Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Vindy W Maramis

Virus Dengue vs Bakteri Wolbachia

Rubrik | Wednesday, 13 Dec 2023, 20:55 WIB
Ilustrasi Nyamuk Aedes Aegypti. Sumber : iStock.

Penyakit Demam Berdarah (DBD) saat ini masih menjadi penyakit yang banyak terjadi di Indonesia dan menyebabkan banyak kematian bagi penduduk Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini ada lonjakan kasus demam berdarah di Indonesia. Pada 3 tahun terakhir telah didapati kasus DBD yang terus meningkat. Pada tahun 2021 tercatat sebanyak 73.518 kasus DBD dengan angka kematian 705 orang. Di tahun 2022 ada sebanyak 131.265 kasus DBD dengan angka kematian 1.183 orang. Dan pada tahun ini, terhitung sejak Januari hingga Juli 2023, ada sebanyak 42.690 orang yang terinfeksi DBD dan 317 orang yang meninggal dunia. Hal ini tentu saja menjadi perhatian yang serius bagi masyarakat kita. Sejauh manakah yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi penyakit DBD ini? Seperti yang kita ketahui bersama, sudah sejak lama pemerintah menghimbau masyarakat untuk menerapkan 3M di kehidupan sehari-hari. Yaitu menguras, menutup dan mengubur benda-benda yang terindikasi bisa menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk aedes aegipty. Namun pada faktanya, wabah DBD tetap melonjak tinggi hingga saat ini. Sehingga akhirnya pemerintah mengambil langkah baru untuk mengambil solusi yang ditawarkan oleh Guru Besar sekaligus Peneliti Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada, Adi Utarini yang telah melakukan penelitian selama 12 tahun untuk menangani wabah ini. Hasil riset 12 tahun tersebut sudah diuji coba di wilayah Yogyakarta selama 8 tahun. Mereka melakukan penelitian terhadap nyamuk aedes aegipty yang dimasukkan bakteri wolbachia ditubuh nyamuk tersebut. Sehingga terbentuklah koloni nyamuk aedes aegipty yang membawa bakteri wolbachia, bukan virus dangue. Yang mana virus wolbachia ini terbukti aman bagi manusia dan lingkungan. Beliau menyatakan bahwa hasil riset 12 tahun tersebut menurunkan 77 persen kasus DBD di Yogyakarta. Dan juga menurunkan 86 persen pasien DBD yang mendapatkan rawat inap di Rumah Sakit. Tetapi tidak semua masyarakat menyetujui solusi ini. Bahkan saat ini masih terjadi perdebatan antar masyarakat dan pakar keilmuan. Salah satunya adalah bahwa menggunakan bakteri wolbachia kepada nyamuk aedes aegipty tidak mengurangi populasi nyamuk tersebut. Hanya mengganti virus dangue yang dibawa nyamuk aedes aegipty menjadi bakteri wolbachia yang dikatakan aman bagi manusia yang terkena gigitannya. Akhirnya, masih terbentuk keraguan di sebagian masyarakat atas solusi ini. Karena ternyata dianggap tidak mampu mengurangi populasi aedes aegipty tersebut. Belum lagi kekhawatiran akan timbulnya penyakit baru di tengah masyarakat yang dibawa oleh nyamuk wolbachia. Sehingga terjadi penolakan di kota Denpasar saat Kemenkes ingin melepaskan 200 ekor nyamuk wolbachia di wilayah tersebut. Karena beredar isu bahwa hal tersebut akan menimbulkan pandemi yang lebih lama dari covid 19. Walaupun terjadi perdebatan, pemerintah tetap memakai solusi ini untuk menekan wabah DBD dimasyarakat. Beberapa kota besar yang dijadikan percobaan terlebih dahulu untuk menyebarkan nyamuk aedes aegipty yang mengandung bakteri wolbachia sebelum menyebarkannya secara nasional ke seluruh wilayah Indonesia. Kota tersebut adalah Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang dan Kupang. Dalam sistem kapitalis saat ini, secara alamiahnya, setiap solusi yang diberikan oleh pemerintahan dengan sistem kapitalisme tidak akan mampu secara tuntas untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Dikarenakan sistem ini berdiri atas paham sekuler, sehingga solusi yang diberikan sebatas pemikiran manusianya saja. Solusi tersebut sangat dangkal dan lemah dijadikan solusi tuntas pada setiap permasalahan yang ada. Penelitian yang berlangsung selama 12 tahun tersebut tidaklah cukup menjadi solusi jika tidak ada dukungan penuh oleh Negara dan masyarakatnya. Negara dan masyarakat haruslah memiliki pemikiran yang sama agar solusi tersebut bisa berjalan dengan semestinya. Namun jika hanya himbauan – himbauan saja tanpa terjun langsung ke lapangan untuk memberikan contoh nyata, maka solusi hanya sekedar teori saja. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk terjun langsung memberikan edukasi yang nyata di tengah masyarakat. Yang kemudian memberikan jaminan keselamatan terhadap solusi yang dicanangkan. Solusi secanggih apa pun tak akan mampu menyelesaikan permasalahan jika Negara tidak mengganti sistem pemerintahan yang ada. Sistem pemerintahan yang berlandaskan kapitalisme akan mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan oligarki yang ada. Solusi yang diterapkan justru bisa menjadi ladang bisnis bagi para oligarki. Sehingga akan menimbulkan kesulitan baru ditengah masyarakat. Maka, jika ingin terbebas dari wabah penyakit DBD secara menyeluruh, kita harus mengambil langkah yang sama yaitu menggantikan sistem yang ada saat ini dengan sistem Islam Kaffah. Karena sistem Islam yang berasal dari Sang Khalik memiliki solusi yang sesuai dengan fitrah manusia dan lingkungannya. Secara alamiahnya sistem Islam akan membangun kesadaran umat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan berkembang biaknya nyamuk DBD. Hidup bersih dan sehat adalah landasan utama menjaga kesehatan umat. Mencegah wabah nyamuk dengan nyamuk, bisa menjadi solusi apabila tidak terdapat kepentingan di dalamnya. Karena dalam sistem Islam, kesehatan ada kewajiban yang harus dijamin Negara untuk seluruh rakyatnya. Sehingga, tentu saja pemerintahan Islam memastikan bahwa inovasi tersebut aman bagi umat manusia. Wallahu’alam bishowwab. *Artikel ditulis dan diizinkan publish oleh Rika Lestari Sinaga, Amd. (Kontributor Opini Islam)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image