Pengaruhnya Eksposur Media Sosial Terhadap Tingkat Kerentanan Bunuh Diri di Kalangan Gen-Z dan Milen
Teknologi | 2023-12-20 14:25:19Bonus Demografi: Bekal Menuju Indonesia Emas 2045
Saat ini, Gen-Z, yang melibatkan individu yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, menjadi kelompok generasi terbesar di Indonesia, mencapai 27,94% dari jumlah keseluruhan populasi atau sekitar 74,93 juta orang.
Disusul oleh generasi milenial, yang merupakan kelompok generasi terbesar kedua dengan presentase 25,87% dari total populasi atau sekitar 69,38 juta orang. Dengan persentase 70,72% dari total populasi berada dalam rentang usia produktif (15 hingga 64 tahun), Indonesia tengah mengalami bonus demografi yang diharapkan dapat menjadi bekal Indonesia menuju Indonesia emas pada tahun 2045.
167 Juta Jiwa Aktif di Media Sosial
Media sosial telah menjadi platform yang tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda di Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan oleh Hootsuite dan We Are Social yang dipublikasi awal Januari 2023 lalu menunjukkan bahwa 212,9 juta jiwa di Indonesia adalah pengguna internet. Sebanyak 60,4% dari total penduduk Indonesia adalah penggguna aktif media sosial, yaitu sebesar 167 juta jiwa.
Menurut catatan BPS, jika dikategorisasi berdasarkan kelompok usianya, mayoritas atau 47,64% pengguna internet di Indonesia berasal dari kelompok usia produktif atau pekerja yaitu 25-49 tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa internet khususnya platform media sosial telah menjadi sarana komunikasi, hiburan, dan informasi yang sangat penting bagi generasi muda.
Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga dapat menimbulkan berbagai risiko, terutama bagi generasi muda yang masih rentan terhadap pengaruh negatif. Salah satu risiko yang paling mengkhawatirkan adalah peningkatan tingkat kerentanan generasi muda terhadap bunuh diri.
1.241 Kasus Bunuh Diri di Indonesia Sepanjang 1 Januari-15 Desember 2023
Bunuh diri merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang serius. Dilansir dari World Health Organization (WHO) per Agustus 2023 lalu, setiap tahunnya sekitar 700.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri dan menjadi penyebab kematian tertinggi keempat pada usia 18-29 tahun. Pusiknas Kepolisian merilis, ada 1,241 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode 1 Januari hingga 15 Desember 2023.
Fenomena Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa
Tak terkecuali mahasiswa yang secara intelektual diharapkan lebih matang dan rasional, ternyata angka bunuh diri di kalangan usia ini malah semakin bertambah dan tragis. Baru-baru ini (14/12/2023) terjadi lagi bunuh diri di lingkungan mahasiswa yang ramai menjadi perbincangan publik. Seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) Universitas Brawijaya (UB) tewas bunuh diri di kampusnya dengan cara terjun dari lantai 12 gedung perkuliahan.
Padahal, tak lama sebelumnya terjadi juga kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswi lompat dari lantai 4 asramanya di universitas swasta ternama di Yogyakarta (02/10/2023). Delapan hari setelahnya (10/10/2023), seorang mahasiswa ditemukan tewas di Mal Paragon Semarang diduga terjun juga dari Gedung atas Mal. Tak hanya satu, keesokan harinya (11/10/2023) di kota yang sama, kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang juga terjadi. Korban ditemukan meninggal di kamar indekosnya.
Faktor Paparan Internet & Media Sosial
Generasi muda dalam rentang usia 18-25 tahun, memang memiliki kerentanan tinggi untuk bunuh diri. Pada usia ini, mereka sedang mengalami perubahan fisik, mental, dan sosial yang sangat pesat. Perubahan fisik meliputi pertumbuhan dan perkembangan tubuh, pubertas, serta perubahan siklus hormonal. Perubahan mental meliputi perkembangan kognitif, emosi, dan identitas diri. Perubahan sosial meliputi mulainya kehidupan mandiri, menjalani pendidikan tinggi, dan memasuki dunia kerja. Perubahan-perubahan ini dapat menimbulkan tekanan dan stres yang besar bagi anak muda.
Selain itu, dorongan gaya hidup juga mengamplifikasi risiko atas berbagai persoalan mental, salah satunya adalah keterikatan dengan internet dan media sosial. Generasi muda yang memiliki faktor risiko bunuh diri, seperti gangguan kesehatan mental, masalah keluarga, dan masalah pribadi, akan lebih rentan terhadap pengaruh negatif media sosial. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran generasi muda tentang bahaya paparan media sosial dan cara-cara untuk mengatasinya.
Beberapa situasi di mana paparan media sosial dapat meningkatkan tingkat kerentanan bunuh diri di kalangan generasi muda:
• Penyebaran konten negatif. Media sosial dapat menjadi sarana penyebaran konten negatif, seperti konten kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian. Konten-konten tersebut dapat membuat generasi muda merasa tertekan, cemas, dan putus asa.
• Pengaruh cyberbullying. Cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media sosial. Cyberbullying dapat membuat korban merasa terintimidasi, tertekan, dan bahkan putus asa.
• Tekanan kesuksesan. Kebiasaan pamer di media sosial menciptakan "social jealousy" di kalangan generasi muda yang menyebabkan stres bahkan hingga frustasi.
Media sosial membentuk persepsi akan “model sukses” yang pada akhirnya menjadi momok ekspektasi bagi mereka ketika jarak kondisi ideal ternyata terlalu tinggi untuk mereka capai. Hal itu secara berlarut-larut dapat menimbulkan anxiety berlebihan, kekhawatiran dibayang-bayangi konsekuensi dari kegagalan. Pada usia Milenial dan Gen-Z kebutuhan untuk “pamer” kesuksesan di media sosial menjadi kebutuhan eksistensial yang mereka sebut dengan validasi.
Kondisi pun terkadang diperparah oleh berbagai faktor lingkungan, seperti tekanan akademik, bullying, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan narkoba, kemiskinan, dan masalah keluarga di rumah.
Upaya Mitigasi
Sebagai langkah upaya mitigasi, pendidikan kesehatan mental yang komprehensif harus diberikan kepada generasi muda sejak dini. Pendidikan ini harus mencakup informasi tentang kesehatan mental, faktor risiko dan tanda-tanda bunuh diri, serta cara mencari bantuan. Pendidikan kesehatan mental dapat diberikan di sekolah, universitas, dan komunitas.
Di kampus, khususnya layanan kesehatan mental harus tersedia dan terjangkau bagi mahasiswa. Layanan ini harus mencakup konseling, terapi, dan pengobatan.
Masyarakat perlu didorong untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri. Masyarakat perlu memahami faktor-faktor risiko bunuh diri dan bagaimana cara membantu orang yang berisiko. Kampanye kesadaran masyarakat dapat dilakukan melalui media massa, media sosial, dan kegiatan-kegiatan komunitas.
Kampus harus menyediakan pendidikan kesehatan dan menawarkan layanan kesehatan mental yang terjangkau dan berkualitas bagi mahasiswanya. Pendidikan ini harus mencakup informasi tentang kesehatan mental, faktor risiko dan tanda-tanda bunuh diri, serta cara mencari bantuan. Serta, layanan kesehatannya mencakup konseling, terapi, dan pengobatan.
Di samping itu, kampus harus menciptakan lingkungan yang mendukung bagi mahasiswanya. Lingkungan ini harus bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan pelecehan. Kampus juga senantiasa meningkatkan kesadaran akan bunuh diri di kalangan mahasiswanya. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye kesadaran masyarakat, seminar, dan pelatihan.
Menitipkan Agenda “Mental Health” Pada Capres-Cawapres
Momentum Pemilu 2024 menjadi salah satu trigger untuk mendorong para kandidat presiden dan wakil presiden untuk lebih memperhatikan agenda kesehatan mental masyarakat lebih massif lagi.
Dari sejumlah hal yang masuk ke dalam visi, misi, dan program para capres-cawapres, kesehatan menjadi salah satu aspek yang mendapat perhatian. Sayangnya, kosakata berkait “kesehatan mental” memang belum terlalu banyak disebut dan menjadi agenda utama. Tentu ini menjadi kritik dan masukan untuk para para pasangan calon untuk dijadikan agenda strategis saat mereka terpilih dan memerintah negeri ini.
Perlu juga ditimbang saat mereka terpilih dan berperan sebagai pemerintah nanti untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung upaya pencegahan bunuh diri. Kebijakan ini dapat mencakup peningkatan akses layanan kesehatan mental yang murah dan terjangkau, kampanye kesadaran masyarakat yang ramah dan supportif, dan regulasi media sosial yang efektif.
Pemerintah bertanggung jawab penuh atas keselamatan dan kesejahteraan mental masyarakatnya. Sebab mental masyarakat adalah cerminan dari mental para pemimpinnya. (Rd)
***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.