Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Matnur Ritonga

Wacana Dua Home Base Seorang Profesor?

Eduaksi | Saturday, 30 Dec 2023, 16:01 WIB

Pada suatu tatap muka perkuliahan di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta belum lama ini muncul wacana dua home base untuk seorang Guru Besar. Kebetulan tatap muka pada sesi tersebut diisi oleh Prof. Suhendar Sulaiman, seorang Guru Besar yang sudah sejak Tahun 2006 beliau dikukuhkan.

Saat sesi diskusi, kebetulan bahasan yang saya ketengahkan saat itu tentang Sumber Daya Manusia khususnya SDM Dosen di kampus saya bernaung yaitu Universitas Darunnajah Jakarta. Pada Mata kuliah Desain Organisasi tentang SDM. Saya mendapat materi Desain SDM Perguruan Tinggi Kampus Islam Swasta.

Setelah pemaparan desain yang saya ulas. Pengampu mengetengahkan fakta bahwa masih minimnya Guru Besar di Indonesia. Beliau menyampaikan hingga saat ini baru ada 6000 Guru Besar di Indonesia. Saya langsung terperangah dan mencoba langsung berselancar untuk menemukan jawaban akan kebenarannya. Betul saja, saya mendapati di Ulasan.co bahwa di akhir Tahun 2022 Guru Besar berjumlah 5.478 hanya 2% dari kebutuhan sesungguhnya. Lanjut beliau, bahwa Tahun 2023 ini sudah berjumlah 6000an karena banyak pengangkatan Guru Besar baru. Namun banyak juga yang wafat dan sudah purna tugas atau pensiun. Di Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) sendiri Guru Besar berjumlah 315 orang.

Masih menurut beliau, bahwa sejatinya Indonesia membutuhkan sekitar 20.000 Guru Besar. Maka tak ayal muncul inisiasi untuk melegalkan Dua Home Base untuk seorang Guru Besar. Bagaimana menurut kalian? Khususnya teman-teman yang sudah lama menyandang gelar Doktor?

Tentu ini menjadi perdebatan yang cukup menarik. Mengapa harus muncul ide dua home base untuk seorang Guru Besar? Mengapa bukan mereka yang sudah lama dan saya yakin banyak yang sudah layak menjadi Guru Besar saja yang dikukuhkan menjadi Guru Besar? Bukankah banyak cara yang bisa ditempuh untuk percepatan penganugerahan jabatan akademik sebagai Guru Besar tersebut?

Namun, tampaknya tidak sesederhana itu untuk menganugerahkan jabatan fungsional Guru Besar kepada mereka yang sudah bergelar Doktor. Mengapa demikian? Mari kita lihat hirarki jabatan ini:

Pertama: Aturan tentang Guru Besar tercantum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi: Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi

Kedua: Permen PANRB No. 1 tahun 2023, selama ini penilaian JF tidak dilakukan oleh atasan langsung, namun kepada Tim Penilai Angka Kredit. Ke depannya penilaian akan dilakukan oleh Atasan langsung agar menghindari bias dari para tim penilai.

Ketiga: Melihat poin kedua dari aturan Jabatan Fungsional saat ini, maka sangat dimungkinkan para petinggi di sebuah kampus untuk melakukan percepatan Jabatan Fungsional Dosen sebagai Guru Besar di kampus masing-masing.

Keempat: Mungkin yang menjadi pertimbangan lain untuk tidak memudahkan jabatan fungsional Guru Besar adalah beban negara, karena setiap Guru Besar akan mendapatkan insentif atau penghargaan dari negara yang harus dimasukkan pada APBN. Tunjangan kehormatan adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik profesor. Seorang profesor berstatus PNS akan mendapatkan tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok. Sementara itu, bagi profesor non PNS akan mendapatkan tunjangan sesuai dengan kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi akademik yang berlaku pagi profesor PNS.

Hal ini pulalah yang tampaknya menjadi pertimbangan mengapa Permen PANRB No.1 Tahun 2023 itu diketok. Sebab pada pengajuan jabatan fungsional sebelumnya bisa dilakukan perdua Tahun, namun setelah Permen PANRB itu diketok maka pengajuan jabatan fungsional baru bisa diajukan perempat Tahun. Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) ternyata belum memberikan kebebasan sejati yang diharapkan oleh para dosen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image