Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siska Maelani

Pendidikan Islam Humanistik Ali Syariati

Sejarah | Thursday, 28 Dec 2023, 06:46 WIB

Pendidikan Islam Humanistik Ali Syariati

Siska Maelani UIN Sunan Gunung Jati Bandung

Email : [email protected]

Pendahuluan

Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 menunjukkan bahwa Islam mampu mendirikan sistem pemerintahan otonom di tengah persaingan blok Barat dan Timur. Revolusi ini tidak hanya menggulingkan rezim Pahlevi yang dianggap sebagai boneka Barat, tetapi juga mencetak kesadaran global tentang potensi Islam. Sebelum revolusi, Ali Syari'ati, seorang ideolog yang telah mencetuskan ide-ide segar dan revolusioner. Melalui kaderisasi ribuan anak muda Iran, ia membangkitkan ambisi di kalangan mahasiswa, yang kemudian menjadi elemen kunci dalam perubahan besar tersebut. Syari'ati menjadi tokoh sentral yang memberi landasan pada revolusi tersebut.

Ali Syari’ati merupakan sosok yang multitalent, ia bukan hanya tokoh agamis yang terkemuka namun juga politikus ulung dan ideolog yang aktif terlibat dalam pergerakan politik bangsanya dalam upaya meruntuhkan rezim otoriter Reza Pahlevi. Ide dan gagasan-gagasannya muncul melangit mampu membuat setiap orang terheran-heran, Ali syariati seorang pemikir dan akedemisi berbakat, tidak hanya resiko kehilangan jabataan dan karirnya, tetapi juga mempertaruhkan nyawanya hingga ia ditemukan syahid di Inggris. Pemikirannya mencakup Konsep Humanistik dalam Pendidikan terinspirasi oleh pemikir mazhab paris seperti Massignon dan Sartre yang berhasil diadaptasi secara sosial oleh Ali Syariati dengan epistimologi islami, konsep ini tidak hanya berakar dalam keislaman, melainkan juga memberikan konstribusi berharga pada wacana pendidikan dalam tradisi islam.

Riwayat Hidup

Ali Syariati dilahirkan pada 24 november 1933 di desa kecil mazinan, sekitar 70 kilometer dari sabzivar, ia tinggal dilingkungan keluarga ulama dan akademisi di Masyhad khurasan, Iran. Pada tahun 1941 Ali Syariati memulai pendidikan dasarnya, kemudian melanjutkan ke sekolah menengah Firdausi di Masyhad pada tahun 1947. Lalu,atas permintaan ayahnya, ia melanjutan pendidikanya di Primary Teacher’s Training College. Di usia 20 Tahun ia mendirikan persatuan pelajar Islam dan menjadi guru setelah beberapa tahun. Lalu pada tahun 1955 Ali Syariati bergabung dengan Fakultas Sastra di Universitas Masyhad, di mana kesadaran keagamaan dan pemikiranya terasah melalui ceramah dan tulisanya ia berhasil memukau kaum muda dan mulai membangun pengarunya di kalangan intelektual muda Iran.

Ali Syariati yang menentang rezim Reza Pahlevi yang diangapnya sebagai boneka barat, gigih melontarkan kritikan tajam sikap tegasnya telah terlihat sejak masa Masyhad. Setelah berhasil meraih gelar doktor dalam waktu setahun, dia kembali ke iran dimana Ali Syariati berubah menjadi sosok Kharismatik hasil studinya tidak hanya memukau, tetapi juga berhasil meransang mahasiswa lainya untuk berpikir.

Namun dampak pada sikap politisnya pada tahun pertama kembali ke iran, ia harus menghadapi penahanan selama enam bulan dengan tuduhan melakukan mobilisasi dan menggalang gerakan anti-pemerintah. Perjalanan hidupnya mencerminkan perjuangan intelektual yang tahan banting dan komitmenya terhadap pemikiran kritis serta kebebasan berpendapat. Pengalamannya di penjara tidak membuat ia jera justru ia semakin keras dalam meruntuhkan rezim hingga pada tahun 1975 ia dikenakan tahanan rumah, kemudian ia memutuskan untuk pergi diam diam ke inggris namun akhirnya terbunuh di Southampton Inggris pada tahun 19 Juni 1977 di rumah sewaannya.

Konsep Pendidikan Humanistik Ali Syariati

Humanisme adalah menghargai keagungan manusia, mengakui kemampuan akal budi yang memungkinkan mencari kebenaran hidup. Pendidikan humanistik bertujuan mengenalkan apresiasi tinggi terhadap manusia sebagai makhluk allah yang mulia dan bebas dalam eksistensinya sebagai khalifatullah, melihat manusia sebagai manusia seutuhnya. Menurut Ali Syariati, Allah menciptakan manusia dari tanah liat busuk, kemudian menyatukannya dengan ruh suci. Manusia dalam pandangan ini memiliki dua kualitas unik, tanah sebagai simbol kerendahan dan ruh sebagai simbol gerak menuju kesempurnaan. Ali Syariati menafsirkan humanisme sebagai filsafat yang mengejar keselamatan dan kesempurnaan manusia.

Berbeda dengan tradisi barat, epistemologi humanisme islam bersandar pada Al-Quran. Basis konseptual mengenai manusia harus dicari di dalamnya. Al-Quran menggunakan dua Istilah yaitu Insan dan Basyar untuk merujuk pada sosok manusia.

Basyar

Dalam Al-Quran kata Basyar disebut sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Maknanya melibatkan mengupas (buah), memotong tipis hingga terlihat kulitnya, dsb. Penggunaan kata ini lebih sering mengambarkan manusia sebagai makhluk biologis dengan penekanan pada kulitnya, menunjukan perbedaan biologis dengan hewan yang didominasi oleh bulu.

Ali Syariati mendefinisikan “Basyar” sebagai mahluk statis yang tidak mengalami perubahan dan memiliki definisi yang konstan sepanjang zaman. Basyar diartikan sebagai kaum tidak terdidik, cenderung memiliki nafsu membunuh, bahkan ada yang meninggalkan pekerjaan untuk menyerang kelompok lain.

Insan

Menurut Ali Syariati, insan adalah makhluk yang mempuyai karasteristik khusus yang memungkinkanya mencapai tingkat kemanusiaan lebih tinggi daripada sekedar makhluk hidup dengan naluri instingtif alamiah. Insan atau manusia sejati, berhasil melepaskan identitasnya dari kategori Basyar dan mencapai level insan dengan tiga ciri utama

Kesadaran Diri

Kesadaran diri mencakup pemahaman terhadap kualitas diri, pengenalan terhadap kualitas dan tabiat alam semesta, prinsip ini menjadi sangat penting untuk diakui sebagai sosok insan

Kemampuan untuk memilih

Kemampuan manusia untuk memilih tidak hanya mencakup perlawanan terhadap tabiat dan hukum yang menguasainya, tetapi kemampuan untuk memberontak terhadap kebutuhan naluri, fisik, dan psikologisnya sendiri. Kemampuan memilih sesuatu yang tidak dipaksakan oleh naluri atau tidak dibutuhkan oleh fisiknya dianggap sebagai aspek paling mulia dalam insaniat.

Dalam pandangan Syariati menjadi Insan tidak hanya tentang eksistensi fisik, tetapi juga melibatkan pemahaman diri yang mendalam, kesadaran akan hubungan dengan alam semesta dan kemampuan untuk membuat pilihan moral yang merdeka.

Kemampuan untuk Mencipta

Kemampuan untuk mencipta manusia merupakan cerminan kekuasaan tuhan yang memungkinkan mereka enciptakan berbagai hal, baik yang bersifat fungsional seperti alat alat maupun yang bersifat seni. Kreativitas manusia muncul saat alam tidak dapat memenuhi kebutuhan, mendorong mereka untuk menciptakan rekayasa dan menciptakan solusi

Ketiga karakter tersebut mencerminkan karakter tuhan, sehinga manusia dianggap sebagai mahkluk yang mempuyai potensi untuk mengembangkan sifat sifat tersebut. Kemampuan untuk terus berubah dan dan berkembang menjadikan manusia mampu bertransformasi dari sosok basyar menjadi insan. Selain insan Ali Syariati merujuk pada satu tipe manusia yang dianggapnya sangat ideal, yaitu “Rausyan Fikr” meskipun istilah ini tidak ada dalam Al-Quran, melainkan dari bahasa persia yang artinya jiwa yang tercerahkan. Syariati mengambarkan sosok manusia revolusioner yang diidamkanya sebagai individu yang memiliki jiwa yang tercerahkan dan penuh pemikiran, mencerminkan konsep manusia ideal ala Ali Syariati.

Rausyan Fikr

Sebutan "rausyan fikr" digunakan untuk merujuk pada mereka yang terlibat dalam perjuangan khusus, terutama di kalangan intelektual. Mereka membedakan diri dengan intelektualitas mereka, yang menjadi keunggulan utama. Rausyan fikr memiliki kesadaran kemanusiaan dan tanggung jawab sosial, terutama jika berasal dari kalangan intelektual, memungkinkan mereka memainkan peran yang signifikan dalam membawa perubahan.

Bagi Syariati, rausyan fikr adalah individu yang telah mampu melepaskan diri dari determinisme alam, sejarah, masyarakat, dan egoisme pribadi. Insan dengan kesadaran diri, kebebasan memilih, dan kreativitas, menggunakan ilmu pengetahuan untuk membebaskan diri dari keterbatasan alam, sejarah, dan masyarakat. Melalui cinta kasih, mereka juga melepaskan diri dari penjara egoisme pribadi. Rausyan fikr memiliki kepekaan dan ketajaman analisis terhadap situasi dan kondisi zamannya, dengan tujuan utama melepaskan diri dari empat penjara: sifat dasar manusia, determinisme sejarah, kondisi masyarakat, dan ego pribadi, yang dapat diatasi melalui pembangunan ilmu pengetahuan dan pengendalian ego dengan cinta

Orang yang tercerahkan, atau rausyan fikr, dianggap oleh Ali Syari'ati sebagai kunci pemikiran, menjadi penggerak utama perubahan. Tanpa peran mereka, perubahan yang diharapkan tidak mungkin terwujud. Mereka berperan sebagai katalisator yang meradikalisasi massa yang sedang tidur panjang, mendorong mereka menuju revolusi melawan penindas. Hanya melalui katalisis rausyan fikr, masyarakat dapat mencapai lompatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Bagi Syari'ati, manusia adalah hasil pemilihan, perjuangan, dan proses kejadian yang konstan, merupakan sebuah hijrah tanpa batas di dalam diri sendiri, menuju Allah, menjadi muhajir dalam dirinya sendiri.

Kesimpulan

Gagasan-gagasan tidaklah selalu orisinal. seringkali, mereka tumbuh dari pemahaman terhadap teori atau gagasan sebelumnya. Pandangan yang berbeda terhadap suatu hal dapat memunculkan perspektif baru atau bahkan menemukan teori inovatif. Sebelum Newton, mungkin banyak orang yang mengalami kejadian mirip jatuhnya buah apel, tetapi Newton secara konsisten mengejar teori gravitasi hingga menemukan kebenaran yang diakui.

Hal serupa terjadi dalam konsepsi humanistik Ali Syari'ati, yang dipengaruhi oleh pemikiran mazhab Prancis seperti Massignon dan Sartre. Meskipun terinspirasi, Syari'ati mengembangkan konsepnya dengan karakter khas, menciptakan landasan bagi konsep pendidikan ala Ali Syari'ati. Lebih dari sekadar akademis, teori Syari'ati menawarkan aplikasi praktis, terbukti dengan pengorbanannya dalam menggugah kesadaran masyarakat Iran dan melawan rezim Pahlevi

Daftar Pustaka

Ali Syari’ati, “Islam dan Kemanusiaan,” dalam Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001)

Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)

John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987)

Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Ego Memburu Revolusi Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam” (Bandung: Penerbit Mizan, 1988)

Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 204. Lihat juga, Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999)

Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam & Masyarakat Moder; Teori, Fakta, dan Aksi Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010)

Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005)

  • #-
  • Disclaimer

    Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

    Berita Terkait

     

    Tulisan Terpilih


    Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

    × Image