Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Romadhon Abdillah, S.Pd.

Mengembalikan Identitas Pelajar

Pendidikan dan Literasi | Wednesday, 13 Dec 2023, 10:09 WIB
Pelajar Organ Penting Masa Depan Negara

Wajah pelajar di Indonesia kembali harus tercemar dengan munculnya kasus perbuatan asusial, pelecehan seksual, tindak kekerasan (bullying), dan dugem di lembaga pendidikan. Kasus tersebut menjadi noda yang mencemarkan makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk menghasilkan insan-insan yang berkualitas tampaknya masih jauh dari harapan. Padahal dari situlah negara menggantungkan harapan untuk mewujudkan cita-cita yang telah tersusun di konstitusi negara. Lalu, kepada siapakah masyarakat meletakan harapan besar ini?

Mengenyam pendidikan merupakan suatu anugerah besar yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Mengingat tidak semua manusia memiliki kesempatan untuk merasakannya. Sungguh, amat miris ketika kesempatan yang telah diberikan itu tidak digunakan dengan bijak. Hanya sebatas mengenakan seragam untuk kembali pulang tanpa memberikan makna. Padahal negara telah berusaha memberikan layanan dan fasilitas pendidikan yang terbaik. Meski masih ditemukan banyak kekurangan didalamnya. Namun, sudahkah mereka yang menikmati fasilitas tersebut menampilkan kesungguhan dalam proses belajar?.

Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemendikbudristekdikti), bahwa pada tahun ajaran pendidikan 2023/2024 jumlah siswa yang putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, SMP sebanyak 13.176 orang, SMA sebanyak 10.091 orang, dan SMK sebanyak 12.404 orang (goodstats.id). Data tersebut menunjukan bahwa pendidikan masih belum bisa dirasakan oleh semua generasi bangsa yang berada di tanah air.

Arus modernisasi disinyalir menjadi pengaruh kuat yang menggoyahkan sebagian besar jiwa pelajar. Koneksi yang lemah kepada Tuhan akibat rapuhnya pondasi Iman memudahkan mereka hanyut dalam arus negatif modernisasi. Seks bebas, pornografi, judi online, dan bullying menjadi fenomena yang sering dijumpai masyarakat. Apabila kondisi dibiarkan, bukan tidak mungkin pelajar akan mendapat stigma negatif di masyarakat. Sehingga, tidak ada lagi harapan yang tersisa pada pelajar saat ini.

Paradigma pendidikan perlu diarahkan untuk kembali pada fitrahnya. Sebagaimana, yang dikatakan oleh John Dewey, education is not just the acquisition of knowledge, or the means thereof more importantly education is a moral concept. Pernyataan tersebut sesuai dengan fitrah pendidikan itu sendiri yang tidak hanya diarahkan untuk membentuk kecerdasan, melainkan membentuk moral yang terpenting. Selama ini, orientasi pendidikan di era modern seakan-akan salah jalan, bahkan abai akan hal ini. Orientasi materialistik dan hedonistik telah menjadi tujuan utama. Padahal moral menjadi pondasi utama dalam membangun peradaban suatu negara.

Islam memandang bahwa moral menjadi unsur penting dalam kehidupan manusia. Kedatangan Islam memberikan warna baru yang memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat yang tidak beradab menjadi beradab. Nabi Muhammad Saw sebagai aktor utama yang berhasil memberikan pengaruh besar masyarakat melalui keteladanan yang ditampilkan. Sehingga, menjadikan bangsa Arab pada saat itu dapat memberikan pengaruh besar bagi Eropa untuk keluar dari zaman kegelapan. Hal ini diakui langsung oleh George Sarton yang menyatakan, “Umat Islam merupakan bangsa yang jenius yang berasal dari wilayah timur pada abad pertengahan. Mereka telah memberikan kontribusi terbesar bagi umat manusia”. Pondasi moral yang bagus, akan menghasilkan pengetahuan yang besar, bermanfaat, serta mengantarkan Islam pada masa keemasan (golden age).

Pentingnya pondasi moral bagi pelajar disadari oleh para ilmuwan muslim. Imam Ghazali menyatakan hendaknya mereka yang sedang belajar untuk selalu memperbaiki moral. Hal yang senada juga disampaikan oleh Imam Nawawi dan Burhanuddin Al-Zarnuji yang menyampaikan pentingnya menjaga dan memperbaiki moral selama proses belajar untuk memudahkan dalam proses memahami ilmu pengetahuan. Pesan tersebut menjadi pentujuk bagi setiap pelajar untuk selalu berupaya menjaga moral selama dalam proses mencari ilmu pengetahuan.

Keberhasilan selama menjadi pelajar dalam pandangan Islam bukan hanya dilihat dari aspek kecerdasan atau keterampilan yang diperoleh. Melainkan sejauh mana ilmu pengetahuan yang diraih mampu menampilkan keteladanan dalam kehidupan di masyarakat dan mengantarkannya semakin dekat kepada Allah Swt Dzat yang memiliki seluruh ilmu pengetahuan. Sebagaimana, yang terucap dalam lisan Imam Ghazali, “Sesungguhnya ilmu pengetahuan yang datang semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan mendekati malaikat-malaikat yang tinggi”.

Dengan demikian, pendidikan perlu dikembalikan kepada hakikat tujuan yang sebenarnya dan identitas pelajar perlu dikembalikan ke posisi yang sesuai dengan jalurnya. Orang tua perlu membekali pondasi yang iman dan moral yang kuat kepada anak-anaknya sebelum hendak menitipkannya di sekolah. Guru jangan hanya berfokus mengembangkan aspek akademik siswa, sementara aspek moral diabaikan. Masyarakat perlu menciptakan iklim sosial yang agamis. Serta, negara perlu menampilkan dan menyediakan media massa yang tidak hanya berorientasi pada hiburan semata, melainkan mengedepankan nilai edukasi dan moralitas. Jika semua pihak memiliki kesadaran untuk mengedepankan moral, maka cita-cita untuk mewujudkan generasi emas pada tahun 2045 bukanlah suatu khayalan belaka. Sebagaimana yang disampaikan Dr. Martin Luther King, “Intelligence plus character that is the goal of true education “. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.

*Oleh: Ahmad Romadhon Abdillah

Mahasiwa Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image