Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lulu Nugroho

Senandung Pilu Manusia Perahu

Kabar | 2023-11-24 06:29:57

Gelombang kapal kayu masing-masing membawa ratusan imigran pengungsi Rohingya mendarat di sejumlah pantai Provinsi Aceh sepanjang dua pekan terakhir November ini.

Diberitakan Antara, dalam kurun waktu dua pekan terakhir, Aceh sudah didatangi enam gelombang pengungsi Rohingya hingga Rabu (22/11). Tiga kapal di wilayah Kabupaten Pidie, satu di Bireuen dan satu di Aceh Timur, dan hari ini di Kota Sabang. Totalnya lebih kurang mencapai 1.071 orang.

Para pengungsi Rohingya akhirnya berlabuh di Indonesia. Setelah menambatkan sauhnya, mereka dapat tidur dengan nyenyak menatap langit khatulistiwa.

Rezim Hasina di Bangladesh tidak memperlakukan mereka sebagai layaknya manusia, maka mereka lari menuju tempat lain yang dianggap aman, yakni tanah berhias zamrut khatulistiwa. Rata-rata waktu perjalanan mereka di laut bebas antara 27-29 hari. Mungkin itu sebabnya mereka dijuluki sebagai manusia perahu.

Namun apa daya warga setempat di Aceh, tidak serta merta menerima mereka. Sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya, para pengungsi justru berulah di bumi rencong.

Bahkan diduga beberapa dari mereka terlibat kriminal, yakni dalam kasus perdagangan orang. Mereka pun membuang makanan, bahan bantuan dan sembako, ke laut. Membuat putus harapan, patah pucuk penduduk setempat yang membantu.

Tidak mudah memang bagi empunya rumah, menerima banyak tamu pada satu saat tanpa persiapan yang memadai. Mereka memerlukan banyak perangkat untuk memenuhi kebutuhan jasmani (hajatul udhwiyah).

Perlu kekuatan negara untuk mengelola urusan mereka. Indonesia terikat dengan prinsip non refoulement pada Konvensi Pengungsi 1951. Prinsip tersebut tidak mengirim balik pengungsi ke negara semula apabila hal tersebut membahayakan keselamatan mereka. Ini sudah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law).

Pun terdapat banyak dukungan ormas-ormas pemerhati pengungsi dan badan PBB seperti UNHCR dan IOM, membuat para manusia perahu hampir selalu dikelola secara manusiawi.

Namun itu belum cukup, sebab mereka tidak memiliki status kewarganegaraan (statelessness). Tidak ada negara yang bertanggung jawab terhadap penghidupan mereka. Wajar jika akhirnya nasib mereka terkatung-katung, tak tentu arah. Mereka tidak dapat mencari nafkah, menghidupi keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, mendapatkan layanan kesehatan, mengembangkan diri dan turut serta dalam berbagai aktivitas membangun negeri.

Maka kaum muslim perlu memiliki institusi negara, yang akan mengakomodir seluruh kebutuhan hidup mereka (raa'in), sehingga mereka dapat mendedikasikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Pun sekaligus menjadi pelindung (junnah), agar tidak ada kekuatan kufur yang akan mengintimidasi mereka karena keislamannya. Dengan persatuan umat Islam, dalam kepemimpinan yang satu, maka tidak akan ada lagi warga yang nelangsa mencari suaka. Allahumma ahyaana bil islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image