Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizki Mulyana

Eksplorasi Teologi Kontemporer: Pemikiran Hassan Hanafi dalam Konteks Era Modern

Agama | 2023-12-26 19:12:31

Semua orang yang beragama Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah aturan universal yang dapat diterapkan oleh negara mana pun dan kapan saja. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan rasio dan bersifat universal. Semua orang yang beragama Islam harus terus membangun peradaban mereka dengan keyakinan itu harus selalu bersandar pada pesan-pesan abadi. Bagaimana kita harus melihat dan mempelajari aspek-aspek peradaban, sejarah, politik, ekonomi, dan sosial Islam yang didasarkan pada universalitas ini?.

Ajaran inti Islam adalah tauhid. Tauhid adalah basis Islam. Menurut Hanafi, membangun kembali semangat tauhid adalah perlu untuk membangun kembali peradaban Islam. Tauhid adalah dasar dari semua pengetahuan. Akibatnya, kita harus mempelajari konsep tauhid dan melihat bagaimana pandangan dunia tauhid membangun dunia Islam. Tujuannya adalah untuk mengetahui bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya terkait. Hanafi berpendapat bahwa membangkitkan semangat tauhid adalah hal yang sangat penting. Tauhid di sini bukanlah pernyataan "keesaan Tuhan" sebagaimana dipahami oleh orang Islam, yang merupakan antitesis dari gagasan Trinitas dalam agama Kristen.

Hasan Hanafi menciptakan gagasan baru tentang konsep teologi Islam yang ilmiah dan membumi sebagai alternatif atas kritiknya terhadap teologi yang tidak ilmiah dan melangit. Tujuannya jelas adalah untuk mengubah teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang tanpa makna, tetapi menjadi ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan iman sebagai landasan moral dan inspirasi untuk tindakan manusia. Karena itu, tujuan dari gagasan Hanafi tentang teologi adalah untuk mengubah teologi tradisional yang bersifat teosentris menjadi teologi yang berfokus pada manusia, dari Tuhan di langit ke manusia di bumi, dari teks ke konteks, dari teori ke tindakan, dan dari takdir yang terkungkung ke takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh dua alasan, pertama kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas dan konkrit ditengah pertarungan ideologiideologi global. Perlunya bangunan teologi yang bukan hanya bersifat teoritik, namun juga praktis yang bisa melahirkan gerakan dalam sejarah.

Hanafi menawarkan dua teori yang ia gunakan untuk mengatasi kelemahan teosentris teologi klasik. Pertama, analisis bahasa dilakukan. Bahasa dan istilah yang digunakan dalam teologi klasik dianggap sebagai warisan dari umat Islam terdahulu yang seolah-olah menjadi doktrin yang pasti dan tidak dapat dipertikaikan. Hanafi menyatakan bahwa istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengacu pada yang transenden dan gaib, tetapi juga mengungkap sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-rasional (iman, amal, dan imamah), historis (nubuwah), dan metafisis (Tuhan dan akhirat). Kedua, pertimbangkan realitas sosial. Untuk mengetahui latar belakang sosiologis dan historis munculnya teologi dan dampaknya terhadap masyarakat atau penganutnya, perlu dilakukan analisis ini. Selanjutnya, teologi modern menemukan jalannya melalui analisis realitas sosial.

Hanafi menggunakan tiga metode berfikir: dialektika, fenomenologi, dan hermeunetik untuk melandingkan dua tawarannya tersebut. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan pada asumsi bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis dan selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi merupakan gagasan Husserl (1859-1938) yang merupakan metode berfikir untuk mencari hakikat sebuah fenomena atau realitas. Hakikat fenomena dapat dicapai menurut Husserl melalui tiga tahap reduksi, pertama reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua reduksi eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi hakikat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur dari objek. Ketiga reduksi transendental, yaitu kesadaran murni, agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut bisa dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan hidup subjek. Hanafi menggunakan fenomenologi untuk menganalisis, memahami, dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam, dan relitas tantangan barat yang diatasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana katakatanya “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk menganalisis Islam di Mesir”. Dengan metode ini, Hanafi ingin realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka, Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam, bukan kacamata barat.

Hermeneutik merupakan sebuah cara penafsiran terhadap teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami kemudian dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara/penafsir dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan yang terdapat dalam teks dan mengenal lingkungan dan masyarakatnya. Hanafi menggunakan metode hermeneutik untuk membumikan gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.

Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah daripada teori Asy’ariyah dan Jabariyah. Begitu pula ia menggunakan ushul fiqh dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela ilmu ushul fiqh ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi, (2) kesadaran spekulatif untuk menginterpretasi teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa, dan (3) kesadaran praksis untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya, adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan tindakan manusia, tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image