Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Di Balik Hingar Bingar Prostitusi Daring

Gaya Hidup | Tuesday, 04 Jan 2022, 09:43 WIB

Akhir tahun 2021, Indonesia (kembali) digemparkan oleh public figure yang ketahuan melakukan praktik terlarang di kamar hotel via  daring. Kasus ini tentu segera menarik perhatian publik, dan menjadi viral, mengingat pelaku adalah bintang sinetron/aktris pada salah satu sinetron terlaris di Indonesia yang tayang hampir setiap hari.

Beragam pengungkapan kasus sejenis sebelumnya, seakan belum membuat jera pelaku, ataupun belum menjadi sebuah peringatan untuk menghindarinya. Ekspos kasus senada sebelumnya, seakan tidak dijadikan lonceng pengingat bagi penghindaran kegiatan sejenis.

Maka, ketika aksi ini terus dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa; ‘hal’ yang ditawarkan oleh aksi ini jauh lebih ‘menarik dan berpotensi menghasilkan keuntungan’ bagi pelakunya, sehingga yang bersangkutan dan seluruh pihak yang terlibat, bersedia mengambil resikonya.

Tidak tunggal

Selanjutnya, kasus inipun tidak terjadi secara tunggal, namun melibatkan sejumlah aktor yang menjadi mediator/penghubung serta aktor pengguna jasa. Sehingga lengkaplah kolaborasi yang bernilai puluhan juta rupiah, dalam hitungan jam ini. Pada pengungkapan kasus kemarin, (sempat) terungkap alasan pelaku adalah karena faktor ekonomi. Publikpun semakin bertanya-tanya, benarkah?

Maka, sejumlah asumsi klasikpun dibangun, yaitu bahwa para pekerja seni/industri hiburan di kota besar/metropolitan, memang memerlukan biaya hidup yang tidak ringan. Belum lagi jika ditambah dengan kebutuhan ‘gaya hidup’ untuk dapat masuk ke dalam strata/kasta tertentu, agar dapat ‘terbaca’ dalam radar/sensor dunia industri level tertentu.

Hal ini secara umum, akhirnya dapat menjadi lingkaran setan yang tidak terputus. Dimulai dari remaja yang terpapar mimpi metropolitan (hidup glamor, terkenal, cepat dalam mendapatkan penghasilan semi-instan, dan mampu mendanai kehidupan pribadi di kota besar), lalu pencarian pekerjaan di dunia industri hiburan (yang memang cenderung menawarkan penghasilan fluktuatif dan dinamis), disambung dengan kebutuhan gaya hidup dan kelas sosial tertentu serta diakhiri dengan analisa pribadi terkait dengan cukup/tidaknya penghasilan tersebut baginya.

Jika dirasakan masih kurang, maka sejumlah alternatif tawaran penambahan penghasilan (pada era digitalisasi dan internetisasi ini) dapat dengan mudah dilacak, baik melalui daring/luring. Kecanggihan teknologi informasi hari ini, mampu menghadirkan ragam kesempatan (baik halal/maupun non halal) dalam genggaman. Para mediator/penghubung,-yang dalam hal ini juga merupakan pejuang ekonomi (baik mengejar kebutuhan hidup ataupun gaya hidup tertentu) juga tidak pernah tidur dalam menawarkan kesempatan. Di sisi lain, pada siklus rantai ekonomi berlaku kredo: ada gula dan semut. Ada kebutuhan (demand), maka kemudian lahirlah pemenuh kebutuhan (supply). Gayung bersambut dan terjadilah transaksi. Apalagi pada sektor pemuasan hawa nafsu, sering dikatakan bahwa selama peradaban manusia masih ada, maka kebutuhan untuk memenuhi hasrat seksual tetap ada.

Semudah itukah? Ya, di atas kertas memang semudah itu. Namun, dibalik hingar bingar tersebut tentu ada ragam kajian sosiologis, etika dan syariat agama, antropologis, kesejahteraan sosial dan lain-lain, yang perlu menjadi perhatian, sehingga dapat ditarik manfaatnya.

Masalah Besar

Masalah prostitusi, dari kacamata agama bukanlah masalah sepele. Sebaliknya ini adalah pintu masuk ke dosa besar serta beragam kehancuran lainnya. Isu ini secara tidak langsung juga merupakan cermin peradaban masyarakat, yang ‘seakan-akan’, acuh tak acuh terhadap isu etika beragama.

Fenomena ini (yaitu terkait pelaku, pemesan jasa dan juga mediator) secara tidak langsung menguak tabir kualitas pendidikan dan pengasuhan keluarga di Indonesia. Mengapa, karena satu kasus yang terkuak ke publik ini, diyakini hanya merupakan puncak gunung es dari fenomena sebenarnya.

Perilaku anak di masa remaja akhir dan dewasa awal, secara tidak langsung adalah cerminan hasil pengasuhan sepanjang masa bayi, kanak-kanak dan remaja awalnya. Sehingga, jelas perlu dilakukan reorientasi dan redefinisi pola pengasuh dan pendidikan anak dan keluarga. Sekilas tampak berat, namun adalah sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan pondasi akhlak sekaligus benteng moral dari keseluruhan kondisi masyarakatnya.

Instalitasi rasa ketakwaan, yaitu kesadaran penuh untuk mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya, keliatannya masih jauh panggang dari api. Jika ditarik mundur, maka kondisi ini terjadi karena minimnya wawasan dan pemahaman ilmu Agama. Sehingga skema pendidikan Agama, menjadi wajib untuk ditinjau ulang, dan segera dilakukan langkah penyempurnaan, baik dari sisi materi ataupun metode penyampaiannya.

Orang tua

Orang tua dalam hal ini, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk memastikan anak-anaknya hidup dalam koridor aturan syariat (At Tahrim, 66/6). Sepanjang hidupnya, orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga, memastikan, memonitor dan mengevaluasi perilaku anaknya, termasuk pola belajarnya, jenis pekerjaanya, ragam aktivitasnya dll, sebagai upaya preventif agar tidak tercebur dalam limbah dosa. Wajib diperhatikan pola busana, skema pergaulan dan lingkar interaksi anak, untuk menghindari berkomunitas dengan kelompok yang mengajak ke arah hal negatif. Serta, tidak ketinggalan, orang tua juga punya amanah untuk mengajarkan anak-anak mereka menggunakan gadget dengan bijak dan bertanggung jawab. Hal ini mengingat bahwa gadget menawarkan sejuta hal baru, sehingga membuat yang ‘tidak terlibat’ menjadi ‘terlibat’, dan yang ‘tidak mau’ menjadi ‘mau’.

Para pendidik, seharusnya juga tertampar dengan kasus ini. Momen ini, merupakan masa evaluasi terbaik bagi penyempurnaan kurikulum. Seyogianya visi pembelajaran -perlu terus disempurnakan- dan dibangun untuk menghasilkan akhlak mulia dan perilaku bermartabat, alih-alih hanya fokus mengejar karir duniawi. Perlu terus disempurnakan literasi adab, etika dan moral secara kuat dan berkesinambungan, untuk menghasilkan lulusan kurikulum pendidikan PAUD hingga PT yang berakhlak mulia.

Bagi ekosistem masyarakat, kehadiran kasus ini adalah juga sebagai wahana introspeksi untuk menghasilkan pengawasan yang lebih melekat terkait hadirnya potensi penyakit masyarakat. Hal mengingat juga bahwa saat ini cakupan masyarakat semakin berkembang luas; yaitu tidak hanya citizen (warga negara nyata), namun juga netizen (masyarakat maya).

Intinya, perbuatan yang salah, buruk dan apalagi melanggar syariat, jangan sampai dianggap lumrah. Perlu dibangun kebencian dalam hati terhadap beragam pelanggaran tersebut. Dulang kebaikan terbaik dari kejadian ini, dengan menggencarkan pendidikan moral, menyempurnakan kurikulum dan mendorong partisipasi orang tua untuk terlibat dalam proses pendidikan adab bagi generasi muda bangsa. Raih maslahat terbaik dari kasus ini, dengan program peningkatan kapasistas orang tua dalam mengasuh dan membesarkan putra-putrinya, khususnya dalam menjauhi zina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,”Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk” (Al-Isra/17:32).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image