Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Juan Sulthon Iskandarsyah

Wabah Pneumonia Menyerang China, Perlukah Panik?

Info Terkini | Tuesday, 05 Dec 2023, 16:09 WIB
Ilustrasi seseorang terkena Pneumonia

Beberapa bulan setelah WHO (World Health Organization) mengumumkan telah mencabut status Public Health of International Emergency (PHEIC) untuk wabah Covid-19, menjadi sebuah perasaan yang lega bagi masyarakat di seluruh dunia. Namun, tidak jauh dari tempat asal wabah Covid, belakangan ini muncul berita bahwa China khususnya China bagian Utara sedang mengalami klaster infeksi Pneumonia “Misterius”. Infeksi yang lebih dominan untuk mengenai anak-anak, hal ini terbukti di salah satu rumah sakit besar di kota Beijing yang melaporkan rata-rata sebanyak 1.200 pasien yang memasuki ruang kegawat daruratan setiap harinya, dilaporkan dari Beijing, oleh salah satu koresponden Al-Jazeera.

Dikatakan sebuah peristiwa yang misterius adalah karena munculnya kasus yang secara tiba-tiba melonjak tinggi. Namun, meski dikatakan “Misterius”, para pakar Kesehatan dan cabang ilmu lain yang berkontribusi terhadap kasus pneumonia ini telah mendapatkan beberapa hipotesis mengenai etiologi dari kasus pneumonia tersebut. Prof. Francois Balloux, dari Institut Genetika Universitas College London, mengemukakan opininya bahwa lonjakan infeksi pneumonia ini bisa terjadi sebab dari Lockdown Panjang yang terjadi pada masa Covid-19. Hal ini menyebabkan penurunan imunitas terhadap penyakit endemis (Pneumonia). Fenomena pasca lockdown ini bisa disebut sebagai “Immunity Debt”. Disertai dengan permulaan musim dingin di China, yang menyebabkan lebih rentannya mikroorganisme patogen untuk berkembang biak.

Patogen penyebab Pneumonia di China

Mycoplasma Pneumonia atau M. Pneumoniae adalah sebuah bakteri yang dikatakan menjadi penyebab banyaknya kasus pneumonia pada anak-anak di China. Meskipun begitu, Pneumonia akibat bakteri Mycoplasma Pneumonia memang sudah menjadi hal yang umum di China. Artinya, bakteri ini bukanlah mikroorganisme patogen jenis baru atau hasil mutasi total seperti Covid-19. Biasanya, kasus Mycoplasma Pneumonia tidak akan menyebabkan gejala yang parah, menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), Pada anak remaja, dan orang dewasa, infeksi Mycoplasma awal biasanya menyerupai bronkitis akut, dengan sakit tenggorokan, demam, sakit kepala, atau batuk yang semakin parah yang dapat berlangsung selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Anak di bawah 5 tahun sering kali mengalami gejala Flu seperti bersin, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, diare, dan muntah. Anak-anak berisiko lebih tinggi terkena pneumonia berat terutama jika mereka memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah atau belum pernah terpapar bakteri tersebut sebelumnya. Gejala pneumonia, seperti batuk, kelelahan, sesak napas, demam, dan menggigil, biasanya muncul 1 hingga 4 minggu setelah terinfeksi.

Penyebab hebohnya kasus Pneumonia di China

Yang menjadi masalah di China adalah tinggi nya angka rawat inap akibat infeksi mikroorganisme ini. Yang biasanya, perawatan atau penyembuhan Pneumonia ini bisa diatasi hanya dengan rawat jalan serta diberikan antibiotik, ini disebut sebagai “walking Pneumonia”. Golongan obat antibiotik yang cukup popular di China yang diberikan sebagai obat untuk Pneumonia ini adalah “Makrolid”. Sama seperti bakteri lainnya, Mycoplasma Pneumoniae memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap suatu obat, yakni menciptakan sebuah resistensi. Bakteri resisten obat dapat terbentuk akibat pasien yang sering terpapar penyakit yang sama, kemudian minum antibiotik yang sama selama berkali-kali. Bakteri resisten obat juga bisa terjadi akibat pasien yang “putus obat”, artinya pasien yang belum selesai masa pengobatannya tapi memutuskan untuk berhenti meminum obat tersebut. Hal ini menyebabkan bakteri yang belum sepenuhnya mati, melakukan mutasi genetik agar memunculkan sebuah gen yang resisten terhadap suatu obat, sehingga pada saat berkembang biak, akan menghasilkan bakteri baru dengan gen yang resisten akan antibiotik tersebut.

Pada tahun 2005, sebuah studi mengatakan 80% dari bakteri Mycoplasma Pneumoniae yang diisolasi di Beijing, China dari tahun 2003 sampai dengan 2004 mendapatkan hasil resisten terhadap empat obat golongan Makrolid (Erythromycin, Roxithromycin, Chlarithromycin, dan Azithromycin). Prof. Ben Cowling, kepala divisi epidemiologi dan biostatistika di Universitas Hong Kong, mengatakan bahwa berdasarkan studi sekarang, MRMP (Macrolides-Resistance Mycoplasma Pneumonia) telah menyentuh angka antara 70%-90%. Hal inilah yang menjadi penyebab pasien yang terinfeksi Mycoplasma Pneumoniae tidak bisa dilakukan rawat jalan sebab pemberian antibiotik tidak lagi mempan terhadap sebagian besar dari mikroorganisme tersebut, sehingga harus mengikuti prosedur perawatan yang lebih intensif yaitu dengan rawat inap.

Respon pemerintah China terkait dengan kasus ini

Pemerintah China menyadari secara penuh akan peristiwa tersebut. Saat ini, China telah kembali menerapkan protokol kesehatan Covid-19 guna mencegah penyebaran penyakit Pneumonia ini, juga melakukan peningkatan pengawasan penyakit dan kapasitas diberbagai fasilitas Kesehatan.

Dampaknya terhadap Indonesia

Menteri Kesehatan Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, setelah menghadiri acara DIPA “Digital Handover Event for the Budget Implementation list” mengatakan pada sesi tanya jawab, “Kami sudah mengeluarkan surat edaran. WHO juga telah melakukan penelitian. Hasilnya menunjukkan bahwa patogen yang ditemukan di China sama dengan patogen yang ada sebelumnya. Oleh karena itu, ini bukanlah virus atau bakteri baru, melainkan virus dan bakteri lama”, (11/29).

Dilansir dari CNBC Indonesia, seorang Epidemiologis dari universitas Griffith, Dicky Budiman, mengemukakan bahwa klaster Pneumonia yang terjadi di China bukanlah merupakan hal yang baru, hal ini telah terjadi di China setiap 7 tahun, sedangkan di Denmark dan Belanda memiliki siklus penyakit infeksi saluran napas setiap 3-4 tahun. Dicky, juga kembali menyinggung peristiwa Covid-19 bahwa setelah Covid-19 menjadi penyakit endemik maka akan mempunyai siklus atau klaster infektif tersendiri. Menurut Dicky, siklus infeksi saluran napas yang terjadi pada tahun ini terkesan terjadi secara bersamaan antara China dengan negara di Eropa, kejadian ini tidak terlepas dari dampak pasca pandemi Covid-19. “ dalam teori Epidemiologi, kita punya kelompok masyarakat yang rawan terhadap beragam penyakit saluran pernapasan, ini yang akhirnya menimbulkan kasus seperti ini, dan artinya, dalam konteks indonesia kita juga bisa begitu, jadi bukan berarti kalau kita ditemukan kasus yang serupa, ini asalnya dari China, Tidak seperti itu.” Ungkap Dicky Budiman, (12/01).

Dapat diambil kesimpulan dari beberapa pendapat pakar tersebut, bahwa sebenarnya, peristiwa ini adalah peristiwa yang biasa terjadi disana. Hanya saja, trauma yang kita dapatkan pasca peristiwa Covid-19 ini meningkatkan kekhawatiran kita akan sebuah penyakit menular yang muncul secara luas. Meskipun begitu masih dilakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap kasus ini, untuk mengetahui apakah benar tidak ada mutasi yang signifikan terhadap mikroorganisme penyebab.

Terlepas dari peristiwa ini dapat menyebabkan pandemi ataupun tidak, penyakit menular tetaplah penyakit menular, yang akan merugikan individu sehat lainnya. Sehingga, kita tetap perlu melaksanakan protokol kesehatan salah satunya adalah mencuci tangan, dan tetap waspada akan penyakit menular tersebut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image