Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

LAZ dan Jebakan Economic Mindset

Bisnis | 2022-01-05 11:37:47

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, (Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School)

Belakangan ini muncul persepsi pada sebagian pegiat zakat keberhasilan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dilihat dari kesuksesan program pemberdayaan ekonominya. Output program pemberdayaan ekonomi yang langsung terlihat pada peningkatan kesejahteraan mustahik bisa jadi pemikiran yang mendasarinya.

Dampaknya tidak sedikit LAZ yang memberikan porsi penyaluran lebih besar pada program ekonomi ketimbang program lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Sebetulnya, jika proporsinya masih wajar, tidak masalah. Sah saja. Namun, bisa menjadi masalah jika proporsinya tidak wajar alias timpang. Cara pandang seperti ini berpotensi membuat LAZ terjebak pada economic mindset. Seolah keberhasilan LAZ hanya diukur dari kesuksesan program ekonominya.

Semestinya pemberdayaan mustahik bisa dipandang lebih utuh sesuai dengan maqashid syariah. Sebagaimana ibadah lainnya dalam Islam, zakat juga tidak lepas dari maqashid syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Tujuan tertinggi dalam maqashid syariah adalah menjaga agama. Yusuf Qardhawi, dalam Fiqh Zakat, menerangkan tujuan akhir dari syariat zakat adalah menjadikan mustahik orang yang bertakwa. Artinya, terentaskan dari kemiskinan hanyalah tujuan antara. Jangan sampai tujuan antara tidak mengantarkan kepada tujuan akhir.

Mustahik yang terentaskan dari kemiskinan harta, namun tidak terentaskan dari kemiskinan agama, justru hartanya bisa berpotensi membahayakan dirinya. Pada titik ini program pemberdayaan ekonomi sejatinya tidak berhasil. Tidak sampai kepada tujuan akhir syariat zakat.

Karena itu, semestinya LAZ proporsional dalam melakukan intervensi mustahik melalui program pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial untuk tercapainya maqashid syariah. Proporsional meniscayakan adanya besaran berbeda alokasi penyaluran zakat pada program-program tersebut, namun masih dalam skala wajar dan tidak ada ketimpangan.

Selain itu, menyalurkan besar-besaran dana zakat pada program ekonomi dengan menggerus alokasi program-program lainnya bisa berpotensi menurunkan kualitas program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan. Bisa jadi energi LAZ akan terkuras mengejar serapan anggaran program ekonomi, namun kurang memerhatikan kualitas. Kuantitas yang dikejar. Akhirnya, program pemberdayaan ekonomi tidak sustainable (berkelanjutan). Begitu terminasi program dilakukan, tidak lama kemudian program pun hilang.

Setiap program pemberdayaan memiliki karakteristik sendiri terhadap pencapaian maqashid syariah. Program pendidikan misalnya. Karakteristik program pendidikan adalah investasi jangka panjang. Sulit kita berharap memetik “panen” dalam waktu empat atau lima tahun. Durasi programnya saja bisa tiga, empat, atau enam tahun.

Program pendidikan beasiswa dan pembinaan untuk jenjang SMP dan SMA misalnya. Durasi programnya saja enam tahun. Setelah itu, mustahik akan menempuh pendidikan tinggi selama empat tahun. Barulah setelah mereka lulus dari kampus, kita bisa berbicara tentang peningkatan kesejahteraan mustahik.

Namun demikian, output program pendidikan cenderung lebih stabil meski investasinya jangka panjang. Rekayasa mustahik melalui program pendidikan akan melahirkan SDM unggul. Pendidikan bukan hanya mengangkat mereka dari kemiskinan, insya Allah juga akan mampu memberikan kontribusi bagi kemaslahatan umat.

Lantas, berapa proporsi yang tepat alokasi dana zakat LAZ untuk program-program pemberdayaan? Tidak ada ukuran baku secara kuantitatif. Acuannya adalah maqashid syariah. Namun, jika diproyeksikan proporsi untuk program pendidikan setidaknya 20% dari total penyaluran dana zakat LAZ tersebut.

Mengapa program pendidikan minimal 20%? Pertama, program pendidikan mengarah langsung pada upaya mencapai maqashid syariah tertinggi (menjaga agama) dengan melahirkan SDM yang bertakwa dan berakhlak mulia. Selain itu, pendidikan juga membekali para mustahik dengan pengetahuan dan keterampilan untuk bisa mandiri dan berkontribusi.

Artinya, semakin besar penerima manfaat melalui intervensi program pendidikan berkualitas, maka semakin besar SDM yang bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, dan terampil yang akan dihasilkan. Inilah modal dan aset berharga bagi umat dan bangsa. Program pendidikan insya Allah bukan hanya mengentaskan mustahik dari kemiskinan harta, namun juga kemiskinan agama. Dengan demikian, tujuan dari syariat zakat tercapai dengan baik.

Kedua, unsur terpenting dalam membangun peradaban bangsa adalah SDM unggul. Dalam konteks ini, program pendidikan memiliki peran penting dan strategis. Melalui program pendidikanlah, LAZ bisa merekayasa profiling SDM unggul yang bisa berkontribusi bagi kemaslahatan umat dan pembangunan bangsa.

Pada akhirnya, SDM unggul yang dihasilkan akan mampu membangun Indonesia menjadi negara yang mandiri, beradab, dan berdaulat dibidang politik dan ekonomi berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia serta mempengaruhi percaturan politik internasional menuju tatanan dunia berkeadaban.

Sumber: https://www.suara.com/news/2021/04/12/150327/zakat-mal-pengertian-syarat-ketentuan-dan-harta-yang-perlu-dizakati

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image