
Al-Ubairiz, Kitab Tafsir Kosa Kata Gharib Al-Quran
Agama | 2023-12-26 11:26:13
Kajian terhadap Al-Qur’an di Indonesia diperkirakan oleh para sejarawan dimulai pada sekitar abad ke-18. Pendapat ini didasarkan atas penemuan teks tafsir surat Al-Kahfi di Indonesia. Geliat penulisan dan penelitian terhadap Al-Qur’an terus berkembang seiring zaman. Howard M Federspieel dalam bukunya yang berjudul Kajian Al-Qur’an di Indonesia telah meresensi beberapa buku terkait Al-Qur’an yang ditulis pada abad ke-20. Buku ini menjadi bukti bahwa kecintaan umat Muslim Indonesia terhadap kitab sucinya tidak pernah surut.
Kelanjutan semangat para ulama Indonesia dalam meneliti kandungan Al-Qur’an terpancar dalam Al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz berbahasa Jawa karangan K.H. Ahmad Mustofa Bisri yang ditulis pada tahun 1999 M. Karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang kerap disapa Gus Mus ini pertama kali diterbitkan oleh Pustaka Progeresif Surabaya pada tahun 2000 M, lengkap tiga puluh juz dengan 346 halaman. Sebagai buku berbahasa Jawa yang diterbitkan pada tahun 2000 M, maka dapatlah kita mengkategorikan kitab ini sebagai karya sastra Jawa modern.
Latar Belakang Penafsiran
Berdasarkan muqaddimah Gus Mus dalam kitabnya, Yukhanit menjelaskan bahwa tujuan beliau dalam mengarang kitabnya adalah supaya umat Muslim tidak hanya berhenti di tahap membaca Al-Qur’an, melainkan sampai ke tingkatan memahami kandungan Al-Qur’an. Gus mus amat menyayangkan apabila Al-Qur’an yang merupakan pedoman umat Muslim tidak dipahami oleh umat Muslim sendiri atau bahkan hanya dijadikan penghasil keuntungan material melalui perlombaan-perlombaan MTQ. Yukhanit menambahkan bahwa harapan lain dari pengarangan kitab ini adalah menjadikan kegiatan memahami Al-Qur’an sebagai trend di kalangan umat Muslim sendiri yang memang pemilik kitab tersebut. Tidak dijabarkannya alasan penamaan kitab Al-Ubairiz dalam muqaddimah membuat Yukhanit berpendapat bahwa pendapat yang menyatakan Al-Ubairiz merupakan ringkasan kitab Al-Ibriz adalah tidak berdasar. Pendapat Yukhanit diperkuat oleh Gus Mus sendiri yang dalam wawancaranya pada tahun 2020 M tidak mengatakan bahwa tafsir Al-Ubairiz adalah ringkasan tafsir Al-Ibriz, melainkan hanyalah pelengkap dari apa yang telah ditulis ayahnya dalam kitabnya.
Bentuk Penyajian Kitab
Bentuk penyajian kitab tafsir Al-Ubairiz berbeda dengan penyajian kitab tafsir pada umumnya. Seperti namanya, kitab tafsir Al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz hanya menafsirkan beberapa kosa kata gharib di dalam Al-Qur’an. Contohnya dapat kita lihat pada tafsiran Gus Mus terhadap surat Al-Qari’ah yang berjumlah sebelas ayat. Dalam kitabnya, Gus Mus hanya menafsirkan ayat lima ayat, itu pun hanya pada beberapa kosa katanya saja. Yukhanit beranggapan bahwa alasan dibalik teknik penyajian kitab tafsir Al-Ubairiz yang seperti ini adalah disebabkan telah banyaknya literatur-literatur tafsir baik dalam bahasa Jawa maupun Indonesia. Oleh karena itu, cukuplah Gus Mus hanya menafsirkan lafal-lafal yang gharib saja.
Bentuk dan metodelogi penafsiran kitab Al-Ubairiz sangat berkaitan dengan teknik penyajiannya. Penafsiran yang hanya diberikan kepada beberapa lafal tertentu tanpa dalil pendukung menandai bahwa kitab tafsir Al-Ubairiz terkategori sebagai kitab tafsir dengan bentuk bil Ra’yi. Penjelasan yang singkat, padat, dan jelas juga dapat diasumsikan bahwa kitab tafsir ini menggunakan metode Ijmali. Untuk coraknya sendiri, Yukhanit memberikan penilaian bahwa corak kitab tafsir ini adalah umum. Hal ini disebabkan penafsiran Gus Mus yang tidak menitikberatkan pada satu bidang ilmu tertentu. Berbeda dengan Yukhanit, Nadia dalam skripsinya berpendapat bahwa corak kitab tafsir ini adalah adabi ijtima’i.
Rembang yang menjadi daerah asal Gus Mus, nampaknya amat berpengaruh terhadap kitab ini. Hal ini dilihat dari penggunaan bahasa Jawa khas pantura yang bloko sutho atau dhas dhes atau biasa kita sebut dengan singkat, padat, dan jelas. Selain nuansa khas pantura, Nuansa pesantren yang merupakan latar belakang Gus Mus juga amat terasa dalam karyanya. Hal ini terpampang jelas dengan penggunaan istilah Jawa dalam menunjukkan kedudukan suatu lafal seperti utawi dan kang yang menunjukkan kedudukan mubtada dan na’at. Contoh lain nuansa pesantren dalam karyanya adalah dengan memberikan penafsiran menggunakan Jawa Pegon. Jawa Pegon sendiri adalah teknik menulis bahasa Jawa dengan aksara Arab yang telah lama berkembang di pesantren. Teknik penulisan Jawa Pegon dewasa ini merujuk kepada dua model penulisan. Dua model penulisan itu adalah model penulisan K.H. Bisri Mustofa Rembang dan model penulisan K.H. Abdul Wahab Arif Jombang. Walaupun sekilas terlihat sama, kedua model ini memiliki perbedaan penulisan pada tujuh huruf. Gus Mus sendiri dalam Al-Ubairiz nampaknya merujuk kepada model penulisan ayahnya, K.H. Bisri Mustofa.
Dalam penyajiannya, Gus Mus juga memberikan penjelasan tentang nasikh wal mansukh dan munasabah ayat. Untuk nasikh wal mansukh, Gus Mus akan memberika catatan “note: ayat sekian dinasakh oleh ayat sekian”. Adapun catatan munasabah ayat beliau sajikan dengan memberikan keterangan seperti “(lihat. 141). Hal ini menandakan bahwa ayat yang sedang dibahas memiliki keterkaitan dengan ayat yang berada di halaman 141.
Sebagai sebuah kitab yang dikarang dalam bahasa Jawa, pantaslah jika kitab ini dikategorikan sebagai sebuah karya sastra Jawa. Berdasarkan kandungannya, Poer Adi Prawoto membagi karya sastra Jawa menjadi beberapa kategori. Jika kita mencoba mengidentifikasi kitab ini berdasrkan pembagian Poer Adi dalam bukunya, maka bisalah diasumsikan bahwa kitab ini masuk kategori piwulang. Hal ini disebabkan kandungan kitab ini yang menjabarkan tentang pandangan hidup,falsafah, dan pegangan hidup. Contohnya dapat kita perhatikan pada penafsiran Gus Mus terhadap surat Al-Balad ayat 10. Beliau menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan “nuduhaken ingsun ing insan ing dalan becik lan olo”. Maksud dari ungkapan tersebut ialah Allah telah memberikan dua jalan kepada manusia, baik dan buruk. Lantas kemudian, manusialah yang memilih mana jalan yang akan mereka tempuh. Selain masuk kategori piwulang, kitab tafsir ini juga masuk kategori ragam sastra Jawa Islam. Hal ini amat jelas dengan isi kitab ini yang memang menjabarkan kandungan kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an.
Di antara kemukjizatan Al-Qur’an ialah sebuah teks yang tidak pernah berubah selama empat belas abad, akan tetapi memiliki penafsiran yang dapat terus berkembang mengikuti konteks zaman. Sadarnya para ulama akan hal ini, membuat mereka dengan senang hati kembali menggali dan menggali lagi kandungan Al-Qur’an supaya setiap perbuatan umat selalu berlandaskan Al-Qur’an. Pertanyaan penulis terhadap para pembaca dan penulis sendiri ialah apakah kita masih ingin melanjutkan tugas mulia mereka? Apakah kita ingin berusaha sekuat tenaga menggali kandungan Al-Qur’an supaya setiap perbuatan dilandaskan kepadanya? Atau apakah kita hanya akan membiarkan Al-Qur’an menjadi bacaan-bacaan biasa? Wallahu A’lam.
Referensi:
Cahyani, Nadia. “Eksistensi Tafsir Nusantara: Telaah Terhadap Tipologi Tafsir Al-Ubairiz.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2020.
Yukhanit, “Dimensi Sastra Dalam Tafsir Al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaibil Qur’anil Aziz Karya KH. Ahmad Mustofa Bisri.” Skripsi S1., Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, 2018.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook