Analisis Kualitas Terjemahan Kalimat Bahasa Arab
Eduaksi | 2022-01-02 21:50:07Analisis dan penilaian kalimat bahasa Arab yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dinilai dari segi ketepatan (yaitu dengan melihat sejauh mana pesan itu tersampaikan), segi kejelasan (yaitu melihat struktur kalimat, pemilihan diksi, pemakaian ejaan serta efektifitas kalimat yang sesuai dengan padanan pada bahasa sasaran), serta segi kewajaran dengan memberikan solusi terjemahan yang tepat.
Berikut ini analisis mengenai hasil terjemahan ayat Al-Quran, hadits Nabi dan perkataan ulama yang dikutip dari beberapa artikel.
1. Dikutip dari artikel Republika yang berjudul “7 ayat Al-Quran yang menguatkan adanya siksa kubur.” Surah Al Hijr ayat 74:
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Maka Kami jungkir balikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.”
Ayat ini dikutip oleh penulis sebagai penjelas bahwa adanya siksa atau azab yang nyata dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun dalam konstruksi ayat keseluruhan frase ini berkedudukan sebagai pengingat bagi umat manusia atas tanda-tanda kekuasaan Allah sebagaimana diperjelas di ayat setelahnya (Al Hijr ayat 75).
Kalimat" " فَجَعَلْنَا dapat dialihkan menjadi “Maka Kami jadikan”. Kemudian kalimat yang efektif dalam mengalihkan frase tersebut yaitu “Maka Kami jadikan negeri mereka terbalik,” walaupun terjemahan ayat ini sudah cukup baik dari segi ketepatan, kejelasan, dan kewajaran.
Kemudian pada terjemah ayat ini terdapat kalimat yang sebenarnya sudah benar dan wajar, namun penganalisis berpendapat terjemahan pada kalimat "عَالِيَهَا سَافِلَهَا" dapat diganti dengan “bagian atas kota itu terbalik ke bawah”.
Di sisi lain terjemahan pada ayat tersebut juga terdapat kekurang tepatan dengan tidak memberikan tanda kurung ( ), sebagaimana kita tahu arti kata "حجارة" adalah “batu” dan dalam ayat tersebut kata ini berkedudukan sebagai tamyiz, maka diterjemahkan “dengan batu”. Sehingga pengalihan yang tepat untuk kata “dengan” pada terjemah kalimat tersebut sebaiknya menggunakan tanda kurung yaitu “(dengan) batu” untuk lebih mudah memahami kedudukan kata tersebut dalam ilmu nahwu.
Analisis lainnya penganalisis melihat kalimat yang maknanya belum cukup dipahami yaitu kalimat "مِّن سِجِّيلٍ"yang diterjemahkan “dari tanah yang keras”, kemudian penganalisis menemukan makna kata (مِّن سِجِّيلٍ) yaitu tanah yang dibakar di neraka.
Tafsir ringkas Kementerian Agama RI surat Al-Hijr ayat 74:
Seiring datangnya suara keras yang mengguntur itu maka Kami jungkir balikan kota sodom dan gomoroh yang menjadi tempat tinggal kaum nabi Lut. Dan selain itu, Kami juga hujani mereka secara bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang keras sehingga mereka hancur dan binasa. Sungguh pada demikian itu, yaitu berita-berita dan kisah-kisah yang Allah sampaikan, benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran, keagungan, dan kekuasaan Allah bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda yang diperlihatkan dan dihamparkan di alam semesta ini.
2. Dikutip dari artikel Republika yang berjudul “Kriteria mukmin sukses dalam perspektif Al-Quran dan Sunnah.”
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهاَدَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ وَإِيْتاَءِ الزَّكَاةِ وَصَومِ رَمَضَانَ وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلأ
Islam dibangun di atas lima perkara, (yaitu) syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu.
Dalam penerjemahan hadits ini penganalisis melihat hasil terjemahan memiliki kekurang tepatan dalam menggunakan tanda baca. Seharusnya pada terjemahan hadits ini menggunakan tanda baca titik dua ( : ) yang berfungsi untuk menjelaskan sebuah pernyataan. Sehingga pengalihan yang tepat pada terjemahan ini adalah “Islam dibangun atas lima perkara, yaitu:”.
Kekurang tepatan yang lain ditemukan pada pemilihan terjemah kata شَهاَدَةِ yang diterjemahkan “syahadat” sebagaimana membacanya dalam kalimat bahasa Arab, penganalisis berpendapat untuk kata شَهاَدَةِ ini diterjemahkan dengan kata “Bersaksi”. Sebagaimana asal katanya yaitu شَهِدَ- يَشْهَدُ- شَهاَدَة yang artinya bersaksi. Kemudian pemilihan kata terjemah pada kata “Rabb” bisa diterjemahkan dengan kata “Tuhan”.
Penganalisis menemukan penggunaan kalimat dalam mengalihkan klausa وَإِقاَمِ الصَّلاَةِ artinya “menegakkan shalat” yang bisa juga menggunakan arti “mendirikan shalat”, dan juga pada kalimat وَإِيْتاَءِ الزَّكَاةِ artinya “dan menunaikan zakat” bisa diartikan “dan membayar zakat”. Kemudian kalimat وَصَومِ رَمَضَانَ “dan puasa Ramadhan” pada terjemahan ini lebih efektif ditambahkan kata “di bulan” yaitu menjadi “dan puasa di bulan Ramadhan”.
Menurut penganalisis terjemahan di setiap kalimat tersebut sudah baik dan pesan yang ingin disampaikan pun telah tersampaikan, namun penganalisis berpendapat dan menemukan terjemah yang berbeda, walaupun antara kedua terjemah tersebut sama dalam segi makna dan penafsiran.
Kemudian ada kesalahan yang penganalisis temukan yaitu penggunaan kalimat yang kurang efektif dalam mengalihkan klausa وَحَجِّ البَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلأ “haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”. Pengalihan kalimat ini sebaiknya dapat lebih diefektifkan dengan syarat pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan dan tidak menyalahi kaidah tata bahasa yang ada pada bahasa sasaran. Dengan hanya mengalihkan klausa ini menjadi “dan pergi haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu” atau “dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”, penganalisis rasa lebih tepat dan telah menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh teks sumber.
3. Dikutip dari artikel Republika yang berjudul “Pesan Ibnu Athaillah Jangan Mudah Terima Pemberian.”
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan dua syarat dalam menerima pemberian dari orang lain. Ibnu Athaillah berkata sebagai berikut:
لا تَمُدَّنَ يَدَكَ إلى الأخْذِ مِنَ الخَلائِقِ، إلّا أنْ تَرى أنَّ المُعْطِيَ فِيهِمْ مَوْلاكَ. فإنْ كُنْتَ كَذلِكَ فَخُذْ ما وافَقَ العِلْمَ
“Jangan pernah kau tengadahkan tanganmu untuk meminta sesuatu kepada para makhluk, kecuali kamu mengetahui bahwa yang memberikan segalanya adalah Allah ta’ala. Lantas jika kamu sudah mengetahui seperti itu, ambil saja sesuatu yang memang telah sesuai dengan ketentuan syariat.”
Ibnu ‘Athaillah dalam untaian hikmah yang ditulisnya dalam kitab al-Hikam, menasehati agar berhati-hati dalam menerima pemberian, apalagi bagi orang yang ingin menyucikan hati dan jiwa.
Terjemahan kalam Ibnu ‘Athaillah ini sudah tepat dan jelas, namun ada beberapa terjemah kalimat yang bisa diubah agar lebih efektif. Seperti kalimat لا تَمُدَّنَ يَدَكَ إلى الأخْذِ “Jangan pernah kau tengadahkan tanganmu untuk meminta sesuatu” dapat dialihkan menjadi “Janganlah kamu mengulurkan tanganmu untuk mengambil pemberian”, disini ada perbedaan dalam memilih kalimat terjemahan. Keduanya memiliki makna dan penafsiran yang sama, juga dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dalam kalam tersebut.
Analisis lainnya dalam pemilihan diksi terjemahan kata تَرى “mengetahui” menurut penganalisis, diksi yang dipilih kurang tepat, dan yang lebih tepat yaitu “menganggap”. Kemudian kata “segalanya” diterjemahkan lebih khusus yaitu “pemberian tersebut.” Dan lafadz “Allah” dapat dialihkan menjadi “Tuhanmu”. Sehingga pengalihan dalam klausa ini menjadi “kecuali kamu menganggap bahwa yang memberikan pemberian tersebut adalah Tuhanmu”.
Kemudian terjemahan pada kalimat yang terakhir فإنْ كُنْتَ كَذلِكَ فَخُذْ ما وافَقَ العِلْمَ “Lantas jika kamu sudah mengetahui seperti itu, ambil saja sesuatu yang memang telah sesuai dengan ketentuan syariat” dapat dipersingkat dan dialihkan menjadi “Jika demikian, maka ambillah sesuai dengan ilmunya” atau “Jika demikian, maka ambillah sesuai dengan apa yang kamu ketahui” yang terpenting pesan dalam kalam tersebut dapat tersampaikan dengan baik.
Jadi, dua syarat dalam menerima pemberian orang lain menurut Ibnu Athaillah yaitu pertama, jika kau menganggap bahwa yang memberi pemberian tersebut adalah Tuhanmu. Artinya, mereka hanyalah perantara sedangkan sesungguhnya yang memberi adalah Allah. Kedua, jika sudah menganggap bahwa pemberian tersebut dari Allah, maka ambillah sesuai dengan ilmunya. Maksudnya, jangan kau ambil, kecuali yang sesuai dengan ilmu untuk mengambilnya.
Adapun ilmu dalam mengambil pemberian dari orang lain ada dua yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Ilmu lahir adalah tidak boleh mengambil kecuali dari tangan seorang mukallaf yang matang dan bersih. Sedangkan contoh ilmu batin yakni mengambil yang diberi atas dasar bantuan semata atau yang dibutuhkan saja untuk digunakan dalam kebutuhan tanpa berlebihan dan kekurangan.
Ibnu Athaillah menerangkan sikap itulah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menerima pemberian yang berupa sandang, pangan, dan papan. Ibnu Athaillah berkata, “Jangan kau ambil apa pun yang datang kepadamu sebelum waktunya dan yang melebihi kebutuhanmu”.
4. Dikutip dari artikel republika yang berjudul “Alasan Mengapa Kita Perlu Abaikan Perkara Tak Penting?”
Syekh Muhammad Al Ghazali, rahimahullah, pernah mengatakan :
الغباء نقص والتغابي كمال ، والغفلة ضياع والتغافل حكمة
“Bodoh itu kekurangan, tapi ‘bersikap’ bodoh (mengabaikan) adalah kesempurnaan. Lengah itu kehilangan, tapi ‘bersikap’ lengah (mengabaikan) adalah kebijaksanaan.”
Pada terjemahan perkataan Imam Al Ghazali diatas ditemukan tanda baca pada dua kata ‘bersikap’ menurut penganalisa sebaiknya dihilangkan saja, karena tidak berpengaruh dalam penyampaian pesan kalam tersebut.
Analisis lainnya penganalisis menemukan kekurangan kata penghubung antara dua kalimat diatas, yaitu kata “dan”.
Kemudian pada kata “kekurangan” penganalisis berpendapat susunan paralelnya kurang tepat, solusinya adalah dengan menambah kata “suatu” sebelum kata tersebut, begitupun pada kata “kehilangan” sebelumnya ditambah kata “suatu”.
Penganalisis berpendapat untuk memilih diksi lain pada pengalihan kata dalam kurung, mengganti kata “mengabaikan” yang pertama menjadi “masa bodoh” atau “tidak peduli.”
Anjuran melakukan segala sesuatu atas dasar manfaat yang dikandungnya tercantum dalam hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam At-Timidzi dan lainnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah –semoga Allah menridhainya- ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Termasuk baik Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Dari keempat kalimat terjemahan diatas, penganalisis berpendapat bahwa terjemahan tersebut sudah memenuhi syarat dalam segi ketepatan, kejelasan dan kewajaran. Namun, memang ada beberapa alih kalimat yang harus diperbaiki agar makna dan maksud pesan yang terkandung dapat tersampaikan dengan baik. Dan penganalisis juga memberikan solusi penerjemahan yang tepat menurut beberapa referensi yang didapat.
Penganalisis menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari kata benar, maka dari itu kritik dan saran penganalisis harapkan dari para pembaca. Sekian.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.