Kunci Kesuksesan adalah Usaha yang Tidak Melupakan Akhirat
Agama | 2023-11-28 22:29:05Ust. Abdul Basir adalah seorang ustadz dan tokoh penggerak masyarakat. Beliau bekerja sebagai wirausahawan dan menjadi pengasuh Majlis Ta’lim Al Anwar An Nur di Desa Podosugih-Kota Pekalongan. Ia adalah seorang yang giat bekerja dan suka membaca buku keagamaan saat waktu senggang. Sepanjang harinya ia isi dengan kegiatan yang bermanfaat dan hampir tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, karena ia mampu mengatur waktunya sebaik mungkin.
Mulai sehabis shubuh, ia bekerja membuat produk makanan dan menitipkan barang dagangannya ke penjual sarapan atau warung untuk dijual dan mengambil hasil dari penjualan saat siang dan sore tergantung jadwal tutup penjual tersebut. Makanan yang biasa dibuat antara lain : sate telur puyuh, telur asin, dan pisang rebus. Selain berjualan makanan, ia juga membuka usaha toko pecah belah dan warung sarapan dan jajanan pasar. Ia juga memiliki mitra bisnis dan mendapatkan bagi hasil 20% dari keuntungan penjualan sebagai pemilik modal usaha.
Mulai jam 5 sore, beliau mengajar Madrasah Diniyah sampai Maghrib, lalu dilanjutkan sholat dan mengaji kitab sampai isya’. Santrinya mulai anak-anak sampai lansia iku mengaji di Majlis Ta’lim Al Anwar An Nur sesuai dengan kemampuan mereka, ada yang mengaji di kelas iqra, Al Qur’an, kitab Pegon, tafsir, sampai kitab kuning.
Dibalik semua itu, ada sedikit kisah tentang masa kecil beliau yang penuh perjuangan. Ia lahir di tengah lingkungan perkotaan yang keras. Sejak kecil, ia sudah ditinggal oleh ayahnya, dan ibunya pergi bekerja seorang diri. Ia dan dua kakak perempuannya ditinggal di rumah tanpa diberi makanan. Jika lapar, ia pergi ke warung untuk mengutang beras, kadang diberi, kadang juga tidak, kalaupun diberi, ia hanya akan diambilkan beras saat semua pembeli sudah dilayani dan ia selalu berada di antrian terakhir walaupun ia yang pertama kali datang ke warung. Untuk memasak lauk, ia meminta pangkal sayuran yang sudah tidak terpakai pada penjual bakso keliling dan hanya dibumbui dengan garam. Jika tidak ada beras atau makanan yang didapat, kaki kecilnya ia langkahkan menyeberang jalan Pantura yang dipenuhi kendaraan besar seperti truk dan bus hanya untuk meminta sedikit bahan makanan di tempat ibunya bekerja walaupun seringkali ia pulang dengan tangan kosong. Jika sudah begitu, ia dan kedua kakaknya yang masih kecil hanya bisa merintih kelaparan dan menunggu malam tiba berharap ibunya pulang dengan membawa sedikit makanan. Ibunya yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga tentu saja tidak cukup membiayai ketiga anak-anaknya, hingga satu persatu barang-barang yang ada di rumahnya ia jual untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena tidak ada biaya untuk sekolah, ia hanya mengandalkan beasiswa dari peringkat 1 yang diperolehnya waktu SD.
Hingga akhirnya, setelah kelulusan SD ia memutuskan untuk mondok, ia ingin memperbaiki akhlak masyarakat di tempat kelahirannya berbekal ilmu pengetahuan yang ia dapatkan selama mondok. Di pondok pun hanya diberi uang saku saat masih awalan, selanjutnya ia mencari makan dan berusaha bertahan hidup sendiri tanpa dibiayai oleh orang tuanya. Setiap hari ia berjualan tahu di pondoknya, membeli tahu dari pasar yang jaraknya cukup jauh dan saat itu ia hanya berjalan kaki karena tidak mampu membeli sepeda. Selang beberapa waktu, pengasuh pondoknya menyadari hal itu dan melarangnya untuk berjualan lagi, lalu mengajaknya untuk menjadi abdi ndalem dan semua biaya hidupnya ditanggung oleh pengasuh pondoknya tersebut. Waktu berlalu begitu cepat, beliau lulus dari pondok pesantren dan meneruskan perjuangannya di kampung halaman bersama istrinya, Ustadzah Siti Zulfa Wajad.
Perjuangan yang sebenarnya baru dimulai, mereka membangun semua dari nol, hanya berbekal uang 10.000 untuk memulai usaha yang sudah berkembang dan terus bertambah sampai sekarang. Disamping itu, ia juga mengajak masyarakat sekitar untuk berwirausaha dengan diberi modal. Disamping bekerja, ia tak lupa dengan urusan akhirat, ia membangun sebuah Majlis Ta’lim walaupun saat itu ia belum mempunyai rumah dan masih menumpang di rumah orang lain. Majlis ta’lim tersebut ia bangun jauh sebelum ia lulus dari pondok pesantren, dan sekarang sudah berumur 21 tahun. Setelah lulus, ia diberi rezeki untuk membangun rumah dan masih digunakan untuk mengaji oleh masyarakat sekitar hingga sekarang. Majlis ta’lim tersebut tersebut terus berkembang hingga sekarang dan memberikan manfaat bagi sekitar.
Dari kisah diatas, dapat kita lihat bahwa usaha yang tidak melupakan akhirat akan berbuah manis dan bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Semua bisnis yang ia jalankan tak lepas dari usaha serta doa yang terus terpanjatkan. Sesibuk apapun, jangan pernah lupakan sholat dan mengaji, luangkan waktu walau hanya sebentar untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, maka jika kau menginginkan sesuatu, mintalah hanya kepada Allah. Allah lah sebaik-baiknya dzat yang maha pen
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.