Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahiduz Zaman

Mempengaruhi atau Memengaruhi? Sebuah Kajian Sosiolinguistik

Sastra | Sunday, 26 Nov 2023, 09:19 WIB

Urgensi Kesadaran Ejaan dalam Ranah Digital

Sosiolingustik. (Sumber gambar: Freepik/pikisuperstar)

Dalam era informasi yang serba digital dan cepat, kita sering kali melupakan pentingnya keakuratan dalam berbahasa, terutama dalam penulisan. Sebuah tabel yang lima tahun lalu saya analisis menunjukkan disparitas yang mencengangkan antara penggunaan kata-kata yang salah dan yang benar dalam Bahasa Indonesia. Kesalahan-kesalahan ini bukan sekadar kesalahan ketik, namun mencerminkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang telah ditetapkan.

Tabel hasil penelusuran melalui Google Search pada 26 November 2018. Catatan: hasil bisa berbeda setiap saat. (Dokumen pribadi)

Sosiologi linguistik, yang mempelajari penggunaan bahasa dalam konteks sosialnya, membantu kita memahami bahwa bahasa adalah lebih dari sekadar alat komunikasi; itu adalah simbol identitas dan sarana pengelompokan sosial. Penggunaan bahasa yang salah secara konsisten, seperti yang tergambar dalam tabel, tidak hanya mengurangi kejelasan komunikasi, tetapi juga memengaruhi persepsi tentang kredibilitas dan profesionalisme seseorang.

Penggunaan kata "mempengaruhi" yang salah sebanyak 48 juta kali dibandingkan dengan "memengaruhi" yang benar sebanyak 4,69 juta kali menunjukkan adanya kesalahan yang berulang. Ini bukanlah semata-mata soal preferensi estetika ejaan, melainkan kesesuaian dengan PUEBI yang merupakan panduan resmi yang mengatur tata bahasa kita. Mengabaikan pedoman ini secara tidak langsung menunjukkan resistensi terhadap standardisasi bahasa yang esensial untuk pemahaman bersama.

Lebih lanjut, ketika kita mempertimbangkan kata "silahkan" yang digunakan secara salah sebanyak 251 juta kali, berbanding "silakan" yang benar digunakan 125 juta kali, kita melihat bagaimana kesalahan berulang dapat menanamkan kebiasaan yang sulit diubah. Kebiasaan ini mencerminkan kesalahan berbahasa yang telah mengakar dan seringkali terjadi tanpa disadari oleh penuturnya.

Dalam ranah digital yang mengutamakan kecepatan, seringkali ketepatan ejaan dianggap sebagai hal yang dapat dikompromikan. Namun, dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengikis kualitas bahasa dan memudarkan batasan antara yang benar dan yang salah. Media siber, sebagai salah satu pemain utama dalam penyebaran informasi, memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Ini bukan hanya soal menjaga norma bahasa, tetapi juga memelihara kekayaan budaya dan intelektual bangsa.

Pemeliharaan bahasa nasional merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap warisan budaya dan kecerdasan kolektif. Kesalahan yang tampak sepele dalam ejaan dapat berakibat pada pengikisan pemahaman akan bahasa itu sendiri, yang pada gilirannya, mengaburkan identitas nasional. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita semua, terutama para penutur muda yang sering berinteraksi dalam ranah digital, untuk membangun kesadaran akan pentingnya mengikuti pedoman ejaan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, koreksi ejaan bukan hanya soal teknis atau akademis, melainkan juga soal kepedulian terhadap integritas dan keberlangsungan bahasa Indonesia. Kita harus bergerak dari sekadar penggunaan bahasa yang pragmatis menuju penggunaan bahasa yang reflektif dan berprinsip, di mana setiap kata yang kita tulis adalah representasi dari penghormatan kita terhadap budaya dan ilmu pengetahuan.

Dampak Sosial Kesalahan Ejaan dan Peran Media Siber

Kesadaran linguistik dalam masyarakat modern tidak terlepas dari pengaruh media, khususnya media siber yang telah menjadi medium komunikasi utama. Dari data yang tergambar dalam tabel yang dianalisis, terlihat bahwa kesalahan ejaan bukan sekadar fenomena bahasa, melainkan sudah menjadi isu sosial yang memengaruhi literasi bahasa dalam masyarakat. Misalnya, ketika "praktek" digunakan secara salah sebanyak 17,8 juta kali berbanding dengan "praktik" yang benar sebanyak 30,7 juta kali, kita dihadapkan pada realitas bahwa bahkan kata-kata yang sering digunakan pun masih rentan terhadap kesalahan.

Kesalahan-kesalahan ini tidak hanya mencerminkan kurangnya pengetahuan akan PUEBI, tetapi juga menunjukkan kurangnya kesadaran sosial terhadap pentingnya menjaga kelestarian bahasa. Media siber sebagai agen sosialisasi bahasa memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat. Media siber dapat menjadi sumber pembelajaran yang efektif jika konten yang disediakan mengikuti standar ejaan yang benar dan konsisten.

Dalam konteks sosiolinguistik, bahasa adalah cerminan dari identitas sosial komunitasnya. Ketika penggunaan bahasa yang salah menjadi endemik, hal ini dapat merusak identitas tersebut. Penyebaran kesalahan ejaan melalui media siber tidak hanya memperburuk kualitas bahasa tetapi juga dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap norma bahasa yang dianggap dapat diterima. Jika hal ini dibiarkan, generasi mendatang mungkin akan mengalami kesulitan membedakan antara ejaan yang benar dan salah, yang pada akhirnya dapat mengubah struktur bahasa itu sendiri.

Masalah ini juga terkait erat dengan isu aksesibilitas dan pendidikan. Masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap pendidikan formal mungkin lebih rentan terhadap penggunaan ejaan yang salah. Oleh karena itu, media siber harus mengambil inisiatif untuk tidak hanya menjadi jembatan informasi tetapi juga sebagai alat pendidikan bahasa yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Pembahasan mengenai ejaan yang salah pada kata-kata seperti "obyek" dan "objek" atau "dimana" dan "di mana" tidak hanya relevan dalam konteks akademis, tetapi juga dalam penggunaan sehari-hari. Setiap kesalahan yang direproduksi secara massal melalui media siber memiliki potensi untuk mengubah pola bahasa yang dianggap normatif. Akibatnya, bisa muncul kesenjangan bahasa antara generasi yang lebih tua, yang mungkin lebih terikat pada aturan ejaan yang tradisional, dengan generasi muda yang terbiasa dengan variasi ejaan yang lebih luwes.

Dalam menanggapi masalah ini, diperlukan pendekatan multi-faset yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, dan media siber. Program-program edukasi dan kampanye kesadaran bahasa harus digalakkan untuk memperbaiki keadaan. Penggunaan aplikasi koreksi otomatis ejaan dalam platform digital juga dapat membantu, namun tidak cukup tanpa kesadaran dan keinginan untuk menggunakan bahasa dengan benar.

Sebagai penulis opini di media siber, saya melihat urgensi untuk mendorong diskusi mengenai kesadaran ejaan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial. Hal ini bukan hanya tentang kesalahan pada lembaran tabel, tetapi tentang bagaimana kita sebagai masyarakat memandang pentingnya keakuratan dalam berbahasa, sebagai warisan yang harus kita jaga dan kembangkan.

Menyikapi Kesalahan Ejaan sebagai Peluang Pendidikan

Kesalahan ejaan yang marak dan terdokumentasi dalam tabel yang telah saya analisis menawarkan lebih dari sekadar pandangan atas realitas linguistik saat ini; mereka memberikan peluang emas untuk pendidikan dan pengembangan kesadaran bahasa. Saat kita menyaksikan kata seperti "analisis" yang benar digunakan 29,2 juta kali berbanding dengan 328 juta penggunaan "analisa" yang salah, kita dituntut untuk merenungkan tentang strategi pendidikan bahasa kita dan bagaimana media siber dapat menjadi alat yang efektif untuk memperbaiki situasi.

Sosiologi linguistik mengajarkan kita bahwa bahasa dan masyarakat saling memengaruhi. Kesalahan ejaan yang berulang dalam media siber mencerminkan dan pada saat yang sama membentuk norma-norma linguistik yang diadopsi oleh masyarakat. Maka, penanganan isu ini bukan hanya perlu, tetapi mendesak. Pendekatan yang komprehensif, melibatkan pendidikan formal, media massa, dan kebijakan pemerintah, dapat menjadi kunci dalam membangun kesadaran dan kompetensi linguistik.

Dari perspektif pendidikan, kurikulum sekolah harus menekankan pentingnya menguasai PUEBI dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran Bahasa Indonesia tidak boleh hanya fokus pada literatur dan retorika, tetapi juga harus memasukkan praktik ejaan yang benar sebagai fondasi komunikasi yang efektif. Guru-guru harus dibekali dengan sumber daya dan pelatihan untuk mengidentifikasi dan mengoreksi kesalahan ejaan dengan metode yang konstruktif dan menarik.

Media siber memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengejar kecepatan dan sensasi tetapi juga untuk memastikan bahwa konten yang disajikan adalah linguistik yang akurat. Mereka harus berperan sebagai model dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar, mengingat pengaruhnya yang luas terhadap pembaca dari berbagai latar belakang dan usia. Fitur koreksi otomatis dan editorial yang ketat harus menjadi norma, bukan pengecualian, dalam praktik penerbitan digital.

Kebijakan pemerintah juga harus mendukung inisiatif ini melalui pengaturan dan insentif bagi media yang menerapkan standar bahasa yang tinggi. Kampanye kesadaran bahasa bisa dilaksanakan melalui berbagai platform, menjangkau masyarakat luas untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya ejaan yang benar. Ini bisa dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, acara pendidikan, dan kolaborasi dengan influencer yang dapat menarik perhatian khususnya generasi muda.

Menghadapi tantangan ini juga memerlukan perubahan sikap dari masyarakat. Kita harus menghargai bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai penanda identitas dan kebudayaan. Dalam hal ini, setiap individu memiliki peran; setiap kali kita memilih untuk menulis dengan benar, kita berkontribusi pada pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia.

Terakhir, kita harus mengakui bahwa bahasa adalah entitas yang hidup dan selalu berkembang. Perubahan dan adaptasi adalah bagian alami dari evolusi bahasa, tetapi kita harus memastikan bahwa perubahan tersebut tidak mengorbankan kejelasan atau mengakibatkan kehilangan ciri khas linguistik yang telah lama berdiri. Melalui pendidikan yang berkelanjutan, penggunaan media yang bertanggung jawab, dan kebijakan yang mendukung, kita dapat mengubah tren kesalahan ejaan ini menjadi peluang untuk menguatkan bahasa Indonesia di era global.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image