Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Leon Chris

Citizen Journalism: Bak Pedang Bermata Dua

Edukasi | Monday, 18 Dec 2023, 18:32 WIB

Sebelum adanya media digital, masyarakat hanya dapat bertukar informasi secara terbatas, misalnya melalui media cetak, radio, atau televisi. Namun, dengan perkembangan media digital, masyarakat kini dapat bertukar informasi secara lebih mudah dan cepat melalui berbagai platform, seperti media sosial, situs web, maupun aplikasi chatting. Dengan tren digital information yang terus berkembang saat ini, terbentuklah perilaku masyarakat dalam menyebarkan informasi, Citizen Journalism.

Citizen journalism atau lebih dikenal dengan jurnalisme warga, adalah kegiatan jurnalisme yang tidak dilakukan oleh badan redaksi profesional, melainkan oleh masyarakat yang tidak punya latar belakang di bidang tersebut. Kegiatan jurnalisme yang dimaksud berupa pengumpulan, penulisan, dan penerbitan informasi yang disusun dengan gaya sesuai keinginan sendiri.

Menurut Jay Rosen, seorang professor jurnalistik dari New York University, jurnalisme warga adalah fenomena dimana khalayak menggunakan alat pers yang mereka miliki untuk saling memberi informasi (2008. Pressthink.org).

Jadi, dengan menggunakan ponsel untuk mengunggah informasi di media sosial seperti Whatsapp, Tiktok, Twitter, dan lain-lain, secara tidak sadar kamu sudah menjadi bagian dari jurnalisme warga ini. Jurnalisme warga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan jurnalisme professional.

Kelebihan

1. Kecepatan informasi

Jika jurnalisme profesional memiliki aturan dan kode etik yang teratur serta informasi yang akurat, lain halnya dengan jurnalisme warga yang menawarkan kecepatan informasi sampai kepada publik. Produksi berita profesional perlu melakukan proses yang panjang mulai dari terjun ke lapangan, mengumpulkan informasi, verifikasi kebenaran berita, hingga bisa diterbitkan di kanal redaksi. Sedangkan jurnalisme warga, mereka bisa langsung membuat dan menyebarkan informasi melalui media sosial.

2. Independen

Tidak seperti badan redaksi yang tidak jarang dikontrol oleh lembaga pemerintahan, konten yang diunggah masyarakat sangat sulit diintervensi, apalagi jika pengunggah nya bersifat anonim. Ini bisa menjadi berguna pada kondisi tertentu, contohnya saat kondisi perang di suatu wilayah, atau saat kondisi negara sedang kolaps.

3. Anti sensor

Jurnalisme warga tidak tunduk pada aturan pers. Dalam kasus tertentu biasanya ada informasi dalam foto atau video yang disensor, namun pelaku jurnalisme warga bisa mengunggah hal tersebut tanpa perlu penyensoran. Jadi, bisa dibilang jurnalisme warga mempunyai transparansi yang lebih dibandingkan jurnalisme profesional.

Kekurangan

1. Berpotensi menyebarkan hoax

“Ada udang dibalik batu” adalah frasa yang tepat untuk menggambarkan poin ini. Diantara orang-orang yang memberitakan kebenaran, pasti ada saja pihak pihak tertentu yang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk keuntungan sendiri.

Salah satu contohnya adalah penyebaran berita bohong (hoax) yang bertujuan untuk memanipulasi opini publik atau menyebarkan kebencian. Berita-berita hoax ini seringkali dikemas dengan menarik dan meyakinkan, sehingga mudah untuk disebarkan.

2. Informasi kurang akurat

Citizen journalism memiliki kelebihan berupa kecepatan informasi menyebar, namun justru karena itulah konten-konten tersebut bisa berpotensi memberitakan hal yang tidak benar. Wajar saja, orang-orang seringkali tidak melakukan pengecekan tentang kebenaran isi konten dan langsung menyebarkannya. Parahnya lagi, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk melakukan cross check informasi dan justru ikut menyebarkan berita palsu tersebut. Ini dapat menyebabkan semakin banyak orang yang menjadi korban hoax.

Contoh Jurnalisme Warga

https://twitter.com/txtdaribandung/status/1685084551146868737

Dilansir dari postingan akun twitter @txtdaribandung pada Kamis (29/11/2023) yang bertepatan dengan Hari Idul Adha 1445H, terdapat berita yang cukup membuat warga Bandung heboh. Pasalnya, dalam video terdapat kegiatan banyak orang sedang menari-nari di dalam masjid diduga melakukan ritual syiah yang terjadi di wilayah Gegerkalong, Kota Bandung. Postingan ini menuai berbagai respon dari warganet twitter.

"Depan kosan aku bngt anjr, semalem pd gabisa tdr saking paniknya. cm pd nangis bnr2 saking takut paniknya :(" ujar netizen @morkkkyy.

"Ini baru dugaan ya, Di daerah Gegerkalong ini ad yg nmnya Padepokan kebuyutan Gegerkalong. Kelompok ini berafiliasi dng aliran Syiah. Kelitannya mereka lagi merayakan peringatan Asyuro kematian Imam Husein yang dikemas dengan budaya sunda." tulis netizen lain @BeGustiyan.

Setelah Pemerintah Kabupaten Sumedang melakukan penyelidikan, hasilnya menunjukkan bahwa berita tersebut tidak benar. Tidak ada kelompok Syiah yang menyebarkan ajarannya di Desa Gegerkalong.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Sumedang, Iwan Dharmawan, mengatakan bahwa pihaknya telah meminta klarifikasi kepada Camat Cimanggung dan Kepala Desa Gegerkalong. Camat Cimanggung dan Kepala Desa Gegerkalong menyatakan bahwa tidak ada kelompok Syiah yang menyebarkan ajarannya di desa tersebut. Hasil patroli menunjukkan bahwa desa tersebut aman dan kondusif.

Ini dapat menjadi contoh tentang betapa cepatnya informasi menyebar,namun disaat yang sama bisa menimbulkan berbagai spekulasi buruk. Berita ini kemungkinan sengaja disebarkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan keresahan di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari isi berita tersebut yang bersifat provokatif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, kita sebagai warga negara yang cerdas perlu berhati-hati dalam menerima informasi yang beredar di media sosial. Pastikan untuk memeriksa kebenaran informasi tersebut sebelum membagikannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image