Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Setelah Boikot Produk, Mungkinkah Boikot Ide Nasionalisme?

Gaya Hidup | 2023-11-20 17:17:40

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023, berisi tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Dalam Fatwa ini tertuang bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel hukumnya wajib. Sebaliknya, mendukung Israel dan mendukung produk yang dukung Israel hukumnya haram.

Fatwa tersebut juga merekomendasikan agar pemerintah mengambil langkah-langkah tegas membantu perjuangan Palestina. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh menegaskan, mendukung agresi Israel baik secara langsung maupun tidak langsung seperti membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung Israel haram hukumnya (cnbcindonesia, 11/11/2023).

Pasca keluarnya fatwa itu memang ada pro dan kontra di masyarakat, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Muti Arintawati menyatakan bahwa membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel ke Palestina hukumnya haram. Sedangkan produk-produk makanan dan minuman yang sudah bersertifikat halal tetap halal dan tidak haram untuk dikonsumsi. Kalau secara zatnya atau produknya, perubahan halal menjadi haram terjadi jika ada penggunaan bahan haram atau ada kontaminasi dari fasilitas atau lingkungan yang menyebabkan masuknya bahan haram ke produknya.

“Sepemahaman saya, fatwa MUI tidak mengharamkan produknya tapi mengharamkan perbuatan yang mendukung Israel,” kata Muti. Hal senada disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda. Dia menyatakan bahwa yang diharamkan MUI itu bukan produknya atau zatnya. “Produknya itu tetap halal selama masih memenuhi kriteria kehalalan. Tapi, yang diharamkan itu aktivitasnya, perbuatannya,” ucapnya (detikNews.com, 11/11/2023).


Masyarakat Yang Mundur Pemikirannya Gagal Paham Akar Persoalan

Untuk perkara boikot saja secara makna masih menimbulkan pergesekan, bahkan ada cuitan miring “bagaimana nasib para pegawainya yang bukan warga Israel ketika toko dimana ia kerja sepi, barangnya kebanyakan kena boikot”, “apakah ada pengaruhnya?”, “ urusan negara sendiei saja sudah ruwet mengapa harus mikirin urusan negara lain?” dan masih banyak lagi. Inilah gambaran betapa dangkalnya pemikiran politik umat.

Terutama pembelaannya terhadap Islam dan sesama muslim. Padahal penjajahan Israel atas Palestina berlarut-berlarut karena tak ada kekuatan besar umat Islam yang mampu mengusir penjajah. Para pemimpin muslim hari ini hanya pandai mengecam sementara tangan mereka masih enggan melepas genggamannya bersama Israel.


Arab Saudi yang dianggap sebagai pemimpin de fakto dunia muslim bersama tetangganya Uni Emirat Arab menjadi bagian dari negara-negara yang memblokir proposal yang diajukan Aljazair untuk memutuskan semua hibungan dengan Israel dalam pertemuan KTT Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, 11 November lalu.

Proposal yang diajukan Aljazair itu bertujuan memutus semua hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Tel Aviv serta menolak wilayah udara Arab untuk penerbangan Israel . Selain Arab Saudi dan Uni Emirates Arab, negara lain yang menolak memutus hubungan dengan Israel adalah Yordania, Mesir, Bahrain, Sudan, Maroko, Mauritania dan Djibouti. Alasannya adalah perlunya menjaga saluran komunikasi dengan perwakilan Israel di tengah krisis yang sedang berlangsung. “Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina. Jalan kedepan untuk mengakhir konflik ini adalah gencatan senjata segera dilakukan,” ungkap Mohammed Bin Salman (Viva .co.id, 15/11/2023).

Mengapa membatunya hati mereka, padahal Israel bukan negara dan jumlahnya pun sedikit, dengan pengerahan tentara militer negeri-negeri muslim di sekitar Palestina saja sudah habis. Apalagi, persenjataan tentara kaum muslim mampu menggetarkan dunia saking mutakhirnya. Semua karena ide nasionalisme atau negara bangsa (nation state) yang sudah berakar di negeri muslim. Selain itu cinta kekuasaan menghalangi penguasa negeri muslim untuk melawan ketidak adilan dunia. Apalagi mereka juga tersandera ‘utang’ Barat.

Inilah yang disebut sebagai penjajahan gaya baru, bukan dengan senjata, tapi dengan sejumlah proyek investasi dan pinjaman luar negeri. Modernitas ala kapitalisme memang berbayar mahal, salah satu dan utama adalah hilangnya kedaulatan sebagai negara mandiri. Indonesia dengan politik bebas aktifnya pun bak macan ompong ketika bertemu dengan kafir pengusung kapitalisme seperti AS.


Islam Kekuatan Muslim Hakiki Melawan Penjajahan

Nasionalisme memang bukan ide baru, berawal dari Imperium Inggris yang ingin menghabisi kekuasaan Daulah Khilafah Ustmani, melalui penasehat politiknya Snough Horgonje, yang menyebutkan jika ingin mematikan Islam maka, pecah belahlah perisainya, yaitu khilafah dan jadikan negara-negara kecil. Maka, setelah PD I kemenangan di pihak Sekutu dengan Inggris sebagai pemimpinnya, membagi wilayah pihak yang kalah perang termasuk Daulah dengan penandatangan perjanjian Skyes Picot.


Sejak itulah, setiap negara baru diberi hari kemerdekaan baru, bendera hingga batasan negaranya. Setiap pemimpin yang diangkat di dalamnya wajib tunjuk dengan penjajah. Jika tidak maka akan diganti yang lain dengan berbagai cara, mulai pembunuhan hingga kudeta settingan. Maka, sudah seharusnya umat memahami penyebab mendasar diamnya penguasa muslim. Sekaligus umat harus berani menyerukan untuk memboikot ide-ide yang membelenggu dalam mewujudkan kemerdekaan palestina dan meewujudkan persatuan umat. Yaitu nasionalisme dan bukan hanya boikot produknya.

Apalagi setelah nampak pengaruh dari boikot produk, dimana diberitakan Israel menderita kerugian, baik secara media sosial maupun anggaran negara. Perang justru semakin membuat keuangan Israel amburadul, di luar perkiraan, perang yang dianggap enteng ternyata tak mampu menyentuh pejuang Hamas samasekali. Nasionalisme tumbuh subur di alam demokrasi, sebab demokrasi asasnya sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga aturan yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan individu umat adalah hukum manusia.


Umat Islam wajib menjadikan Islam sebagai ideologi yang memimpin cara berpikir mereka apalagi para penguasa muslim dan membuang semua pemikiran asing. Sebagaimana firman Allah swt.yang artinya,“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (TQS. At Taubah : 31).


Adi bin Hatim Ath Thoo-i radhiyallahu ‘anhu lantas bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat membacakan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian beliau berkata : “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beribadah kepada mereka”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yang Allah haramkan sehingga kalianpun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan sehingga kalian mengharamkannya?”. Beliau (Adi bin Hatim) berkata : “Benar”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Itulah (yang dimaksud) beribadah kepada mereka.”


Inilah yang mendorong wajibnya uma Islam bersatu dalam naungan Khilafah Islamiyah, yang akan menjaga umat dari serangan dan penjajahan orang kafir dan menjadikan hanya aturan Allah swt. sebagai hukum satu-satunya. Dimana Islam akan melahirkan pemimpin yang bertakwa, takut hanya kepada Allah bukan manusia. Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image