Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

Sepatu Bu Herni

Eduaksi | Saturday, 25 Nov 2023, 12:16 WIB
Sumber gambar: https://pin.it/3o3e69o

Suatu kali Bu Herni, guru BK saya di kelas X, bertanya “Saiful, ukuran sepatumu berapa?” Saya diam sejenak. Heran. Lalu berpikir; ada urusan apa seorang guru BK menanyakan ukuran sepatu? “Ful?” Bu Herni memanggil lagi. “41”, jawab saya.

Saya tak tahu mengapa tiba-tiba beliau menanyakan itu. Namun satu hal yang pasti, sebulan setelah kejadian itu sekolah memberi saya sepatu baru dengan ukuran 41.

Kisah itu masih terngiang di kepala saya sampai hari ini. Tahun demi tahun berlalu namun memori itu masih menetap, tak sedikit pun lenyap.

John Dewey, orang yang dijuluki “Bapak Modern Experiental Pendidikan Modern”, mencetuskan sebuah teori yang secara khusus menyoroti pengalamanan pendidikan. Menurutnya pengalaman pendidikan yang kuat adalah hasil dari kontinuitas dan interaksi. Kontinuitas mengacu pada pengalaman yang mempengaruhi masa depan. Sedangkan interaksi mengacu pada situasi saat pengalaman itu terjadi.

Sejak lulus kuliah pada 2019 awal, saya tak pernah bergelut di bidang pekerjaan lain kecuali di bidang pendidikan (menjadi pengajar/guru). Ketika takdir memutuskan saya menjadi seorang guru, yang pertama muncul di benak saya adalah sosok Bu Herni. Saya selalu berusaha menjadi seperti beliau; sabar, perhatian, dan penuh kasih.

Saya berusaha memberi pengalaman baik untuk siswa-siswi saya. Saya selalu berusaha mengayomi dan mengasihi, tanpa kecuali. Bu Herni telah melakukan apa yang dicetuskan oleh John Dewey yakni kontinuitas dan interaksi pendidikan.

Istilah kontinuitas dan interaksi pendidikan John Dewey tak beda dengan konsep “ngopeni”. “Ngopeni” (bahasa Jawa) dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan mendidik dengan kasih sayang.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mengatakan bahwa tugas guru/pendidik adalah menuntun siswa agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Guru ibarat petani yang merawat bunga dalam sebuah taman. Di taman tersebut tumbuh banyak bunga dengan rupa berbeda-beda. Tugas petani adalah “ngopeni” bunga-bunga tersebut agar terus tumbuh dan mekar sesuai karakter masing-masing.

Ngomong-ngomong tentang “ngopeni” saya punya pengalaman menarik ketika menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saat itu saya dan kawan-kawan setim mengajar di salah satu Sekolah Dasar (SD). Di SD tersebut ada seorang anak yang tak mau masuk kelas. Wajahnya murung seperti orang kertakutan. Kami mencoba membujuknya masuk namun hasilnya nihil.

Seorang kawan saya mendekati anak itu, menggendongnya lalu mengajaknya bermain di luar kelas. Hal itu dilakukannya berhari-hari. Lambat laun rona wajah anak itu berubah menjadi ceria. Usut punya usut ternyata anak tersebut trauma dengan keramaian. “Dia trauma dengan keramaian,” kata teman saya. Setelah seminggu berlalu anak tersebut berkenan masuk kelas dan sikapnya lambat laun berubah menjadi ceria.

Bagi saya itulah yang dimaksud “ngopeni”. Di dalamnya ada ketulusan, kesabaran, dan kasih sayang.

Ingatan manusia itu seperti kertas, kata Gunawan Muhammad. Tipis, ringan, mudah tersapu angin. Manusia hanya dapat mengingat hal-hal penting yang terjadi dalam hidupnya. Tugas seorang guru adalah memberi memori baik, “ngopeni”, dan memastikan siswa-siswinya memiliki harapan. Saya yakin anak SD tadi tak akan melupakan orang yang membuatnya lepas dari trauma. Seperti halnya saya yang tak akan pernah melupakan Bu Herni.
Daftar Pustaka

Dewantara, Ki Hadjar, 1954. Masalah Kebudayaan. Pertjetakan Taman Siswa,
Jogjakarta.
--------------------------, 1962. Karja I (Pendidikan). Pertjetakan Taman Siswa,
Jogjakarta.
Sumber internet:
https://www.kompasiana.com/birgitta56828/6144c64306310e3b922c0472/teori-pendidikan-melalui-pengalaman-menurut-john-dewey

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image