Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maya Dyan Natasya

Analisis Hadis Larangan Berenang di Tempat Umum Bagi Perempuan

Agama | Monday, 11 Dec 2023, 12:19 WIB

Oleh: Maya Dyan Natasya

Mahasiswi Ilmu Hadis UIN SATU Tulungagung

Dewasa ini berenang di tempat umum memang menjadi salah satu kegiatan rekreasi yang populer di kalangan masyarakat. Tidak hanya anak-anak saja yang menyukai kegiatan ini, tetapi remaja hingga dewasa juga menyukainnya. Dalam konteks Islam, beberapa orang mengutip hadis yang melarang perempuan berenang di tempat umum sebagai argumen untuk mendukung pandangan mereka. Penting untuk mencermati hadis-hadis tersebut dengan seksama dan memahaminya secara mendalam serta kontekstual.[1] Dalam Islam, hadis adalah laporan tentang perkataan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad Saw. yang menjadi sumber penting dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran agama.

Penting juga untuk memahami bahwa hadis harus dikaji dalam konteks keseluruhan ajaran Islam, termasuk Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum agama. Ketika membahas hadis yang berkaitan dengan larangan perempuan berenang di tempat umum, perlu melihat konteks dan pengertian yang lebih luas. Dalam Islam, konsep aurat atau ketatapan berpakaian merupakan bagian penting dalam menjaga kesucian dan kehormatan individu, terutama bagi perempuan.[2] Prinsip ini bertujuan untuk mencegah terjadinya fitnah (godaan seksual) dan menjaga keamanan serta privasi perempuan.[3] Namun, larangan perempuan berenang di tempat umum tidak memiliki dasar yang kuat dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an.

Oleh karena itu, pandangan ini termasuk dalam kategori ijtihad, yaitu penafsiran dan penjelasan agama yang diperbolehkan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman dan konteks sosial. Penting untuk dicatat bahwa pandangan mengenai perempuan berenang di tempat umum dapat berbeda di berbagai masyarakat Muslim. Beberapa masyarakat Muslim memperbolehkan perempuan berenang dengan syarat-syarat tertentu, seperti penggunaan pakaian yang sesuai dengan prinsip aurat dan privasi. Dalam merespon pandangan yang berbeda-beda ini, penting untuk memahami keragaman pendapat dalam Islam dan menghormati pilihan individu serta keputusan yang diambil berdasarkan pemahaman mereka terhadap agama.

Kritik Historis

Renang merupakan salah satu olahraga yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad Saw. Beliau mendorong umat Muslim untuk menjaga kesehatan tubuh dan berpartisipasi dalam aktivitas fisik.[1] Namun, dalam konteks perempuan, penting untuk memperhatikan aturan-aturan syariat yang berlaku, terutama dalam menutup aurat dengan benar. Bagi perempuan Muslim, menutup aurat adalah kewajiban yang harus dipatuhi dalam semua situasi, termasuk saat berenang.[2] Oleh karena itu, dalam menjalankan olahraga renang, perempuan Muslim harus memastikan bahwa mereka mengenakan pakaian yang sesuai, menutupi seluruh tubuh, dan menjaga auratnya.[3] Pilihan pakaian yang biasa digunakan adalah baju renang yang longgar dan panjang, dilengkapi dengan hijab atau kain penutup kepala.

Dengan mematuhi aturan menutup aurat, perempuan Muslim dapat menjalankan olahraga renang dengan menjaga kepatuhan terhadap syariat.[4] Ini mencerminkan komitmen mereka untuk menjalankan aktivitas fisik yang sehat dan sejalan dengan ajaran Islam. Namun, penting untuk dicatat bahwa praktik dan pandangan terkait dengan olahraga renang bagi perempuan dapat bervariasi dalam berbagai konteks. Seperti dalil hadis yang berbunyi sebagai berikut yang merupakan teguran dari Nabi Muhammad Saw. yang melarang perempuan Muslim untuk masuk ke dalam hammam atau tempat pemandian umum tanpa busana.[5] Hadis ini termuat dalam kitab Sunan Tirmidzi nomor 2725:

حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلْ الْحَمَّامَ بِغَيْرِ إِزَارٍ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ طَاوُوسٍ عَنْ جَابِرٍ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ لَيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ صَدُوقٌ وَرُبَّمَا يَهِمُ فِي الشَّيْءِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ لَيْثٌ لَا يُفْرَحُ بِحَدِيثِهِ كَانَ لَيْثٌ يَرْفَعُ أَشْيَاءَ لَا يَرْفَعُهَا غَيْرُهُ فَلِذَلِكَ ضَعَّفُوهُ

Telah menceritakan kepada kami Al Qasim bin Dinar Al Kufi, telah menceritakan kepada kami Mush'ab bin Al Miqdam dari Al Hasan bin Shalih dari Laits bin Abi Sulaim dari Thawus dari Jabir, bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah masuk pemandian umum tanpa busana. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah izinkan istrinya untuk memasuki pemandian umum. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk di meja yang di atasnya diedarkan khamar." Abu Isa berkata, Hadis ini hasan gharib. Kami tidak mengetahui hadis tersebut dari Thawus dari Jabir kecuali dari jalur ini. Muhammad bin Isma`il berkata, Laits bin Abi Sulaim adalah seorang yang Shaduq (jujur dalam periwayatan hadis), walaupun sebagian periwayatannya ada yang wahm (cacat). Muhammad bin Isma`il berkata, Ahmad bin Hanbal berkata, "Hadis Laits tidak di bisa diandalkan, sebab Laits sering merafa'kan hadis yang tidak dirafa'kan oleh perawi yang lain, oleh karena itu mereka melemahkannya."

Hadis tersebut memiliki kualitas hasan, dengan 7 periwayat sekaligus imam tirmidzi sebagai mukharrij. Pertama jabir bin Abdullah bin amru bin haram berasal dari kalangan sahabat. Beliau selama hidunya di Madinah wafat tahun 78 h. kedua thawus bin kaisan berasal dari kalangan tabi’in dan selama hidupnya di negeri marur rawdz tahun wafat 106 H. ketiga laits bin abi sulaim berasal dari kalangan tabi’in dan wafat pada 148 H selama hidupnya kufah. Al-hasan bin shalih bin shalih, wafat pada 169 H dan selama hidupnya dinegeri kuffah. Mush’ab bin al miqdam, beliau berasal dari negeri kufah dan wafat pada 203 H. Berikutnya al-qasim bin zakariya’ bin dinar, beliau berasal dari kalangan tabi’ul dan wafat pada tahun 250 H.

Takhrij Hadis

Untuk dapat memastikan keaslian suatu hadis apakah benar-benar dari nabi atau bukan, perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu terhadap sanad maupun matanya. Adapun untuk langkah awal dari penelitian yaitu takhrij hadis. Takhrij hadis adalah penelusuran letak sebuah hadis pada kitab-kitab primer yang mencantumkan hadis secara lengkap baik matan maupun sanadnya untuk kemudian diteliti kualitasnya.[6] Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode takhrij hadis bil ma’na yang mana cara kerjanya yaitu dengan cara menelusuri sebuah hadis pada kitab primer menggunakan salah satu lafadz pada matan hadis tersebut. dalam proses pen takhrijan maka pililah lafadz yang menjadi kata kunci pada hadis tersebut. Dengan hal ini, pencarian hadis tentang tabarruj peneliti menngunakan lafadz الْحَمَّامَ, berikut hadis yang terkait:

1. Sunan Nasa’i 398

أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلْ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَر

Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Hisyam dia berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari 'Atha' dari Abu Zubair dari Jabir dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah masuk kamar mandi kecuali memakai kain (menutup auratnya)."

2. Musnad Ahmad 7926

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ حَدَّثَنِي أَبُو خَيْرَةَ عَنْ مُوسَى بْنِ وَرْدَانَ قَالَ أَبُو خَيْرَةَ لَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ ذُكُورِ أُمَّتِي فَلَا يَدْخُلْ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ وَمَنْ كَانَتْ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ مِنْ إِنَاثِ أُمَّتِي فَلَا تَدْخُلْ الْحَمَّام

Telah menceritakan kepada kami Abu Abdurrahman, telah menceritakan kepada kami Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Khairah dari Musa bin Wardan berkata, - (Abu Khairah) berkata, aku tidak mengetahui kecuali bahwa ia mengatakan dari Abu Hurairah - "Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka untuk kaum laki-laki dari umatku janganlah masuk ke tempat pemandian umum kecuali dengan sarung, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka untuk kaum wanita dari umatku janganlah masuk ke tempat pemandian umum."

3. Musnad Ahmad 14124

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَدْخُلْ الْحَمَّامَ إِلَّا بِمِئْزَرٍ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدْ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَان

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi'ah dari Abu Az Zubair dari Jabir bin Abdullah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah masuk kamar mandi kecuali ia memakai sarung (atau jenis penutup lainnya). Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah mengajak istrinya masuk dalam kamar mandi. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah duduk pada meja makanan yang di sana dihidangkan minuman arak. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah menyendiri dengan seorang wanita yang tidak ada bersamanya seorang mahramnya karena yang ketiganya setan".

Kritik Eidetis

Dalam proses kritik eidetis, Hasan Hanafi memberikan persyaratan yakni, pertama penafsir harus melepaskan diri dari dogma atau pemahaman – pemahaman yang ada, kecuali untuk analisa linguistik, kedua teks Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur sehingga menjadikan teks saling berkaitan satu sama lain dan harus dipahami secara menyeluruh.[7] Kritik eidetis ini berfungsi untuk memahami dan menginterpretasi teks hadis. Untuk melakukan kritik eidetis pasti terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan dan Hassan Hanafi telah menentukan langkah operasionalnya yaitu analisis bahasa, analisis konteks sejarah yang fokus mengkaji latar belakang adanya suatu teks dan dalam ilmu hadis konteks sejarah ini adalah asbabul wurud.[8]

Dalam analisis Ma'anil Hadis, ditemukan bahwa hadis larangan berenang di tempat umum bagi perempuan memiliki beberapa variasi dalam sanad dan matan (isi). Beberapa ulama menganggap hadis ini memiliki status yang lemah atau dipertanyakan keasliannya. Namun, terdapat juga ulama yang memandang hadis ini sebagai pedoman yang harus diikuti. Terkait konteks waktu dan tempat, larangan berenang bagi perempuan mungkin memiliki relevansi dalam masyarakat yang memiliki norma dan nilai-nilai tertentu terkait privasi dan kesopanan. Namun, perlu diakui bahwa konteks sosial dan budaya telah berubah sejak zaman Rasulullah, dan aktivitas seperti berenang di tempat umum saat ini memiliki regulasi dan norma yang berbeda.

Kritik Praktis

Langkah terakhir yang ditempuh yaitu kritik praktis untuk mengetahui konstektualisasi makna hadis,[9] dalam hal ini mengenai tentang larangan perempuan berenang di tempat umum (bercampur dengan laki-laki). Berdasarkan analisis Ma'anil Hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis larangan berenang di tempat umum bagi perempuan tidak memiliki keabsahan yang kuat. Konteks kritik historis dan penafsiran hadis, dapat disimpulkan bahwa hadis larangan berenang di tempat umum bagi perempuan perlu ditinjau ulang untuk mengkaji keabsahannya. Dalam zaman modern, konteks sosial dan budaya telah berubah secara signifikan, termasuk dalam hal norma dan regulasi yang mengatur kegiatan berenang di tempat umum.

Pembaruan pemahaman terhadap hadis ini perlu dilakukan agar pandangan terkait berenang di tempat umum bagi perempuan dapat diperbarui dengan mempertimbangkan konteks yang lebih luas. Hal ini dapat mencakup diskusi tentang hak-hak perempuan dalam menjalankan aktivitas fisik, perlindungan privasi, dan kesetaraan gender. Dalam merumuskan pandangan terkait berenang di tempat umum bagi perempuan, penting untuk mempertimbangkan juga nilai-nilai Islam yang mendasari ajaran tentang pemeliharaan kehormatan, batasan, dan perlindungan aurat.[10] Namun, pandangan tersebut harus disesuaikan dengan norma dan regulasi yang berlaku dalam masyarakat modern yang mungkin memiliki pendekatan yang berbeda terhadap aktivitas seperti berenang.

Menghadapi tantangan zaman dan perubahan sosial, terus berkembangnya pemahaman dan interpretasi terhadap hadis adalah hal yang wajar. Hal ini memungkinkan adanya penyesuaian terhadap norma dan praktik yang relevan dengan konteks zaman sekarang, sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai dan ajaran Islam yang mendasarinya. Dalam konteks zaman modern, larangan ini harus dipertimbangkan ulang dengan mempertimbangkan norma dan regulasi yang berlaku dalam masyarakat saat ini.[11] Oleh karena itu, penting bagi para cendekiawan dan pemuka agama untuk memperbarui pemahaman terhadap hadis ini dan mempertimbangkan konteks yang lebih luas dalam merumuskan pandangan terkait berenang di tempat umum bagi perempuan

[1] Devi Erlistiana et al., “Efektivitas Olahraga 3B (Berenang, Berkuda, Berpanah) Sebagai Sarana Dakwah Islam,” BUSYRO: Journal of Broadcasting and Islamic Communication Studies 02, no. 01 (2020): 1–8.

[2] Muhammad Sudirman Sesse, “Aurat Wanita Dan Hukum Menutupnya Menurut Islam,” Al-Maiyyah 9, no. 2 (2016): 315–331.

[3] Kevin Primadani Suri, “Pandangan Ulama Tulungagung Tentang Hukum Berenang Di Kolam Renang Umum Bagi Muslimah” (IAIN Tulungagung, 2021).

[4] Badawi Mahmud Al-Syaikh, Pesan-Pesan Nabi Untuk Wanita, Cetakan 1. (Bandung: Dar Al-Salam, 2015).

[5] Mukhirah Arizka Firza Fikriah Noer, “Pemakaian Busana Renang Remaja Putri Di Kolam Renang Tirta Raya Banda Aceh,” Journal of Chemical Information and Modeling 3, no. 9 (2018): 8–14.

[6] Althaf Husein Muzakky and Muhammad Mundzir, “Ragam Metode Takhrij Hadis: Dari Era Tradisional Hingga Digital,” Jurnal Studi Hadis Nusantara 4, no. 1 (2022): 74.

[7] Asep Mulyaden, Ahmad Hasan Ridwan, and Irma Riyani, “Hermeneutika Hasan Hanafi Dalam Konteks Penafsiran Al- Qur ’ an,” Hanifiya: Jurnal Studi Agama-Agama 5, no. 1 (2022): 3.

[8] Muhammad Aji Nugroho, “Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks Pada Realitas Sosial Dalam Konteks Kekinian,” Journal of Islamic Studies and Humanities 1, no. 2 (2016): 35–56.

[9] Hani Amirna Rosyada, “Hermeneutika Al-Quran Hasan Hanafi : Implikasi Tafsir Tranformatif Dalam Konteks Kekinian,” Studia Quranika 1, no. 1 (2016): 1–23.

[10] Azhar Alam, Muhammad Zulkifli, and Aditya Nurrahman, “Konsep Dan Pengelolaan Kolam Renang Berbasis Nilai-Nilai Syariah : Studi Kasus Telaga Alam Boyolali,” Halal Research Journal 3, no. 1 (2023): 1–15.

[11] Abdul Karim, “Pergulatan Hadis Di Era Modern,” Riwayah : Jurnal Studi Hadis 3, no. 2 (2019): 171.

[1] Masrukhin Muhsin, “Memahami Hadis Nabi Dalam Konteks Kekinian: Studi Living Hadis,” Holistic al-Hadis 01, no. 1 (2015): 10–14.

[2] Muthmainnah Baso, “Aurat Dan Busana,” Jurnal Al-Qadau 2 (2015): 186–196.

[3] Anneke Ratnasari Hardianto and Ririn Tri Ratnasari, “Faktor Yang Mempengaruhi Konsumen Memilih Kolam Renang Muslimah Al-Hikmah Sport Center Di Surabaya,” Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan 2, no. 2 (2015): 91.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image