Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image lala

Perilaku Toxic Relationship, Kekerasan, Pergaulan Bebas, dan Hal Negatif Lainnya pada Remaja Saat

Eduaksi | 2023-12-22 14:49:54
https://katadata.co.id" />
https://katadata.co.id

Masa-masa remaja adalah masa dimana kita bisa mengukir cerita penuh cinta dan kenangan. Banyak sekali remaja yang sedang berpacaran yang dapat kita jumpai di mana saja. Tetapi masa pacaran remaja tidak selamanya indah seperti yang kita kira. Masa remaja bisa hilang seketika apabila remaja berpacaran tetapi hubungannya tidak sehat dan akhirnya terjerumus ke dalam toxic relationship.

Menjalin hubungan pacaran tanpa didasari rasa cinta dan ketertarikan itu terlihat sangat aneh. Jika orang hendak berpacaran, seharusnya dirinya sudah memiliki ketertarikan dan kecintaan pada pasangannya. Dikutip dari jurnal dengan judul “Analisis Perbedaan Komponen Cinta Berdasarkan Tingkat Toxic Relationship” yang ditulis oleh Dewi Inra Yani, Hasniar A. Radde, dan Arie Gunawan HZ pada tahun 2021, ada salah satu ahli yang mengemukakan teori cinta, yaitu Stenberg. Stenberg (2009) mendefinisikan cinta sebagai hubungan yang pada dasarnya didasarkan oleh keintiman dengan pasangan, saling berbagi kasih sayang dengan orang lain, serta berbagi ketertarikan fisik kepada orang lain. Stenberg (1988) membagi 3 komponen dalam cinta yang biasa disebut dengan “the triangular theory of love”. The triangular theory of love ini terdiri dari keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Intimacy merupakan perasaan bahwa seseorang ingin berada di dekat pasangannya setiap saat. Passion merupakan keinginan pasangan untuk selalu bertemu dengan orang yang dicintainya, baik secara ekspresi hasrat maupun secara hasrat seksual. Commitment merupakan keputusan atau janji antara dua orang pasangan untuk selalu tetap bersama

Pacaran dapat didefinisikan sebagai tahap awal antara 2 orang yang berlawanan jenis untuk mencari kecocokan dan jodoh dengan lawan jenisnya sebagai bekal menuju ke hubungan atau kehidupan yang lebih serius, misalnya pernikahan dan berkeluarga. Menurut DeGenove (2008) pacaran adalah suatu tindakan maupun kegiatan yang terjadi antara dua orang dengan tujuan agar mereka saling mengenal satu sama lain. Pacaran juga bisa dijadikan sebagai penanda hubungan antara dua orang yang mempunyai tujuan untuk saling menguatkan satu sama lain, mendukung pasangannya, dan juga menciptakan rasa aman (Yani, Radde, & Zubair, 2021).

Selama ini mungkin yang kita ketahui apabila ada orang yang berpacaran, kita melihat mereka berperilaku sangat romantis, sayang, dan peduli sama pasangannya. Padahal kita tidak tahu, dibalik ke-mesraan nya mereka, bisa jadi ada hal yang tersembunyi seperti mungkin perempuannya pernah jadi korban kekerasan oleh cowonya sehingga mereka terjerumus ke dalam toxic relationship. Nyatanya, pada remaja generasi sekarang tak jarang dari mereka yang tengah berpacaran itu tidak sadar bahwa dirinya sedang berada di “toxic relationship”, dimana dalam sebuah hubungan (pacaran) salah satu pasangan melakukan kekerasan pada pasangannya. Namun, meskipun mereka tengah berada di toxic relationship, mereka tetap mempertahankan hubungannya dengan alasan “karena masih sayang” padahal sudah jelas-jelas tersakiti dan hubungannya sudah tidak sehat lagi. Murray (2007) mengemukakan macam-macam bentuk kekerasan yang terjadi dalam pacaran dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, maupun pelecehan seksual. Kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan pacaran merupakan upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali terhadap pasangannya, yang sekarang biasa disebut dengan “toxic relationship” (Yani, Radde, & Zubair, 2021). Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan pada tahun 2016 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang juga bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) ini bertujuan untuk mengumpulkan data tentang pengalaman hidup perempuan yang mengalami kekerasan dengan usia 15 tahun ke atas. Sebanyak 33,4% perempuan berusia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual selama hidupnya. 18,1% dari mereka mengalami kekerasan fisik dan 24,2% mengalami kekerasan seksual. Contoh kekerasan dalam pacaran seperti memukul pasangannya secara berlebihan hingga lebam dan luka-luka, mengintimidasi pasangannya sampai memalukannya di hadapan umum, dan sebagainya. Kemudian untuk contoh kasus toxic relationship dalam pacaran yaitu seperti mempunyai rasa cemburu yang berlebihan yang mengakibatkan timbulnya trust issue dan memicu untuk melakukan hal yang ekstrem kepada pasangannya sendiri dengan menyita handphonenya sampai memeriksa isi chat di handphone, melarang untuk bertemu orang lain termasuk temannya sendiri, dan masih banyak lagi.

Masa peralihan dari anak-anak menuju ke remaja merupakan masa yang rentan sekali. Masa remaja ini memiliki keingintahuan yang tinggi pada berbagai hal, termasuk ingin merasakan hidup menjadi orang dewasa. Hal ini membuat remaja sangat labil sampai sulit megendalikan dirinya sendiri dengan benar. Karena hal itu, banyak orang tua yang takut anaknya terjerumus ke dalam pergaulan bebas, sebab pacaran di kalangan remaja ini tak jarang banyak yang terkena pergaulan bebas seperti mabuk-mabukan, sex bebas, narkoba, berciuman, meraba, dan hal lainnya. Pergaulan bebas merupakan Tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok yang tidak memiliki Batasan maupun dikendalikan dibawah hukum atau norma yang berlaku pada Masyarakat. Remaja mempunyai risiko yang tinggi untuk terjerat ke dalam pergaulan bebas. Hal ini disebabkan karena remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar terhadap hal-hal negatif seperti berhubungan seksual, berpegangan, meraba, berciuman, dan lainnya. Hasil survei menunjukkan bahwa sebesar 62,7% remaja yang ada di Indonesia telah melakukan having sex (Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementrian Kesehatan RI, 2017), 92% remaja berpegangan tangan saat pacaran, 82% berciuman, 63% suka petting (meraba) yang mana hal ini sangat memicu remaja untuk melakukan hubungan seksual (Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Zaman sekarang mungkin banyak orang tua yang membebaskan anaknya di dunia luar. Mulai dari tidak memberikan anaknya batasan jam malam maupun membebaskan anaknya untuk bergaul dengan siapa saja. Tetapi, apakah kedua hal tersebut hanya hal yang cuma-cuma diterapkan oleh orang tua kepada anaknya, lalu kemudian anaknya malah menyalahgunakannya? Kebanyakan kesempatan tersebut malah digunakan anak untuk hal-hal yang negatif. Padahal, apabila orang tua tidak memberikan batas jam malam dan orang tua juga memperbolehkan kita untuk bergaul dengan siapa saja, artinya orang tua sedang memberikan kepercayaan kepada anaknya. Disaat orang tua memberikan kepercayaan pada anaknya, apakah kalian tega akan menyalahgunakannya dengan melakukan hal-hal yang negatif? Orang tua memberikan semua fasilitas dan izin tersebut agar anaknya bisa belajar bagaimana cara membatasi dirinya sendiri dan tidak terpengaruh hal-hal negatif di luar sana.

Remaja merupakan aset bangsa di masa depan, karena masa depan suatu bangsa ada di tangan mereka. Jika banyak remaja yang terjerumus ke dalam kasus negatif, bagaimana kita akan menaruh harapan untuk masa depan bangsa ini kepada remaja? Hal-hal seperti pergaulan bebas yang sudah dibahas di paragraf sebelumnya tentunya tidak terlepas kaitannya dengan lingkungan sekitarnya serta peran orang tua dalam mendidik dan memberikan edukasi sejak dini kepada anaknya. Apabila lingkungan tempat tinggal sudah membawa pengaruh buruk bagi sekitarnya, maka tidak heran lagi apabila banyak yang terpengaruh dampak burunya. Peran orang tua pun begitu, jika orang tua tidak memberikan edukasi bagaimana cara menjalin hubungan yang baik dan edukasi bagaimana dunia luar tentang pergaulan bebas, toxic relationship, maupun kekerasan pada anak, dewasanya anak akan terjerumus ke hal-hal negatif, terlebih saat anak berpacaran. Kita juga harus pandai-pandai dalam memilih pasangan kita. Jangan mencari pasangan yang suka melakukan kekerasan, toxic relationship, maupun yang suka membawa diri kita untuk terjerumus ke dalam hal-hal negatif. Pilihlah pasangan yang baik dan dapat menuntun kita ke jalan yang baik juga di hidup dan di akhirat nanti. Pilih juga lingkungan sekitar maupun lingkungan pertemanan yang sehat dan baik. Dari lingkungan yang sehat tersebut diharapkan dapat tercipta perilaku yang baik pula. Intervensi lainnya untuk mengatasi pergaulan bebas, kekerasan, toxic relationship, serta hal negatif lainnya yang terjadi pada remaja dapat dilakukan dengan cara promosi kesehatan di sekolah maupun kampus, penyuluhan atau seminar edukasi tentang dampak negatif dunia luar, sex bebas, dan lainnya. Semakin banyak pengetahuan yang diberikan pada remaja terkait pendidikan seks akan membuat remaja tahu bagaimana bahayanya dunia luar dan dunia pacaran yang tidak sehat, sehingga diharapkan remaja dapat menjaga pergaulannya serta mengetahui batasan untuk dirinya sendiri.

Sumber berita :

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image