerang Amerika Serikat (AS).

Beberapa komentar tajam Zhao antara lain, “Ada kemungkinan militer AS membawa virus (Covid-19) ke Wuhan”, kemudian “Rasisme terhadap etnis minoritas di AS adalah penyakit kronis masyarakat Amerika”. Meskipun dikritik oleh para diplomat Barat, retorika agresif Zhao menarik perhatian banyak orang di platform media sosial X, di mana ia memiliki lebih dari 1,9 juta pengikut, dan diplomat Cina lainnya segera mengadopsi pendekatan yang blak-blakan.

Namun pada awal Januari 2023, Zhao tiba-tiba ditugaskan kembali ke peran publik yang tidak terlalu penting. Dia ditugaskan di bagian Kementerian Luar Negeri Cina yang mengelola perbatasan darat dan laut. Sejak itu, Zhao jarang berkomentar. Dia juga tidak pernah lagi mengunggah pernyataan di platform media sosial, X.

Sebelum pemindahan Zhao, pemerintah Cina hanya melakukan sedikit upaya untuk mengekang para diplomat mereka yang disebut sebagai pejuang serigala.

Duta besar Beijing untuk Perancis, Lu Shaye, mempertanyakan kedaulatan negara-negara pasca-Soviet dalam sebuah wawancara dengan Perancis pada April.

Pernyataan Lu memicu kemarahan di beberapa negara Eropa. Hal ini membuat Beijing mengambil langkah cepat dengan menjauhkan Lu.

Profesor Chong Ja Ian, yang mengajar kebijakan luar negeri Cina di Universitas Nasional Singapura mengatakan, para pejuang srigala Cina telah disingkirkan.

Begitu pula dengan panda yang telah lama melambangkan sisi lembut diplomasi Cina. Panda-panda Cina di kebun binatang negara-negara Barat telah kembali ke Cina tahun ini tanpa ada rencana untuk segera mengganti hewan-hewan tersebut. Pakar diplomasi Cina dari Universitas Rutgers, Shaoyu Yuan mengatakan, kepergian prajurit serigala dan panda menunjukkan adanya perubahan dalam pendekatan diplomatik Beijing.

“Mereka saat ini sedang berusaha menemukan titik terbaik antara diplomasi keras dan lunak,” kata Yuan, dilaporkan Aljazirah pada 26 Desember 2023.

Nama diplomasi prajurit serigala diambil dari film Cina, Wolf Warrior 2 yang dirilis pada 2017. Film ini bercerita tentang seorang mantan tentara Cina yang secara sukarela pergi ke sebuah negara Afrika yang tidak disebutkan namanya dan dilanda perang untuk menyelamatkan warga Cina yang terjebak dalam pertempuran antara pemberontak dan pasukan pemerintah.

Menurut Profesor Chong, diplomasi prajurit serigala berakar pada meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan di tengah keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 yang menyatakan bahwa klaim maritim Cina di perairan yang disengketakan itu tidak memiliki dasar hukum. Dalam konteks tersebut, diplomasi pejuang serigala adalah cara untuk menunjukkan tekad kepada audiens eksternal dan domestik dan menyampaikan bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) serius dalam membela kepentingannya.

“Hal ini juga sejalan dengan meningkatnya promosi Partai Komunis Cina (PKC) mengenai rasa nasionalisme Cina yang lebih kuat yang mencakup unsur etnis dan budaya yang kuat,” kata Chong.

Pada dekade-dekade sebelumnya, para diplomat Cina dikenal karena sikap diplomatis mereka yang lebih berhati-hati dan birokratis. Mereka jarang berinteraksi dengan media asing atau mengunggah pernyataan di media sosial.

Para diplomat pejuang serigala dengan berani membela Beijing dari kritik asing dan secara proaktif melancarkan serangan retoris mereka sendiri di seluruh lanskap media terhadap kekuatan musuh. Meskipun diplomasi prajurit serigala merupakan fenomena yang relatif baru, diplomasi panda sudah jauh lebih mapan.

Dalam format modern, diplomasi panda dimulai pada 1950-an. Namun diplomasi panda baru muncul pada1970-an ketika kunjungan penting Presiden Amerika Serikat Richard Nixon ke Cina dan berakhirnya isolasi internasional Beijing. Setelah kunjungan tersebut, pemimpin Cina saat itu Mao Zedong memberikan dua ekor panda kepada AS sebagai hadiah. Dua tahun kemudian, Inggris juga menerima dua hadiah panda dari Cina.

“Panda-panda tersebut memberikan sudut pandang yang ramah dan menyenangkan terhadap RRC pada saat kesan negatif terhadap RRC yang berasal dari Perang Korea dan Revolusi Kebudayaan masih relatif segar,” ujar Chong.

Sejak 1980an, Beijing telah mengadaptasi program ini dengan memberikan panda secara pinjaman, dengan biaya dan jangka waktu terbatas, sebagai tanda persahabatan dengan negara-negara di seluruh dunia. Pada 2023, Beijing telah menyewakan panda ke sekitar 26 kebun binatang di 20 negara berbeda.

Namun menurut Chong, diplomasi hewan yang dilakukan Beijing dalam beberapa hal sudah tidak berguna lagi. Cina ingin menunjukkan citra yang lucu dan ramah lewat diplomasi panda. Namun kini yang ingin mereka tunjukkan telah digantikan oleh pandangan yang lebih berbeda setelah negara tersebut terbuka terhadap dunia luar.

Sementara itu, Yuan dari Universitas Rutgers menilai, banyak panda meninggalkan kebun binatang di negara-negara Barat tanpa ada kebun binatang baru yang menggantikannya. Hal ini sebagai pertanda hubungan dingin yang sedang berlangsung antara Cina dan negara-negara di Eropa dan Amerika Utara.

“Panda dalam beberapa hal merupakan termometer diplomatik. Ini bisa menjadi cara bagi Beijing untuk memberikan kesan halus bahwa mereka tidak puas dengan perkembangan hubungan bilateral," ujar Yuan.

Sementara itu, lembaga-lembaga Barat belum tentu ingin mendapatkan simbol persahabatan Cina pada saat sentimen Barat terhadap Beijing jauh dari positif. Yuan menilai diplomasi prajurit serigala sebagai salah satu penyebabnya.

“Pendekatan tersebut jelas menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya sentimen negatif. Diplomasi prajurit serigala dapat dilihat sebagai tantangan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi oleh banyak negara Barat seperti dialog terbuka, saling menghormati dalam hubungan internasional, dan kepatuhan terhadap hukum dan norma internasional," ujar Yuan.

Namun menurut Chong, hal itu belum tentu menjadi masalah bagi Beijing selama retorika agresifnya dapat membantu membuat negara lain takut untuk mengakomodasi PKC. Upaya semacam itu tidak terbatas pada Amerika Serikat atau negara-negara tetangga terdekat Cina.

Retorika keras dan pemaksaan ekonomi ditujukan kepada Australia setelah pemerintah Australia menyerukan penyelidikan asal-usul Covid-19 setelah Beijing dituduh tidak transparan mengenai awal wabah itu merebak. Serangan Cina yang serupa juga terjadi di Lituania pada 2021 ketika negara Baltik tersebut mengizinkan Taiwan untuk mendirikan kantor perwakilan di Vilnius. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Cina.

Namun taktik tekanan ekonomi tersebut gagal memaksakan perubahan. Australia mampu menemukan pasar baru untuk banyak barang yang tidak lagi dikirim ke

Cina. Sementara Uni Eropa, termasuk Lituania, bersatu mendukung Vilnius dan mengajukan kasus terhadap Cina di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka menuduh Cina melakukan praktik perdagangan yang diskriminatif.

“Beijing menyadari bahwa diplomasi yang lebih agresif tidak berhasil. Sikap kasar yang berlebihan telah menciptakan lebih banyak kekhawatiran terhadap RRC," ujar Chong.

Pemerintah Cina sedang menormalisasi hubungan dengan Australia dan Lituania. Beijing juga telah memberikan sikap yang lebih berdamai dengan AS sejak Presiden Cina, Xi Jinping bertemu dengan Presiden AS, Joe Biden di San Francisco pada November. Para ahli mengatakan perubahan diplomasi yang dilakukan Beijing juga terkait dengan tantangan ekonomi yang saat ini dihadapinya.

Cina mencatat pertumbuhan ekonomi yang sulit. Cina mencatat pengangguran kaum muda mencapai 21,3 persen pada Juni 2023 sebelum pihak berwenang berhenti mempublikasikan angka-angka tersebut. Selain itu, Cina mencatat defisit investasi asing langsung (FDI) untuk pertama kalinya pada periode Juli-September 2023.

“Saat ini, akses terhadap investasi asing dan teknologi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Cina,” kata Chong.

Sementara Yuan mengatakan, Cina tidak dapat bertahan secara ekonomi sendirian. Rencana ekonomi globalnya memerlukan gaya diplomasi yang tidak terlalu agresif sehingga mengurangi konfrontasi. Namun bukan berarti hal itu hilang selamanya.

“Diplomasi prajurit serigala adalah alat untuk mencapai tujuan, dan jika Beijing berharap hal ini bermanfaat suatu hari nanti, maka hal itu bisa terwujud lagi,” kata Chong.

n. Rizky Jaramaya

 

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image