Soekarno Sang Pembebas di Zaman Pergerakan
Sejarah | 2023-12-20 11:03:50Oleh Mohamad Asrori Mulky, Dosen STISNU Nusantara Tangerang
Ketika Soekarno dijuluki Putra Sang Fajar. Itu karena dia menjadi suluh di tengah gelapnya nasib bangsa yang ratusan tahun dijajah tak kunjung merdeka. Dia tanamkan harapan pada jiwa rakyat semesta bahwa sinar kebebasan akan segera terbit di pelupuk bangsa paling dekat.
Soekarno bukanlah tokoh fiktif atau legenda. Dia nyata, hadir dalam realitas bangsa Indonesia yang menyejarah. Dilahirkan pada 6 Juni 1901, di Peneleh, Surabaya, tepat ketika matahari menyingsing di sebelah Timur. Itulah mengapa dia dijuluki Putra Sang Fajar.
“Bersama dengan kelahiranku, menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru, dan menyingsing pulalah fajar dari suatu abad yang baru”, demikian Soekarno mengisahkan momen kelahirannya pada Cindy Adams, wartawan Amerika, penulis buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Di hari ketika Soekarno dilahirkan, Indonesia memang masih dalam cengkeraman imperialisme Belanda. Keadaan Ibu Pertiwi kala itu kian suram ketika anak-anak bumiputera dijadikan budak di negerinya sendiri. Keringatnya diperas. Tenaganya diperah tak ubahnya sapi perah; tanpa perlakukan yang layak dan upah yang memadai.
Sumber daya alam Bumi Pertiwi dikeruk, dieksploitasi untuk keuntungan Belanda. Sementara kebutuhan mendasar rakyat semesta (Indonesia) seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan tidak terpenuhi. Penindasan demi penindasan dengan segala bentuk dan wujudnya terus terjadi, bahkan dilegalkan demi kepentingan kaum penjajah.
“Indonesia masih berada di zaman yang gelap”, kata Soekarno. Zaman yang disebut oleh Prabu Jayabaya sebagai zaman kalabendhu. Zaman gonjang-ganjing, zaman edan tanpa keadilan, tanpa arah dan panutan. Zaman yang dalam istilah Adonis (Ali Ahmad Said), disebut “zaman yang merepih seperti pasir”, rapuh, mudah dipecah-belah, karena tak berjangkar ke akar jati diri.
Dalam gelap malam seperti itu, Indonesia tidak sekedar memerlukan bintang penuntun yang memberi arah ke jalan yang terang, tapi juga sinar fajar yang mengusir sisa-sisa kelam dari pekatnya malam. Indonesia membutuhkan sosok Satria Pingit (Ratu Adil) yang mampu menghantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang hakiki.
Dalam keyakinan masyarakat Jawa, Satria Piningit (Ksatria Tersembunyi) adalah pemimpin masa depan yang hadir membawa kemakmuran, keberkahan, keadilan, dan kebebasan bagi rakyat. Satria Piningit yang ditunggu-tunggu kehadirannya itu kemudian menitis dan mewujud pada diri Soekarno, Putra Sang Fajar, Presiden Indonesia Pertama, Sang Pemimpin Besar Revolusi.
Muncul sebagai Satria Piningit, Soekarno membopong Indonesia ke posisi terhormat. Bukan hanya oleh sebab telah lepas dari kaum kolonial tapi juga mulai dipandang dunia internasional. Dia membawa bangsa ini ke era baru, zaman baru, yaitu Indonesia pasca revolusi (kemerdekaan). Tetapi semangat revolusi yang telah diletupkan itu, nyalanya harus tetap dijaga, bila perlu lebih dikobarkan biar menyala-nyala meski kemerdekaan sudah diraih secara mutlak. Soekarno mengatakan, revolusi Indonesia harus Kiri bukan Kanan.
Kiri berarti perlawanan dan anti kemapanan. Kiri adalah ideologi perjuangan melawan kesewenang-wenang, penindasan, penjajahan, eksploitasi, ketidakadilan, dan sejenisnya yang harus menjadi komitmen bersama bangsa ini. Sebaliknya, ideologi kanan yang ditentang Soekarno tidak hanya berarti melanggengkan status quo, tapi juga memungkinkan tumbuhnya otoriterianisme, kolonialisme, dan imperialisme model baru.
Pandangan Kiri Soekarno, tentu saja, selain banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan berhaluan kiri seperti Che Guevara, juga sedikit banyak dipengaruhi paham Marxisme-Leninisme yang dia telaah dengan serius sejak di bangku kuliah semasa di Bandung. Di masa pergerakan seperti itu, kata Peter Kasenda dalam Sukarno, Marxisme & Leninisme, hampir tidak ada tokoh pergerakan yang meninggalkan paham Marxisme-Leninisme. Entah hanya sebagai konsumsi intelektual, maupun sebagai sebuah tindakan praktis perjuangan.
Salah satu wujud Ideologi Kiri Soekarno berhaluan Marxisme-Leninisme adalah konsepsinya mengenai Marhaenisme yang terinspirasi dari seorang petani kecil bernama Marhaen dari Priangan, Jawa Barat. Meski tak seperti Karl Marx yang membagi masyarakat kedalam borjuis dan proletar, Soekarno melihat marhaenisme sebagai kenyataan sosial yang terjadi di Indonesia secara umum.
Istilah marhaenisme yang dipopulerkan Soekarno untuk menggambarkan keadaan rakyat Indonesia yang miskin dan marjinal: petani kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil, namun mereka tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Padahal mereka memiliki alat-alat produksi sendiri. Sementara proletar di Eropa hanya mengarah kepada kaum buruh miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi sendiri. Untuk menghindari gejolak dan pemberontakan kaum buruh, agama dijadikan alat untuk meninabobokan mereka. Itulah mengapa Karl Marx melontarkan kata-kata keras: Agama candu masyarakat.
Dari sini kita bisa memetakan kalau Soekarno menjadikan wong cilik (rakyat miskin) sebagai dasar perjuangan melawan feodalisme (penindasan sisa-sisa masa kerajaan) dan imperialisme (penindasan kaum penjajah). Feodalisme dan imperialisme di Indonesia telah menciptakan keadaan rakyat makin sulit tak berdaya. Sementara Karl Marx di Eropa menjadikan kaum proletar (kaum buruh yang tak punya modal) sebagai basis perjuang dari kesewenang-wenangan kaum borjuis.
Meski Soekarno menggunakan Marxisme-Leninisme sebagai pisau bedah analisis keadaan sosial masyarakat Indonesia kala itu, Putra Sang Fajar ini tetap seorang nasionalis sejati. Dia bukan komunis. Sebagai seorang nasionalis sejati, sekaligus pemimpin besar revolusi, Soekarno percaya dengan kekuatan rakyat. Karena itu, baginya, basis kekuatan perjuangan rakyat harus datang dari rakyat yang telah dimelaratkan oleh sistem imperialisme dan feodalisme. Indonesia harus lepas dari kedua sistem tersebut yang sudah lama menjerat nasib rakyat.
Bagi sebagian besar tokoh pergerakan, melibatkan seluruh rakyat semesta (dari Sabang sampai Meuraoke) dalam perjuangan mengusir penjajah tidaklah mudah. Perlu sosok yang memiliki kemampuan agitasi dan orasi yang mumpuni. Perlu sosok yang bisa menyampaikan ide-ide perjuangan kepada anak-anak revolusi dengan bahasa rakyat agar mudah dicerna. Sosok itu tiada lain adalah Soekarno. Dia adalah agitator dan orator ulung yang bisa mengolah kata-kata menjadi mantra yang memikat kesadaran rakyat.
Mengenai hal ini, saya teringat dengan Pendekar Syair Berdarah, Arya Dwipangga tentang kata menjelma mantra, mari kita renungkan:
Kata membuat mantra
Mantra menusuk daya
Daya mantraku mengunci semua daya
Daya mantraku menyirap pikiran manusia
dengan darah dan lupa
Kalau kita cermati bahasa yang diolah Soekarno begitu kuat dan memikat hati pendengarnya. Kata-katanya meledak-ledak penuh semangat. Dan itu cocok digunakan dalam situasi rakyat membutuhkan semangat perjuangan. “Ganyang Malaysia”, “Inggris kita linggis”, “Amerika kita Setrika”, “Api sejarah”, “Ambil apinya, buang abunya”, “Berikan aku sepuluh pemuda niscaya akan aku guncang dunia”, dan masih banyak lagi jargon dan istilah berapi-api penuh perlawanan dari Soekarno. Bahkan Soekarno menamai dua putra dengan: Guruh dan Guntur yang memiliki daya ledak dengan suara yang menggelegar.
Bagi penikmat cerita Mahabharata seperti Soekarno, hidup adalah lakon panjang Baratayudha. Setiap pertempuran harus dimenangkan, tidak boleh kalah, apalagi lari jadi pecundang dari medan laga. Dia tidak ingin jadi budak orang kulit putih (penjajah). Dia lawan kekuatan imperialis yang sudah bercokol ratusan tahun. Dia mewarisi watak Ksatria Karna yang melawan tata nilai, aturan, dan tradisi yang membelenggu harkat, martabat, dan kebebasan manusia.
Nama Soekarno (Putra Sang Fajar) diambil dari Karna (Putra Dewa Surya), keduanya mewarisi watak matahari; menghangatkan, menerangi, dan membawa keberkahan bagi apa, dan siapa saja yang ada di muka bumi ini. Soekarno dan Karna adalah ksatria pilihan yang dituntun alam yang kehadirannya membawa berkah bagi manusia, langkah-langkahnya digandeng matahari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.