Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image adhit akbar

Penegakan Hukum Pidana Terorisme

Agama | Sunday, 03 Dec 2023, 13:37 WIB

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban massal atau kerusakan dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Salah satu bentuk terorisme adalah aksi peledakan bom. Selain itu, ada juga berbagai aksi teror lain yang berkaitan dengan kepentingan kelompoknya, seperti perampokan dan lain-lain. Di Indonesia, berbagai aksi bom, termasuk bom bunuh diri, marak terjadi sejak tahun 2000.

Pada tahun lalu tepatnya di JAKARTA, 14 Januari 2016. Suasana cerah pagi jelang siang hari itu. Sejumlah orang sedang menikmati kopi di gerai kopi atau mungkin sarapan pagi yang sudah kesiangan di pusat-pusat perbelanjaan yang baru saja buka di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Arus lalu lintas di MH Thamrin pun ramai tetapi lancar.

Namun, seketika suasana itu mendadak jadi tragedi. Serangkaian ledakan bom yang disusul aksi baku tembak terjadi di kawasan sekitar pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin tersebut. Rekaman video dan foto tentang peristiwa itu yang diambil orang-orang yang berada di gedung-sekitar lokasi viral di media sosial.

Horor yang terjadi dari aksi teror di kawasan Jl MH Thamrin pun menjalar ke penjuru Ibu Kota.

Aparat kepolisian berusaha mendekati tempat terjadinya ledakan dan penembakan dijalan MH Thamrin, Jakarta pusat, kamis (14/1/2016). (Foto: Istimewa)

serangan mematikan berupa peledakan bom yang disertai baku tembak antara teroris dengan polisi terjadi begitu menegangkan. Beberapa aparat kepolisian, warga sipil, dan pelaku teror tewas dalam peristiwa memilukan itu.

Mengamati pola dan sasaran serangan bom itu tampaknya polisi tengah menjadi target operasi. Sebab, selama ini prestasi kepolisian cukup gemilang memporakporandakan jaringan terorisme di Indonesia. Di samping itu, gerakan ini kemungkinan bentuk sikap latah kepada peristiwa peledakan bom yang terjadi di beberapa negara, sehingga kelompok kelompok kecil ini ingin menunjukkan keberadaannya kepada khalayak

Terlepas dari berbagai kemungkinan itu yang jelas tindakan teror telah melecehkan aparat pemerintah karena tugas menjaga ketertiban dipecundangi aksi koboi kelompok teroris, Masyarakat juga mengalami efek psikologis berupa trauma dan rasa takut karena kejadian tersebut mendapatkan publikasi yang luas dan menjadi perhatian dunia

Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Membaca ketentuan tersebut berarti ancaman pidana terhadap pelaku teror sangat berat karena maksimal pidana mati. Meski demikian semuanya berpulang kepada keseriusan dan ketajaman nurani penegak hukum dalam menjerat pelaku melalui tuntutan dan vonis yang sesuai dengan kadar kesalahannya. Yang jelas kasus ini sangat meresahkan masyarakat, sehingga penegakan hukum dan sistem peradilan tindak pidana terorisme harus berjalan transparan, adil dan menjangkau seluruh aktor yang terlibat di dalamnya. Tidak cukup hanya menjerat pemain pinggiran yang dalam barisan kelompok teroris berkedudukan sebagai panji prajurit. Pengungkapan kasus kejahatan luar biasa ini harus meliputi siapa yang menjadi otak atau perancang serangan dan siapa pula yang mendanainya.

Bom bunuh diri yang melanggar etika kemanusiaan sejatinya merupakan eksternalisasi dari sikap jahat dan egoisme. Kebencian mengeliminasi cinta kasih terhadap sesama manusia sehingga melihat orang lain yang berbeda keyakinan atau misi hidup sebagai musuh. Kebencian yang berakumulasi tersebut menjadikan Indonesia sebagai tempat yang gersang bagi berlangsungnya kepelbagaian dalam ikatan kebinekaan. Kebencian membuat orang yang berlainan ideologi halal darahnya sehingga sah untuk diperangi. Kebencian membuat relasi antar-manusia dipenuhi kecurigaan atau prasangka. Akibatnya, proses menyulam Indonesia menjadi peradaban yang unggul terkoyak dari rajutannya.

Kekerasan berbentuk teror yang terjadi dengan segala variabelnya tersebut harus diurai sumbu utamanya. D.H. Camara (1971) dalam analisanya mengenai spiral kekerasan menyatakan bahwa salah satu ekspresi kekerasan adalah untuk perjuangan menegakkan ideologi. Istilah ini lebih dikenal oleh kelompok keagamaan garis keras dengan sebutan jihad. Meski pemaknaan jihad tersebut sangat keliru namun tak dimungkiri telah menjadi bagian dari sikap hidup para kelompok militan yang kerap mengatasnamakan agama sebagai pembenarannya.

Sisi lain dari gejala terorisme erat kaitannya dengan pendangkalan agama, Anak muda baru belajar agama namun sudah menggebu-gebu untuk berjihad dengan cara keliru, Seolah agama itu identik dengan perang. Sehingga, paradigma jihad dalam agama selalu final di genangan darah kekerasan Pemaknaan yang simplistis ini jika tidak diluruskan akan melahirkan kekerasan dalam agama. Di sinilah tugas tokoh agama untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pesan profetis agama.

Tugas pokok tokoh agama adalah mewartakan kepada pemeluknya agar pemahaman jihad dalam agama tidak dibajak oleh arogansi kelompok teroris. Pesantren sebagai basis pendidikan agama menjadi mercusuar lahirnya manusia inklusif dan berwawasan multikultural. Sehingga nantinya mampu meletakkan konsep jihad dalam konteks kebangsaan secara benar. Bahwa musuh bersama yang harus diberantas bukanlah orang yang berlainan keyakinan agama, ras maupun golongan, melainkan kemiskinan, kebodohan dan penyakit korupsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image