Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tyrza Almeira Laloan

Masyarakat Tionghoa Dilarang Membeli Tanah di Yogyakarta, Bagaimana Dampaknya?

Sejarah | 2023-11-29 15:02:33

Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Yogyakarta bahwa masyarakat etnis Tionghoa tidak diperbolehkan membeli aset tanah untuk dijadikan hak milik di kawasan Yogyakarta. Masyarakat etnis Tionghoa dan keturunannya hanya diperbolehkan memiliki hak pakai atau Hak Guna Bangunan (HBG) bagi tempat tinggalnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Adanya peraturan tertulis dan tidak tertulis mengenai kepemilikan tanah bagi nonpribumi tersebut tidak terjadi tanpa adanya peristiwa yang melatarbelakanginya. Dalam sejarah, terjadi pemerasan warga pribumi oleh etnis Tionghoa yang memeras warga pribumi melalui kerja sewa tanah dan pajak jalan hingga menyebabkan “Perang Jawa” pada tahun 1925 sampai dengan 1930. Peristiwa lain yang terjadi yakni pemberlakuan Politik Liberal 1870 yang menyebabkan perusahaan asing melakukan eksploitasi sumber daya alam petani pribumi. Akumulasi peristiwa yang terjadi menjadi dorongan kuat bagi pemegang kebijakan saat itu dalam mengemukakan kebijakan mengenai kepemilikan tanah bagi nonpribumi.

Pemerintah DIY yang memiliki kecintaan besar terhadap rakyat ingin menegakkan keadilan dan melindungi hak warga pribumi. Pada akhirnya, suatu ketetapan mengenai kepemilikan tanah di wilayah Yogyakarta berlaku semenjak dikeluarkannya Surat Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi oleh Paku Alam VIII. Surat Instruksi menyatakan bahwa warga negara nonpribumi meliputi Europeanen (orang Eropa) dan Vreemde Oosterlingen (orang Tionghoa, Arab, India, dan non-Eropa lain) hanya boleh diberikan hak guna tanah. Sampai saat ini, peraturan tersebut masih berlaku karena Daerah Istimewa Yogyakarta telah diberikan hak keistimewaan oleh negara yang tertulis secara yuridis pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Yogyakarta.

Sebagai provinsi dengan keistimewaan, Yogyakarta memiliki tiga bidang utama yang dapat diaturnya sendiri yakni bidang pemerintahan, bidang pertahanan, dan bidang kebudayaan. Berbeda dengan provinsi lainnya, Daerah Istimewa Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono sebagai gubernur dan Sri Paku Alam sebagai wakil gubernurnya yang kemudian menjadi pengambil keputusan mengenai daerah di bidang pemerintahan. Sistem hukum pertahanan Yogyakarta juga dapat dikatakan berbeda dengan daerah lainnya karena dikelompokkan pada tiga kelompok status tanah. Ketiga kelompok ini yakni tanah bekas Barat yang tunduk pada ketentuan hukum agraria nasional, tanah milik Kesultanan dan Pakualaman yang telah menjadi milik perorangan atau desa, dan tanah milik Kesultanan dan Pakualaman. Dari sini, Kesultanan dan Pakualaman memiliki wewenang dalam mengatur hak milik atas tanah di Yogyakarta.

Sejalan dengan anggapan yang kerap muncul di benak masyarakat bahwa ras atau etnis pendatang cenderung memiliki kemampuan finansial kuat dibandingkan masyarakat lokal, pemerintah Provinsi DIY menganggap adanya ketetapan ini sebagai bentuk affirmative policy dengan tujuan melindungi warga pribumi supaya kepemilikan tanahnya tidak dimiliki oleh warga atau pemilik modal yang kemampuan finansialnya lebih kuat. Keputusan ini bermakna bahwa kebijakan dibuat dengan tujuan meratakan peluang dan memastikan sumber daya, khususnya tanah, tetap terkendali oleh pemerintah dan masyarakat lokal sehingga tidak menimbulkan ketidakseimbangan ekonomi di Yogyakarta.

Meskipun ketetapan ini masih berlaku hingga saat ini, larangan masyarakat etnis Tionghoa atas hak milik tanah di Yogyakarta dinilai sebagai tindakan diskriminatif oleh sebagian kelompok masyarakat. Kebijakan dianggap diskriminatif karena terdapat pembedaan perlakuan bagi WNI etnis Tionghoa yang bertolak belakang dengan dasar negara Indonesia yang menjamin persamaan hak dan keadilan masyarakat. Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM juga telah mengidentifikasi adanya ketetapan ini sebagai kebijakan yang mendiskriminatif kelompok tertentu. Sayangnya, latar belakang historis yang ada menyebabkan permasalahan ini sulit diselesaikan meskipun sudah dilakukan berbagai upaya penentangan.

Apabila dilihat dari segi perekonomian, etnis Tionghoa menjadi pihak yang dirugikan atas adanya ketetapan ini karena adanya tantangan ekonomi yang cukup serius. Masyarakat Tionghoa secara general memiliki kecenderungan dalam menekuni bisnis di bidang perdagangan serta memiliki budaya dan etos kerja kuat untuk berdagang. Tantangan yang dimaksud yakni mengenai keberlanjutan usaha bagi bisnis perdagangan masyarakat Tionghoa yang tidak memiliki hak kepemilikan tanah karena tanah merupakan salah satu aset utama dari pengembangan bisnis berkelanjutan. Bisnis milik masyarakat Tionghoa cenderung akan kesulitan dalam melakukan perencanaan bisnis jangka panjang serta kesulitan dalam mendapat akses terhadap program pemerintah yang sekiranya memerlukan jaminan aset.

Akan tetapi, adanya tantangan serta keterbatasan yang ada tidak menjadi suatu hambatan besar bagi masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Sampai saat ini, sebagian masyarakat Tionghoa di Yogyakarta berhasil dapat mempertahankan bisnis yang dijalankan dan dinilai memiliki tingkat ekonomi yang cukup kuat. Kekuatan ekonomi ini menjadi bukti bahwa adaptabilitas, kreativitas, dan ketahanan ekonomi yang luar biasa dari etnis Tionghoa. Selain itu, adanya dukungan pemerintah pada aspek lainnya serta keterbukaan masyarakat lokal juga menjadi peluang bagi masyarakat Tionghoa untuk semakin mengembangkan bisnisnya meskipun tidak memiliki hak kepemilikan tanah.

Di sisi lain, apabila dilihat dari perspektif antropologis, ketetapan bahwa masyarakat etnis Tionghoa yang tidak diberikan hak kepemilikan tanah di Yogyakarta menggambarkan suatu kompleksitas dinamika sosial dan budaya. Sebagai kelompok etnis masyarakat, etnis Tionghoa pastinya memiliki tradisi turun temurun mengenai cara dan praktik kehidupan sehari-hari mereka, begitu pula dengan masyarakat lokal yang didominasi oleh keturunan suku Jawa. Terdapat perbedaan signifikan mengenai cara pandang kedua etnis dalam menjalani berbagai aktivitas di kehidupan bermasyarakat.

Terlepas dari latar belakang historis mengenai konflik antara dua etnis dan kebijakan mengenai kepemilikan tanah tersebut, saat ini hubungan harmonis antara kedua etnis di wilayah Yogyakarta tetap terjaga. Fenomena ini juga sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi yang semakin meningkatkan keterbukaan masyarakat terhadap perbedaan yang ada di tengah-tengah mereka. Sebagai contoh konkret, di Yogyakarta terdapat akulturasi budaya etnis Tionghoa dan Jawa di Kampung Ketandan Yogyakarta yang saat ini dijadikan salah satu destinasi wisata terkenal dan secara konsisten terus dikembangkan oleh pemerintah.

Di sisi lain, kesadaran masyarakat juga semakin berkembang sehingga masyarakat memahami bahwa adanya ketetapan mengenai kepemilikan tanah bukan semata-mata mengenai diskriminasi terhadap satu etnis atau konflik yang terjadi disebabkan oleh permasalahan ras. Lebih dari itu, ketetapan ini terbentuk karena adanya hasil kebijakan politik dan rangkaian kisah sejarah yang kompleks di masa lampau. Masyarakat etnis Tionghoa dan Jawa di Yogyakarta menunjukkan kemampuan untuk saling berdampingan dalam menjalani kehidupan, menghormati kebudayaan satu sama lain, dan melaksanakan aktivitas ekonomi bersama-sama.

Oleh Mallory Cessair - Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, <a href=https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=119585908" />
Oleh Mallory Cessair - Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=119585908

Seiring berjalannya waktu, keharmonisan dan keselarasan antara kedua etnis menjadi bukti nyata bahwa keragaman budaya dapat menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Keberagaman bukan menjadi suatu penghalang, tetapi menjadi bentuk peningkatan pemahaman dan toleransi antar masyarakat. Baik masyarakat Tionghoa maupun masyarakat lokal berhasil menciptakan lingkungan inklusif di tengah kebijakan yang berlaku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image